Wirid, mungkin sebagian teman teman tidak banyak yang tahu. Atau bahkan tidak menahu sama sekali tentang apa itu wirid. Iya sih, kebanyakan istilah wirid itu diketahui hampir seluruh anak yang dulu, mungkin pernah mengenyam pendidikan di pesantren mana saja dan apa saja (asal tetap di Indonesia). Karena selama yang saya sendiri tahu, istilah wirid - wiridan - dzikir itu beredarnya ya hanya di kalangan pesantrenan -kaum bersarung istilah kronisnya. Namun mungkin untuk yang terakhir: Dzikir itu umum ya, tidak harus jebolan pesantren tahu lah ya. Kan tayangan di Televisi rumah kita sudah sering tuh ada tayangan semisal : Dzikir bersama Ust. Fulan... Doa dan Dzikir. Meski kesan kita mungkin sama ya, di Televisi kita: Sekumpulan orang yang dipimpin seorang ustadz, melafalkan bacaan - bacaan arab sambil memjamkan mata -penghayatan, sampai ada yang keluar air mata ataupun sambil terisak - isak.
Sedangkan wirid, setahu saya itu apa ya? amalan [berupa doa - doa] yang diijazahkan oleh seorang guru [red, kyai] kepada muridnya untuk diamalkan secara rutin atau continue. Jadi seorang murid harus mengikuti aturan yang diberikan gurunya. Biasanya mengenai berapa kali jumlah bacaan yang musti dibaca, waktu dan bahkan syarat - syarat sebelum mengamalkan. Tidak harus berupa doa - doa sih, karena bisa jadi ijasah itu berupa yang lain. Seperti perbuatan baik yang diijasahkan oleh guru kita untuk kita jalankan dengan istiqomah [artinya, Lurus, Rutin, Continue]. Karena ada satu cerita dari teman saya dahulu, dia mendapat ijazah dari kyai nya untuk rutin melekan [red, terjaga malam, begadang]. Tentunya kita tidak banyak tahu what the something behind dari melakukan rutinitas - rutinitas yang diajarkan guru - guru kita kepada kita itu. Tetapi banyak hal yang perlu kita ambil hikmah dari kesemua itu, jika kita mampu berusaha sedikit bijak untuk memahami secara keseluruhannya itu. karena satu hal yang perlu diingat, bahwa Kyai [bagi saya] adalah seorang guru ruh. Dan karenanya untuk persoalan bathin tentunya kita akan kembali ke guru ruh kita lah. Istilah guru ruh [bagi saya] itu masuk dalam term relatif ya, karena itu tergantung kecondongan hati [apakah dengan kita berguru kepada si Fulan, misalnya. Kita menjadi mantep, madhep hati kita kepada kebaikan dan merasa akan selalu dibimbing oleh si Fulan dengan Istiqamah -melalui media rohani, untuk lebih baik? atau tidak?] karena tingkat kecondongan hati antara satu murid dengan murid yang lain terhadap seorang guru bisa jadi berbeda. And well, kamu harus memilih.
Motif dari proses pengamalan sebuah wirid pun berbeda beda. Karena disetiap wirid itu terdapat hikmah yang berbeda. Seperti nih, kata teman saya, dia mendapatkan ijazah dari seorang kyai agar kebal dari senjata tajam. Ada juga yang mengamalkan sebuah wirid dalam rangka untuk melindungi dirinya dari serangan musuh [red, orang jahat ya]. Dan lain sebagainya. Macam - macam motifnya. kalau dalam kalangan pesantren yang demikian itu biasa disebut lmu hikmah, Kanuragan, tenaga dalam atau apa lah saya kurang banyak tahu. Biasanya santri yang mendapatkan ijazah ilmu yang demikian rupa itu, sengaja kyai berikan sebagai bekal dakwah ke daerah yang rawan, misalnya.
Berbeda dengan apa yang kyai saya ajarkan. Bagi kyai saya [penulis], menjalankan wirid berarti tidak ada motif lain [kebal bacok, kebal santet, bisa terbang, bisa menghilang dll] selain untuk mendapatkan Ridha-Nya. Karena menurut kyai saya, melakukan sebuah amalan [wirid, Dzikir] dengan sebuah alasan selain itu [Ridho-Nya] maka itu termasuk motif duniawi. Begitu. Meski saya sendiripun ataupun kyai saya tidak mengingkari bahwa kita juga suatu saat akan berharap kepada motif duniawi itu, namun pada saatnya kita, semisal sedang membutuhkan.
Yang menarik. dari sebuah amalan yang diberikan kepada seorang murid: wirid. Adalah proses pengamalannya. karena bisa jadi, seperti yang kembangkan dari berbagai sumber [teman teman saya] mereka merasa kesulitan untuk menjalaninya dengan istiqomah. Artinya komitmen seorang murid kepada gurunya dipertaruhkan. Dalam rangkaian, apakah benar si murid bersungguh sungguh dengan komitmennya sebagai orang yang mencari ilmu kepada gurunya? oleh karena beratnya menjalani istiqomah, hingga kita banyak mendengar sebuah adagium "Istiqomah lebih baik daripada seribu karomah". Artinya? -mikir.
Saya pun merasa demikian. Dalam titik ini [istiqomah] misalnya, saya seringkali merasa kalah. Malah malah, saya sering bertanya kepada diri saya sendiri. Apakah saya masih patut menyebut seseorang itu guru saya? -meski dengan serentetan komitmen sebagai seorang murid kepada gurunya yang banyak saya tinggalkan.
Ya Allah, ampuni aku, perbuatanku,
guru dan orang tuaku.
biar ribuan ayatmu mencelaku: aku terima
asal kau tetap catat diriku sebagai muridnya
Khartoum, 26 Maret 2013
[Joel, menulis sesuatu yang belum ia pahami]
0 komentar:
Post a Comment