SELAMAT DATANG
alt text

Antologi Puisi Nota Kerinduan

silahkan baca selengkapnya....

Perjalanan Nota Kerinduan
alt text

Mengejar Senja

Silahkan Baca Selengkapnya...

Mengejar Senja
alt text

Gulali Cinta

Baca Selengkapnya...

Order disini!
alt text

Naskah Kitab Kebahagiaan

Baca Selengkapnya...

Disini!

Top Post

Tanpa Judul, Tanpa Ide. Greeting Para Netizen :D <---- Curcol (yang sebenarnya)

  • Jan 25, 2015
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • Dear,
    Para Blogger, para Netizen yang budiman. Sudah sekitar tiga bulan ini saya tidak melahirkan apapun dalam bentuk tulisan. Saya hanya teringat beberapa bulan yang lalu, saya menulis puisi "Andai Kau di Khartoum" yang kemudian dibacakan oleh kedua rekan saya Intan dan temanya (saya lupa namanya) pada Pagelaran Seni dan Budaya yang diadakan oleh PPI Sudan dan LESBUMI PCINU Khartoum Sudan di halaman rumah Duta KBRI Khartoum II.

    Dalam hati kecil saya sebenarnya ada sedikit rasa menyesal: kenapa waktu - waktu saya terbuang sia - sia tanpa apapun, laiknya tidak ada yang perlu di-dokumentasikan. Padahal antara rentag november hingga bulan ini --Januari menginjak akhir, banyak hal kisah tentang kesedihan, penyesalan, konflik, kejadian, hal - hal yang janggal mengenai tuhan dan yang tak pernah terselesaikan, juga drama remaja yang sebenarnya bagus ide-nya untuk dijadikan cerpen atau cerbung yang lalu di-bubuhi judul: Wanita - Wanita Maya.

    Ada banyak hal, sungguh. Andaikan ini hanya boleh lunas dalam route perjalanan betapa sayang. Banyak pelajaran kehidupan yang perlu digaris bawahi, atau Bold terhadap beberapa kejadian yang sempat bikin mood menulis dan pandangan terhadap alam tidak seimbang. Tapi lama - kelamaan sudah pulih kembali. Saya mencoba menulis. Meskipun yah, begini, seperti malam ini. Kalian bisa baca dan raba - raba sendiri bagaimana dan dalam kondisi bagaimana otak, pikiran dan hati saya saat menulis.

    Next Time, saya mau banget nulis tentang Nganjuk dan share beberapa hal yang mungkin menarik. Tentang kebudayaannya, kebiasaan wong Nganjuk yang kadang bikin kekelen ( bikin ngakak ).
    Atau mungkin next time, nulis tentang kisah - kisah haru biru perjalanan dari Sudan ke Indonesia --lebbay. iiih.

    Well, tapi saya harus ingat satu hal. Bahwa sebenarnya saya punya banyak hal yang perlu saya selesaikan. Draft - Draft tulisan, ada yang puisi, ada cerpen dan novel project yang perlu diselesaikan pelan - pelan sambil santai --kayak di puncak.

    to be continue ya... Bye, --Pake Koma
    Read More...

    Saya Menyesal: Kenapa Tidak Tinggal Saja di Asrama

  • Jun 25, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir

  • Pada hari / tanggal keberapa yang penulis lupa –jelasnya awal penulis menginjakkan kaki di Sudan (28 oktober 2011)— perkiraan selang beberapa minggu setelah kedatangan penulis bersama dua sejawatnya: M. Satar Amrullah dan Awaliya Safithri. Sewaktu itu, tampuk kepemimpinan Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama (PCINU Sudan) dinahkodai oleh DR. H. Sohib Rifa’I, MA sebagai Rais Syuriah dan H. Lian Fuad, BS sebagai Ketua Tanfidzhiyah, dengan kantor kesektretariatan berada di Arkaweet blok 48. Sebuah rumah sederhana dengan total luas kurang lebih 40 X 25 M2.

    Terdiri dari satu ruang diperuntukan untuk kantor kerja, satu auditorium sederhana diperuntukan untuk sentral kegiatan berdekatan dengan perpustakaan sederhana di sampingnya –rak berisikan diktat, kitab dan literature--, kemudian satu kamar mandi, satu ruang dapur sederhana yang dipadu dengan baseman berisikan meja dan kursi – kursi tua tempat biasa teman – teman aktivis PCINU Sudan berdiskusi dan berkumpul bersebelahan antara ruang dapur dan satu petak halaman kecil berukuran 4 x 10 Myang merupakan tempat pilihan favorit untuk tidur malam saat musim panas tiba.

    Sore hari itu, setelah sholat maghrib berjama’ah, Doktor Sohib menyeru para ‘penghuni’ rumah yang sejatinya kesekretarian PCINU itu untuk berkumpul di Auditorium. Dalam hati kecil penulis, sebenarnya sudah menyangka – nyangka beberapa hal yang mungkin, mengenai kebijakan yang sakit didengar. Doktor Sohib meluruskan beberapa hal, terkait beberapa permasalahan rumah yang sejatinya bertetangga langsung dengan tuan rumah. Diantaranya, kebisingan yang sering terjadi dan jumlah penghuni rumah yang sejatinya kesekretarian itu yang meledak. Bahkan, ketika ternyata kami saling berhitung, pada saat itu, jumlah kami lebih dari 15. Sedangkan, teken kontrak sewa rumah dengan tuan rumah hanya tertera tidak lebih dari 8 orang. Itu adalah permasalahan klasik mengenai kebudayaan sewa menyewa di Sudan, katanya, mayoritas menyewa rumah hanya boleh dihuni oleh minimal 8 orang.

    Dalam hal ini, adalah konsekwensi kita harus menghargai dan bersikap realistis terhadap kelangsungan bertetangga sebagai kaum pendatang. konkrit faktanya, kita tidak sedang menyewa rumah untuk kepentigan 8 orang itu, namun lebih. Karena diantara tujuan teman aktivis PCINU menyewa rumah saat itu, adalah difungsikan sebagai kantor kesekretarian dan sentral kegiatan para anggota NU di Sudan.  Hal diatas belum diperparah drama tuan rumah yang mengancam akan menaikan harga sewa, atau enggan diperpanjang pada kontrak berikutnya.

    Alhasil, dengan tegas penulis akui cool, Doktor Sohib melalui lisan H. lian Fuad, BS mengambil tindakan ‘pemutihan’ penghuni: terkait nama – nama yang berhak secara de jure menempati rumah yang sejatinya adalah kesekretariatan. 8 orang yang berhak tinggal, setelah melewati pertimbangan elit syuriah dan tanfidziyah pada saat itu. Dan siapapun sudah mengira, penulis dan keenam sejawatnya tidak termasuk, dan harus meninggalkan rumah yang sejatinya kesekretariatan itu. Demi merenggangkan otot saraf guam –perselisihan—tuan rumah yang harus mulai dianggap serius.

    Mau tidak mau, penulis beserta enam sejawatnya: Abdul Aziz, A. Lukman Fahmi, Farisul Arsyad, Satar Amrullah, Ahmad Syuhada dan Barri Alhafidz memutuskan untuk membuka lembaran dan lingkungan baru bergegas di asrama yang disediakan kampus, Omdurman Islamic University. Sejujurnya, diantara kami, melalui percakapan – percakapan kecil kami di sela – sela kesibukan sebagai mahasiswa, kami masih merasa berat hati untuk memulai segalanya dari awal. Kami seolah sudah merasa nyaman, dengan selama ini tinggal di rumah PCINU Sudan Arkaweet blok 48 yang sejatinya kesekretariatan itu. Disana, kami sudah terbiasa bercanda, bergaul, berdiskusi tentang hal – hal remeh temeh bersama lintas daerah dan pengalaman latar belakang kami di Indonesia. Hal itu, bagi kami yang masih newbie –anak bawang—baru datang di Sudan, adalah semacam obat anti-depresan  yang selama ini kami cemaskan sebelum berangkat ke Sudan. Seperti kecemasan: apakah di sudan nanti –pada ekosistem baru, kami akan menemukan hal yang sama, minimal dalam pergaulan sesama mahasiswa seperti laiknya selama ini kami kenal di Indonesia? Atau, disana ada teman orang Indonesia bisa kita percaya, atau tidak?

    Sejujurnya, pertanyaan – pertanyaan kecil nan menggelikan itu, pasti timbul bagi siapa saja, termasuk kami, ketika hendak menginjak-kan kaki di Negara yang konon seperti yang disiarkan melalui media – media massa Indonesia yang selalu memandang ‘usang’ tentang Sudan.  

    Baru sedikit mendapatkan jawaban, atas pertanyaan – pertanyaan di atas. Dan diantara kita –newbie—baru belajar saling akrab dan bersahabat. Juga lingkungan yang membuat kita merasa nyaman, dengan alih – alih itu kadang penulis dengan ringan berkata: ternyata sudan itu tidak seperti yang kita sangka – sangkakan, tidak begitu menyeramkan. Disini konflik hanya cerita sebelum tidur, yang kita dengar dari lisan – lisan senior. Tidak seperti yang kita baca di koran – koran digital: Label Negara rawan. Pergaulan juga hampir persis seperti di Indonesia. bahkan Banyak mahasiswa maupun mahasiswi Indonesia di sini. Otomatis, kita punya banyak PR untuk berkenalan diantara satu dengan mereka dan menambah teman baru. Bahkan, dalam keseharian, seperti saya yang jawa, rasa – rasanya  masih tetap menggunakan bahasa jawa dalam percakapan. Memang saya dimana?

    Pernyataan menggelikan diatas, selalu bikin celah tawa kecil saat penulis tergiring mengingatnya.

    Sedangkan diantara penulis dan keenam sejawatnya, yang pada saat itu sudah berada di asrama. Tidak henti – hentinya berkeluh kesah, tentang hal – hal baru yang baru perlu kami hadapi di asrama, Futihab Omdurman. Kami berkumpul dalam satu bilik khusus yang kita sewa untuk tempat eskap sementara kami lari, ‘diusir’ oleh mashlahat. Diantara kami, bahkan karena saking belum mampu penuh keluar dari zona nyaman, berceloteh banyak hal tentang kebijakan itu. Bahkan sempat kami sepakat, bahwa Doktor Sohib bertindak otoriter dan tidak mengindahkan kami.

    Namun toh, selang beberapa lama –hitungan minggu. Kami pun sudah terbiasa dengan kehidupan baru kami di asrama. Penulis malah sempat merasa ‘nyaman’ berada di asrama. Dimana penulis bisa meng-kondisi-kan segala hal, terkait diri penulis pribadi dengan semau ‘gue’ dengan penuh konsekwensi yang ditanggung sendiri. Jika suatu saat penulis sedang giat membaca, misalnya, penulis akan memanfaatkan menit – menit escaping di asrama bermanja – manja dengan Seno Gumiro Adjidharma, Djenar Maesa Ayu, Putu Wijaya, Phutut EA dan banyak lagi sebagai pendamping kesepian penulis di asrama. Penulis merasa bebas, menentukan sendiri nasibnya. Tidak terjerat oleh muatan – muatan pasar yang cenderung bersifat persuasive dan kurang bertanggung jawab.

     Di asrama, penulis sendirilah, yang mau tidak mau, menemukan jalan motivasinya sendiri, membangun keter-sadar-an sendiri, bukan ditentukan oleh eksponen eksternal dan motif pasar. Seperti yang sebelumnya penulis rasakan di rumah arkaweet 48 yang sejatinya kantor kesekretariatan itu.

    Di asrama, penulis bebas menentukan lawan bergaul. Bilik kami yang bertetangga dan berdempetan dengan penguhuni lain yang berbeda suku, budaya dan bahasa, adalah kekayaan sendiri yang pribadi penulis rasakan sebagai ladang multicultural luas untuk kita meraba – raba saling berkenalan antar satu sama lain. Bukan kah, merupakan tujuan prinsip yang harus kita sadari dari diciptakannya manusia oleh Allah SWT dengan kondisi saling bersilang gender, berbangsa dan ber-suku itu untuk kita saling mengenal satu sama lain? Inna ja’alnaakum Syu’uban wa Qobaaila Li Ta’arafuu.

    Di asrama, awal – awalnya penulis beranikan diri berkenalan dengan teman – teman dari Thailand yang masih satu rumpun (kalkulatif penulis). Selain mudah dalam proses berkenalannya, karena serumpun bahasa, adat dan kebudayaan yang hampir tidak sukar dimengerti, adalah hal – hal yang mula penulis harus bangun sebagai penghuni asrama baru yang musti ‘sowan’ –sungkem—senior. Dan alhamdulllah, dari perkenalan itu penulis kembangkan menjadi keakraban – keakraban yang ber-implikasi pada hal – hal yang kemudian boleh dikatakan bermanfaat misalnya saling sharing –tukar pendapat dan ide, atau diskusi kecil – kecilan paruh waktu. Itulah pengalaman kali pertama penulis, berdiskusi dengan tanpa atribut apapun selama penulis berada di Sudan.

    Tidak jauh hari setelah itu, barulah penulis mulai mengembangkan sayap perkenalan dengan mahasiswa lain –bertetangga kamar—dari lintas Negara dan benua. Penulis berkenalan dengan awal -awalnya Musyrif sebagai ‘pengasuh’ asrama, hingga beliau kenal betul (akrab) dengan kami: mahasiswa Indonesia. Bahkan, pada satu waktu yang tidak sengaja, kami berkesempatan mengundang beliau untuk Futhuur (red, Breakfast) bersama di bilik kami, dengan menu seadanya: Indomie. Setelah itu juga, penulis berkenalan dengan teman – teman Sudan dari berbagai daerah: Darfur, Port Sudan, Jined, Sudan barat dan sebagainya. Ada juga diantaranya, adalah orang – orang asing dari Pantai Gading, Nepal, dan Nigeria.

    Alangkah begitu, hal tersebut rangkaian album kenangan indah yang penulis rasakan ketika berada di asrama.

    Fasilitas di asrama pun, penulis kira memadai. Disediakan tempat tidur (bahkan lemari bagi yang di IUA), kamar mandi bersama, masjid, lapangan sepakbola atau basket, dan satu hal: dekat dengan kampus hari – hari kita belajar. Bikin kita betah belajar dan merenung, mengembangkan bahasa arab atau meluangkan waktu yang melimpah untuk sekedar membaca diktat materi kuliah untuk mempersiapkan ujian yang konon menegangkan  ---namun yang terakhir ini, belum berlaku bagi pribadi penulis.  

    Pada hari dan tanggal keberapa yang penulis lupa. Sedang terjadi kerusuhan di asrama, Futihab Omdurman. Yang desas – desusnya konon kerusuhan disebabkan oleh dua hal: Pertama, kasus pembunuhan 4 mahasiswa Darfur di Jazirah  –salah satu kawasan di Sudan, oleh oknum yang disinyalir militer yang merebak kasus setelah jenazah diketemukan di perairan sungai Nil tanpa ada kejelasan dari pihak terkait. Kontan, hal tersebut mengundang aksi brutal dari sejumlah aktivis mahasiswa Darfur yang menuntut penegakan hukum: dengan aksi perusakan 4 gedung raksasa asrama Futihan. Kedua, konon ini terkait kenaikan harga tariff tinggal di asrama. Tidak tanggung – tanggung, tariff kenaikan – nya hampir seratus persen dari 125 SDG ke 250 SDG per-tahunnya. Hal ini lah, sebab alasan kenapa banyak kabar menilai kenapa huru – hara terjadi. Adalah aksi protes atas kenaikan harga tariff tinggal asrama yang dianggap tidak pro dengan kantong mahasiswa. Malam itu para aktivis menggelar serangkaian aksi protes dengan membakar ludes hampir seluruh asrama seisinya. Pada malam hari itu, penulis dan keenam sejawatnya sedang tidak berada di asrama: merayakan libur tahunan di Khartoum. Baru ke-esokan harinya penulis mendengar kabar lisan dari Ahmad Syuhada’ lalu dibenarkan oleh para saksi kejadian –teman Thailand.   

    Kalau, toh, pada saat itu penulis tidak sedang berada di Khartoum. Mungkin penulis hari ini masih memiliki asrama sebagai sarana escaping, merenung, belajar keluar dari zona nyaman, berkenalan dengan hal baru, menghadapi persoalan komunal, mengembangkan diri, dan pengayaan bahasa.
     Hari ini, dua tahun kurang setelah aksi brutal itu, penulis baru sadar tentang penting dan kerugian penulis  yang sudah tidak lagi memiliki asrama. Di samping rasa sedih yang sempat penulis rasakan, juga bahkan ke-enam sejawat penulis yang kehilangan harta benda paska kerusuhan. Detik ini Penulis berkata: Saya menyesal, kenapa tidak tinggal saja di asrama saja.

    Tak ayal, bagi penulis hanya bisa meratapi bagaimana sikap 2 tahun yang lalu, utamanya terhadap fatwa ‘pemutihan’ Doktor Haji Sohib melalui lisan Haji Lian Fuad yang menyadarkan penulis sampai hari ini tentang satu pasal hukum: sejatinya rumah yang dengan pembiayaan kantong PCINU Sudan itu adalah kantor kesekretariatan dan sentral kegiatan. Tidak lain, bukan?


    Khartoum, 25 Juni 2014
    Read More...

    Dari Bisik - Bisik

  • Jun 23, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir

  • Terhitung sudah 8 hari –sejak tanggal 14 Juni 2014 lalu, program PCINU Sudan masa kepemimpinan Miftahul Munif yang diamanati oleh hasil pemilihan raya pada Konferensi Cabang PCINU XII di auditorium Daar Mushar untuk menjabat sebagai ketua Tanfidzhiyah masa abdi 2014-2015. Penutupan program kerja PCINU sementara ini konon ditenggarai oleh beberapa pertimbangan. Salah satunya, adalah dalam rangka menyambut massa ‘hening’ bagi para teman – teman yang mengaji di International University of Africa (IUA). Dalam hal tersebut, PCINU Sudan melalui rapat gabungan dewan Syuriah dan Tanfidhiyah menelurkan kelonggaran bagi mahasiswa IUA untuk sejenak lepas dari komitmen institusi dan kesempatan bermanja – manja dengan diktat  --materi ujian yang akan diujikan pada 6 juli mendatang.   

    Penulis melakukan kroscek, ke beberapa pelaku sejarah terkait kebijakan yang sempat membuat muntab penulis ketika membacanya. Meski jauh sebelum penulis tergerak berkesimpulan, penulis berupaya menjauh dari wilayah – wilayah emosional destruktif dan ruang sensitive pribadi, (mungkin) terkait memang penulis tidak sedang menempuh pendidikan S1 di UIA, namun toh akhirnya tulisan ini rampung dan sampai dibaca oleh para pembaca budiman. Dengan penulis masih tetap merasa marjinal dan minority.

    Terkait kroscek penulis kepada pelaku sejarah –utamanya Assabiqunal Awwaluun—generasi awal yang sempat mengenyam pahit manis atau menyaksikan serta mengikuti secara intens perkembangan sejarah, sejak awal adanya NU di Sudan. Sebagai wadah instutional, yang selalu melahirkan kebijakan – kebijakan yang pada taraf urgensitasnya harus sesuai tolok ukur kepentingan ‘ammah atau minimal tanpa meminggirkan minoritas sebagai eksponen yang harus juga dipertimbangkan kesetaraannya di depan satu cermin yang sama. Penulis berkesempatan untuk berbincang dan konsultasi perihal persoalan gelisah penulis tentang hasil rapat tersebut pada sebuah perbincangan kecil, hangat dan sederhana. Kesimpulan pelaku sejarah mengatakan, bahwa tidak satupun pernah PCINU Sudan sebagai organisasi multikultural pengikutnya menelurkan satu buah keputusan untuk menghentikan (tutup) program sejenak dikarenakan, atau beralasan menolelir kepentingan pribadi anggotanya, yang mayoritas mahasiswa dikarenakan sedang akan menghadapi ujian, misalnya.

     Terus terang bukan di hasil kebijakan yang bikin penulis tidak terkesan dengan hasil rapat gabungan Syurah & tanfidhiyah tersebut. Namun pada argumentasi dan pertimbangan, yang membuat penulis berkesimpulan tidak relevan dan kurang pertimbangan. Jika toh, misalnya, penulis mungkin akan sedikit lega apabila menggunakan dalih penyambutan bulan suci ramadhan, atau segera menyebut tegas alasan lain yang tidak potensial meminggirkan penulis dan kawan – kawan sebagai minoritas. Hal ini dengan kerendahan hati penulis, terpaksa harus penulis sampaikan mewakili teman – teman penulis dari sementara mereka yang merasa terkebiri dan dimarjinalkan oleh kepentingan pribadi. Adakah yang lebih riskan bagi minoritas, dari komitmen sikap NU yang selalu kita hafal dengan salah satunya adalah Tasamuh –sikap toleran-- atau I’tidal –berlaku adil dan equal--, lalu secara tidak sengaja ditindas oleh kepentingan mayoritas? Inilah sebab, kenapa tiba – tiba penulis merasai menjadi bagaimana perasaan umat Kristen (minoritas) yang berkehidupan bertetangga dengan mayoritas islam, seperti di Indonesia hari ini.

    Sedangkan arah sayap dan dukungan kita sebagai Nahdliyin terhadap Negara dan ideology konstitusinya sudah jelas, mendukung penuh Demokrasi dan menghalalkan Pancasila. Namun disana sini, dalam berkehidupan berbangsa bernegara: beragam dan berbhineka, sebagai Nahdliyin masih sering bagi kita menyaksikan praktik yang berhaluan dari apa yang sudah kita sepakati menjadi tujuan. Bahkan, terlalu naïf bagi kita, dengan mudahnya kita diam –tidak melawan, terhadap praktik feodalisme, monolitik dan imperalisme yang berseliweran “ngangkang” di tas kopyah demokrasi kita. Tidak mustahil, jika pada akhirnya seperti yang pernah Gus Dur katakan, bahwa mustahil kita mengaku pada dunia atas berjalannya demokrasi di antara kita tanpa adanya kedaulatan dan penegakan hokum, serta memahami komponen resapan dari demokrasi seperti pluralism, equality, kesamaan hak dan perlindungan pendapat. Pada saatnya, lanjut Gus Dur “Indonesia akan terjebak pada arus yang menjadikan Demokrasi sebagai alternative dari ‘tidak sadar dan ketakutan’ pasar yang berakibat suburnya praktik demokrasi semu (pseudo democracy)”. Seperti yang sudah terjadi di republic Weimar pada  masa jabatan rais ‘aam Adolf Hitler yang otoriter.


    Persetubuhan Kultural dan Institusional di PCINU Sudan

    Sebagai organisasi Cabang yang ber-induk pada kebesaran Nahdatul ‘Ulama, PCINU Sudan harus mengakomodasi Garis Besar Haluan Nahdatul ‘Ulama (GBHNU) sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan dengan pengikut terbesar di dunia. Diantaranya adalah sikap – sikap prinsip yang mau tidak mau harus terinspirasi dari apa yang PBNU gariskan. Sebab sejatinya, ke-NU-an terhadap prinsip ibadah, amaliah dan kebudayaan kita harus tetap sama dimanapun berada, tidak di Sudan, di Yaman, di Jerman atau di Amerika. Harus tetap sama, semaksimal mungkin kita jalankan selaras dengan ibadah, amaliah dan kebudayaan kita di nusantara. Itulah satu – satunya sikap yang harus diperhatikan sebagai anak kandung PBNU agar selalu tetap di-cap sebagai anak yang taat pada orang tua. Bukan kah sikap keagamaan, sebagaimana yang kita tahu: harus senantiasa saalih likulli zamaan wal makaan? Termasuk tradisi persetubuhan cultural dan institusional diantara kita. Sebagai pegiat, anak nahdliyin yang ber-organisasi demi keberlangsungan eksistensi tradisi maupun budi luhur yang merupakan harga mati yang perlu mati – matian dipertahankan sebagai pondasi.
    Ada dua hal paling efektif untuk melanggengkan pendekatan keagamaan kita selama ini. Pertama, pendekatan secara cultural. Dalam praktinya, Nahdatul ‘ulama dalam strategi dakwahnya selalu permisif dan terbuka terhadap warisan budaya dan tradisi luhur. Banyak  sudah literature yang membahas kedewasaan strategi dakwah cultural NU dalam hal ini, baik berbentuk advokasi (pembelaan) kebudayaan atau tradisi dari gempuran arus global. Maupun rekontruksi / vermak substansi nilai dari kebudayaan hindu budha, dan menjadikannya jalan wushul pada ketentuan – ketentuan profetik.   

    Kedua, Institusional. Jangan lupa, bahwa dibalik keberlangsungan dakwah cultural yang jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi yang dilegislasi sebagai institusi NU optimis selalu diharapkan menjadi icon pembaharuan dan perubahan dari masa ke masa. Pembaharuan NU awal, sudah ditandai dengan berdirinya NU sebagai Organisasi Keagamaan Kemasyarakata (ORMAS) pada tahun 1926. Sedangkan perubahan bersifat dinamistis sudah juga dilewati NU dari satu dekade ke lain era, bahkan sebagai kunci sejarah Nasional kita. Dengan begitu, satu hal tugas kita: tradisi Tajdid harus selalu menjadi garapan pokok bagi generasi setelahnya sebagai bentuk penyegeran dan pembaharuan. Diharapkan dengan itu, adalah terciptanya suasana dinamis dalam berkehidupan kita sebagai icon keberagamaan yang berkemajuaan utamanya saalih li kulli zamaan wal makaan. Dan dengan NU kita justru terjebak pada kobangan nihilistik dan stagnasi, yang sejujurnya keduanya itu berarti kemunduran.

    Jika kita kaitkan, dengan uraian penulis sebelum ini. Sebagai bagian dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama Sudan, penulis perlu kembali mengingatkan penting keduanya sebagai eksponen yang perlu memiliki porsi ideal demi kelangsungan komposisi perjuangan kita sebagai nahdliyin, yang tentu kesemuanya itu demi terwujudnya cita – cita organisasi. Kalau dipersempit, maka hal tersebut juga akan kembali pada ketidak-terkesannya penulis terhadap hasil rapat gabungan tanggal 14 Juni lalu pasal alasan pertimbangan penutupan (sementara) program kerja PCINU Sudan.
    Sebab penulis beranggapan erat kaitan antara sebuah kebijakan NU sebagai institusi dengan keberlangsungan keberagamaan kita yang sejatinya penulis artikan sebagai nilai cultural. Toh, selama ini penulis melihat bahwa sebagian besar program kerja tersebut adalah juga terdiri dari beberapa hal yang bersifat cultural, seperti lailatul Ijtima’ yang digawangi oleh Lembaga Dakwah (LD) PCINU Sudan. Jelas sudah bagi pembaca, dimana letak kegelisahan dan titik ketidak sepahaman penulis terhadap hasil rapat gabungan Syuriah dan tanfiziyah PCINU 8 hari yang lalu. Belum lagi penulis menyayangkan logika kebijakan penutupan program sementara dikarenakan menyambut sebagian mahasiswa yang menghadapi ujian akhir semester (UAS) jika dikongsikan pada beberapa sebagian program kerja lembaga PCINU Sudan yang bersifat spontanitas seperti pengiriman berita kegiatan ke PBNU (nu.or.id), pengelolaan web berkala oleh Lembaga ta’lif wa Nasyr (LTN), atau yang bersifat kondisional seperti program bertandang ke kediaman masyayikh yang rencana akan dihelat oleh Lembaga dakwah (LD) pada bulan suci ramadhan ini. Sekali lagi, dengan kerendahan hati penulis beranggapan bahwa hasil rapat tersebut terlalu apriori.


    Pemeluk NU itu Multikultural

    Semenjak dihapusnya beberapa butir kata dalam piagam Jakarta. NU baik secara cultural maupun institusional mendukung dan menghalal-kan Pancasila sebagai ideologi Negara. Secara utuh NU mendukung penuh berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahkan dibuktikan oleh resolusi jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari (21-22 Oktober 2014).

    Dengan begitu secara tidak tertulis NU juga menghargai komposisi – komposisi peranan dari sebuah NKRI, diantaranya adalah keberagaman etnis, suku, agama dan latar belakang. Dalam arti lain, NU mengayomi paham multikulturalisme dengan sikap moderat dan permisif berdampingan terhadap selain NU. Memiliki prinsip kesetaraan hak dalam regulasi hukum dan supremasinya. Menjunjung keterlaksanaan dan kedaulatan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45).

    Hal ini harus disadari oleh setiap warga NU apabila hendak berpegang teguh pada spirit kebangsaan. Dengan prinsip – prinsip patriotic ini pula, NU dalam perjalanan sejarah nasional dan peranannya dapat diterima dengan mudah oleh bahkan lintas agama di Indonesia. NU selalu mampu membawa wajah perubahan dan penyegaran Islam secara moderat bahkan berimplikasi pada perubahan sosial yang massif bagi stabilitas sosial antar umat beragama dan bernegara.

    Salah satu warisan penting bagi Nahdatul ‘Ulama dengan jumlah pemeluk yang hampir diperkirakan mencapai 70 juta lebih ini adalah keragaman latar belakang pemeluknya. Keragaman itu bisa dibagi menjadi beberapa bagian kecil seperti daerah / suku, strata sosial dan profesi, bahkan tingkat pendidikan. Bahkan sempat ada guyonan, bahwa karena pesona charisma sosok Gus Dur, ada sebagian orang seperti mas Butet Kertaradjasa (seniman/budayawan) yang mendaulat dirinya termasuk Nahdliyin Cabang Khatolik.

    Inilah yang membuat NU memiliki potensi besar untuk menggiring sebuah perubahan nasional. Namun dibalik potensi besar tersebut, perlu diingat pula, bahwa NU juga memiliki potensi – potensi madharat besar bagi kelangsungan Nasional, apabila setiap kebijakannya di-pantati oleh kepentingan local utamanya ini biasa terjadi pada pemain elite NU yang jika tidak dengan penuh hati – hati akan membubarkan cita – cita perubahan ke arah yang lebih baik tersebut.

    PCINU Sudan sebagai organisasi anak asuh cabang PBNU, juga harus bisa pertama – tama menilik potensi besar yang pasti ada di tubuh dirinya. Hal ini bisa dibeberkan dengan bukti – bukti konkrit, bahwa PCINU Sudan sebagaimana NU di nusantara juga memiliki asset pemeluk yang multicultural: berbeda tempat asal / daerah, suku, kebudayaan bahkan universitas tempat kuliah.

    Dalam hal – hal kecil, sedemikian penulis sampaikan ini. PCINU Sudan harus legowo, tidak menutup mata dan telinga terhadap hal yang mayoritas orang menganggap remeh-temeh. Mendengarkan kritik terhadap sebuah kebijakan yang harus bertolok pada mashalah ‘aamah (bukan perspektif pribadi) utamanya yang dihasilkan oleh hasil rapat elite PCINU Sudan adalah hal yang harusnya dibiasakan untuk dibudayakan, diperhatikan dan didengar lalu bersama merumuskan solusi. Hal ini sering terjadi dalam tradisi keberlangsungan NU sebagai organisasi dengan pemeluk terbesar di dunia, bukan?

    Senin, 23 Juni 2014

    Read More...

    MENYELAMATKAN FORUM: forum.nusudan.org

  • Jun 20, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir

  • Pada tahun 2012, sewaktu penulis menjabat sebagai Ketua Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN PCINU) Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama Sudan sudah menggagas beberapa siasat untuk mengubah kecondongan public (public mainstream) dari mode penggunaan layanan internet dalam pengertian besar “mereka” adalah media sosial, kepada mode penggunaan media sosial sebagai wahana pembelajaran dakwah melalui kiat dalam menyampaikan sebuah ide atau berita melalui sebuah karya tulis lalu mempostingnya ke lama situs resmi PCINU Sudan (www.nusudan.com). Ide seperti ini, harusnya menjadi perhatian serius bagi aktivis PCINU Sudan, sebagai media independent, menyuarakan kebebasan berpendapat di tempat umum ---Sebagai akademisi—yang selalu oleh masyarakat ditunggu gebrakan – pemikiran yang menghantarkan pada perubahan sosial, atau minimal menjaganya.

    Bagi penulis, keberanian untuk menyampaikan ide, pendapat dan gagasan itu sangat penting. Tidak hanya dalam forum tertutup, lebih dari itu adalah forum – forum terbuka yang disitu anda tidak hanya akan dituntut untuk berani menyampaikan ide anda, namun juga keberanian untuk menerima argumentasi yang berseberangan dengan anda. Itulah, kenapa hal semacam ini bagi penulis begitu berharga, karena sering takutnya kita untuk berbeda. Kita tidak dilarang untuk berbeda, bukan? Justru, dari perbedaan, agama kita menyeru untuk mempelajari perbedaan tersebut. Dengan implikasi lebih jauh, adalah saling memahami satu dengan yang lain dengan cara saling berlapang dada terhadap kenyataan yang beragam ini. Inna Ja’alnaa Kum Syu’uuba wa Qabaaila Li Ta’aarafu – Sungguh kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku agar kalian saling mengenal. Di tambahkan lagi, setelah saling mengenal tercapai artinya manusia menunjukan jati dirinya sebagai makhluk sosial yang butuh kenal dan dikenal, dari persengketaan dan gesekan sosial tersebutlah manusia kemudian mampu melihat sudut – sudut strategis dan potensial untuk melangsungkan dan memilih sendiri jalan tujuan dan motif kehidupannya sendiri sebagai makhluk sosial, apakah ia akan memilih Ta’awun ‘alal Birr, kah? Atau sebaliknya?

    Manusia yang ber-Ta’awun ‘alal Birr, selalu mencari celah untuk memperbaiki kehidupannya; menjauhkan diri dari perasaan sempurna. Ia selalu belajar dari resapan air, metabolism perut bumi, sirkulasi hujan, perubahan cuaca dan angin, dan apapun yang membuatnya merasa tidak nyaman untuk tidak mempelajarinya.

    Ketika tulisan ini belum rampung diselesaikan, penulis terngiang – ngiang pertanyaan seorang teman yang mempertanyakan bagaimana keadaan dan perkembangan forum.nusudan.org. kepadanya itu penulis katakan, saat ini tidak diperlukan tekhnik khusus untuk memperbaiki hal itu. Melihat tidak adanya iktikad ke arah perubahan yang lebih baik. Bagi penulis, untuk memperbaiki hal ini, hanya diperlukan tekhnik “sepele”, yaitu belajar dari cara para petani tebu giling mengolah lahan yang hendak ditanami tebu. Bedah dan balik tanahnya, bakar sisa – sisa ilalang dan “bongkotan” tebu kemaren yang tidak berguna. Netralkan tanah dari tumbuhan onak yang mengganggu kelangsungan pertumbuhan masyarakat “tebu”. Lalu setelah tanah kering bersih, kita balik tanah dan membentuknya sesuai selera ---apakah dengan tekhnik reynose, atau konvensional seperti di desa – desa. Baru setelah itu, diharapkan masyarakat “tebu” pulih dengan kehidupan baru dan tumbuh lebih baik.

    Sebagai mantan pejabat LTN-PCINU Sudan penulis merasa apa yang dihasilkan melalui program – program yang dibesutnya sia – sia, jika tanpa diimbangi dengan konsistensi berkesinambungan antara pemegang kendalinya. Tentu perjuangan perubahan akan macet dan terhambat jika tidak disokong oleh re-generasi yang juga searah melawan masalah dan menuju perubahan abadi. Demikian, penulis rasakan, gebrakan dan perubahan yang telah penulis dan rekan – rekan sewaktu menjabat menjadi LTN-PCINU Sudan, tidak lebih hanya sebatas euphoria yang tidak memakan waktu lama untuk kembali tenggelam ke dasar laut. Akhirnya, jika hal ini terus kita acuhkan dan tidak menarik bagi kita untuk perduli dari tahun – ke tahun, program kita hanya akan menghasilkan serangkaian keharuman bunga jihad “kosong”. Bunga mekar, wangi dan layu; tidak kekal. Sedang jihad kosong yang penulis maksud adalah, menyia-nyiakan tenaga dan kesungguhan hanya untuk mencapai tujuan yang pendek dan rendah, seperti mengisi draft keberhasilan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Tahunan Pengurus.

    Perdebatan mengenai relevan, tidak kah memerjuangan eksistensi akademis dan intelektualis dalam masyarakat dewasa ini sudah close case –tutup kasus. Dalam arti kata, perdebatan di meja akademisi dan forum diskusi hanya akan berujung pada pemahaman yang berasaskan teori, sedangkan di luar sana penggunaan Facebook merajalela sebagai media kaum citizen untuk me-publish kejadian atau apapun disekitar mereka, tidak terkecuali twitter, blog ataupun wordpress yang terus naik indek penggunannya. Hari ini, dunia peradaban literat manusia mengajak dan men-sortir penggunanya untuk selebar – lebarnya membuka cakrawala fakta, opini, gagasan, ide dan men-sortir kita untuk dihadapkan pada dua pilihan: mengikuti arus perkembangan, atau terjebak ide – ide tradisional dan konservatif?

    Saya mengambil dua contoh: pertama, hari ini materi jurnalistik yang biasa kita dengar dan perdebatkan faktanya sehari – hari , sudah tidak mesti lahir dari produk – produk yang ditawarkan oleh wartawan. Masyarakat modern bebas meng-observasi kebenaran sebuah kasus dari berbagai sudut pandang dan sumber. Tidak seperti dulu, jalan lintas pemahaman kita terhadap sebuah kasus atau fakta digariskan oleh pewartaan wartawan melalui sebuah media ternama. Sekarang tidak! Bahkan pers sudah banyak melonggarkan rem – rem baku, untuk masyarakat bebas memilih bahan dan kebenaran informasinya sendiri. Bahkan me-publish hal – hal disekitarnya dengan merdeka dan tanpa sensor. Inilah mungkin yang dimaksud baru – baru ini dengan istilah citizen journalism.

    Kedua, facebook sebagai media sosial yang diproklamirkan 2004 lalu –sebelum itu bernama facemash. Berawal dari keinginan Mark Zuckerberg untuk membuat line penghubung antar sesama rekannya satu kampus, kini mendunia sebagai media sosial paling diminati oleh pengguna internet di seluruh dunia. Dengan berbagai fitur yang ditawarkan Mark, seperti layanan pesan, komentar dan apresiatif (like) bahkan fasilitas “Group” sebagai media persyarikatan yang konon hari ini paling efektif untuk saling bertukar Ide, pengalaman, berdiskusi paruh waktu atau bahkan sekedar reuni almamater. Namun sekarang, fungsi tersebut lebih variatif, manusia kreatif menangkap ide Mark sebagai lahan potensial yang bernilai komoditif komersial bagi keberlangsungan pemasaran iklan, bisnis bahkan bagi masyarakat demokrasi untuk meluruskan opini, mengembangkan fakta, menarik dan mendiskusikan kesimpulan hingga sampai pada sentralisasi issue, politic campaign –Kampanye politik dan lain sebagainya yang mempengaruhi perkembangan politik sampai kebudayaan kita hari ini. Lalu pertanyaannya: masihkah kita menganggap facebook hanya sebagai media sosial “biasa”, yang hanya meng-isyaratkan kita untuk sekedar update status, me-like status yang kita suka, dan saling ber-komentar kosong sembari mengesampingkan potensi besar untuk misalnya, menjadi sumber dan rujukan wacana politik, sosial dan kebudayaan yang mesti membuka celah untuk kita perdebatkan berdasarkan argumentasi akademis?

    Salah satu jalan yang penulis sarankan adalah berdamai dengan teknik “olah lahan tebu” dan kembali pada basic potential yang kita miliki sekarang: halama situs resmi NU Sudan (www.nusudan.org). Hal ini salah satu jalan penting, mengembalikan eksistensi kita sebagai “jama’ah” yang memiliki porsi penting dalam wacana kebijakan, issue, dan opini yang terus secara dinamis berkembang dalam diri kita sebagai masyarakat yang komunal. Dan memerlukan perhatian khusus –minimal—sebagai strategi bertahan dari derasnya agresi global yang tidak menuntut intelektualisnya berdiam diri, namun turun –menenggelamkan dirinya pada arus—untuk mempelajari rumus – rumus resistensi kebudayaan dan jebakan peradaban global. Hal ini bukan lalu dapat diartikan untuk total mejeburkan diri dan me-berhalakan literasi kita pada perkembangan global dan mengacuhkan norma, etika dan estetika yang selama ini kita pegang sebagai kaum bersarung, bukan. Tetapi sekali lagi, kita turun ke “jalan” untuk merumuskan keadaan dan persoalan.

    Merumuskan keadaan dan persoalan tersebut, bagi penulis (mungkin) hanya akan bisa ditempuh dengan dua cara diatas: menjadi –minimal terilhami untuk-- citizen journalism, dan menganggap media sosial sebagai orbit penggemblengan ketahanan mediasi kita antara standar akademisi dan emosi. Selain jadi ladang subur bagi akademisi, intelektualis dan aktivis untuk menampung materi literasi. Lalu setelah keduanya kita miliki, yuk, ajak penulis, untuk mendiskusikan apa yang kita dapatkan ke ruang yang lebih “dapur” dari sekedar merenungkannya sendiri: forum.nusudan.org.

    Secara fungsional, memang forum.nusudan.org tidak lebih istimewa dan efisien dibanding dengan “group” di facebook, misalnya. Namun, penulis masih punya optimis besar bahwa terhadap perkembangan forum.nusudan.org sebagai ruang terminan untuk mengembangkan diri dalam menyampaikan pendapat, ber-argumentasi ataupun sekedar menyimak. Facebook dan media sosial sejenisnya dengan kemudahan yang ditawarkan pada user terlalu bergas dan lajak dengan begitu secara tidak sadar, menjebak penggunannya pada cara berfikir “singkat dan pendek” tanpa penghayatan ilmiah dan argumentasi panjang, bukan? Hal ini berbeda (mungkin) dengan sedikit kerumitan yang akan anda lalui dan bikin “gemes”, ketika bermain forum, blog atau wordpress, misalnya. Kita diajarkan untuk berhati – hati dalam memutuskan, tidak semena – mena berkomentar tanpa argumentasi dan pemikiran yang panjang. Yakinlah satu hal, penulis mengingatkan: untuk menguasai “keramaian”, anda perlu ruang sendiri untuk merenung, mendiskusikan dan menguasai “kesendirian”. Facebook adalah pasar, yang ramai. Suatu saat, anda perlu bersembunyi.

    Ala kulli hal, kesemuanya itu, penulis hanya ingin mengajak para pembaca meng-artikan ulang pentingnya menjaga eksistensi kita sebagai jama’ah, persyarikatan, intelektualis, cendekiawan dan akademis untuk memiliki peran aktif dalam membangun “citra” positif bagi arus jama’ah, persyarikatan dan komunitas akademis lain yang berada di kanan kiri kita, yang hari ini mereka gencar menggunakan media di Internet sebagai bahan menertawakan kita, yang tradionalis dan terjerat ide – ide konservatif.

    PCINU Sudan sebagai Cabang Istimewa dari organisasi keagamaan kemasyarakatan terbesar di dunia, memiliki ideology, asas dan kaidah mengenai sebuah sikap bagi pengikutnya ---kita hafal di luar kepala--, satu kaidah terpenting: Almuhafadha ‘ala qadiim salih, wa alakhd bil jadiid ashlah, bukan?



    Jum’at, 20 Juni 2014

    Read More...

    Let, Pamplet Latah

  • Mar 30, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir

  • Wahai pemuda,
    Perang mengkabut di langit
    Mengabur gelapkan mata dan akal sehat kita
    Orang – orang ke tujuan entah kemana
    Berkendara dengan apa saja

    Lembaga berkedok apa saja
    Menjamur dari kota ke pelosok pelosok desa
    Menjelontorkan program – program yang justru bikin kita kelaparan

    Agama hanya ditafsir hayati oleh orang – orang miskin dan kelaparan.
    Kita punya jutaan alasan untuk antipati menjalankan perintahnya
    Kerna seringkali kita dicekok tafsir – tafsir yang menebar kebencian

    Oo, juga media oh media
    yang semakin menjadi tuhan dan peradilan
    menjajah pikiran, Menggoyahkan pijakan
    bikin tiap kali membacanya, aku pingin nyimeng dan mabok saja

    sambil bertanya – tanya, dimana kalian berada?

    Ingat kah masa, ketika kita berani berkata:
    Inggris kita linggis, Amerika kita setrika, Jepang kita tendang,
    Belanda kita hampir kalahkan ?

    Ayo, aku bersumpah, demi diriku yang tak lebih suci dari babi
    Mengajak kalian berdiri, meneriakan yang tak sekedar reformasi
    Tetapi revolusi yang kita kemas sendiri, yang menjadikan kita abadi
    Yang kita impor dari diktat – diktat perjalanan nasionalisme, kemanusiaan dan bisikan alam

    Kita berjanji, tidak takut mati sebab kelaparan
    Karena otak, pikiran, juga cara pandang kita
    Sudah kita netralisir dengan angan – angan panjang masa depan

    Kita perangi opini media yang menjadikan kita industry
    Kita sebar pamphlet tegas, bahwa faktanya begini
    Perusahaan – perusahaan asing harus kita rebut dan kelola sendiri
    Kekayaan alam kita gali tanpa lupa kita lestarikan

    Lalu Kita jadikan falsafah agama sebagai pijakan hukum tertinggi,
    Lebih tinggi dari pencapaian dan gelar akademisi
    Lebih etik dari janji politik
    Lebih jantan dari jabatan dan kekuasaan
    Lebih tinggi dari kepentingan pribadi
    Lebih dewa dari perwira

    Ayo, aku bersumpah, demi diriku yang tak lebih suci dari babi
    Mari kita pelajari potensi alam kita, dan mensyukurinya sebagai anugrah
    Lalu Kita kelola anugrah menjadi rahmah


    Mari belajar,
    Tetapi jika sudah pintar dan bergelar
    Jangan Kau merasa jadi paling manusia
    Lalu kau anggap sekitarmu kurang manusia

    Ayo, aku bersumpah, demi diriku yang tak lebih suci dari babi
    Percayalah kepada tanah dan air sendiri.
    Pulanglah ke pangkuan ibu pertiwi
    Ribuan hectare hutan kita masih lebat,
    Tanah – tanah kita masih subur
    Gunung, lautan dan batu-batu perawan
    Merindui kita, menggerak kepak kan tangan

    O pemuda, percayalah kita keturunan konglomerat dunia
    Mari kita beli obat anti minder, obat anti rasa takut,
     obat anti gelisah, obat anti ingin terus disembah

    karena rumus bernasionalis kita adalah menjadikan tanah air sebagai panggilan
    Nasionalis kita bukan melulu optimisme buta,
    Bukan melulu rasa bangga yang kita bunga – bunga
    Tetapi juga tentang keprihatinan, dan kecemasan
    Semua nya itu kita sadari sebagai rasa pertanda ikut memiliki
    Kita musti sadar bahwa tanah air memang bukan selintas sejarah dan sepotong geografi

    aku bersumpah, demi diriku yang tak lebih suci dari babi
    Aku tulis sajak ini dengan latah,
    Sebab melulu tiap hari kita dijajah



    Khartoum, 8 November 13

    Read More...

    Desa Santren

  • Mar 11, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir

  • Ternyata tidak banyak yang tahu, karena mungkin tidak banyak disebut oleh kitab – kitab pedoman pewayangan konvensional dengan detil mengenai bagaimana keadaan (ber-) kehidupan dan peradaban desa tempat para pandawa mengasingkan diri karena diusir oleh Duryudhana dari kerajaan Hastinapura. Karena pandawa kalah judi dadu kedua dengan saudara – saudara korawa.

    Para kitab – kitab hanya menyebut dengan “Hutan dalam”, atau “hutan rimba”.

    Cerita singkatnya begini, setelah Pandawa dikalahkan oleh paman Sengkuni yang mewakili Duryudhana dalam permainan judi dadu pertama.Hilanglah seluruh hak milik Pandawa terhadap kerajaan. Tinggalah Yudistira dan saudara pandawanya sebatangkara, diusir dari kerajaan Hastinapura dan diberi sepetak tanah oleh Duryudhana. Dari tanah inilah, pandawa bangkit mendirikan peradaban, membangun kembali kerajaan pandawa yang dinamakan Indraprastha. Sampai pada suatu ketika, Duryudhana yang dikenal sering iri dan kepinginan jalan – jalan melewati sekitar kerajaan Indraprastha dan dilihatnya pendapa kerajaan Indrapasti yang begitu megah. Duryudhana yang latah, langsung pulang ke Kerajaan Hastinapura memanggil semua kuli – kuli bangunan kerajaan untuk merenovasi ulang bangunan - bangunan kerajaan karena iri melihat kerajaan Pandawa yang ia lihat begitu megahnya. Selang itu juga, Paman Sengkuni yang terkenal cerdik dan licik berbisik kepada Duryudhana.

    “keponakanku yang terhormat, apakah tidak lebih baik kita datangkan saja Yudistira dan saudaranya kemari. Kita adakan judi dadu kedua dengan memasang taruhan kerajaan mereka?”, bisik Sengkuni pada Duryudhana.

    Duryudhana yang hatinya sudah diselimuti rasa iri dan dengki, akhirnya menyetujui usulan Paman Sengkuni untuk membuka kembali Judi dadu kedua yang pada kali ini taruhannya adalah kerajaan. Pandawa yang ksatria, pantang menolak tantangan. Mereka datang ke Hastinapura untuk memenuhi tantangan saudara-nya Duryudhana. Dan benar, nasib nahas lagi – lagi diterima oleh Pandawa. Paman Korawa yang licik dan cerdas, sengkuni, berhasil mengalahkan pandawa yang diwakili oleh Yudistira dan membuat para ksatria Yudistira yang sudah tidak lagi memiliki kerajaan Indraprasthi mengasingkan diri, hidup sebatang kere bersama istrinya Drupadi dan Saudara Pandawanya di “hutan rimba” selama 12 tahun ditambah satu tahun harus mengasingkan diri menjadi orang lain untuk kembali memiliki Indraprasthi.

    Pertanyaannya adalah, dimanakah hutan rimba itu? Seringkali saat kita baca / dengar kisah Ramayana dan mahabrata, plot cerita setelah diusirnya pandawa dari Indraprasthi langsung meloncat berkisah pada hara-huru cikal bakal peperangan Baratayudha. Padahal ada yang tertinggal dari kisah itu: perjalanan 12 tahun pandawa membangun kembali peradabannya di Hutan rimba yang disebut desa Santren .

    Padahal, di desa santren itulah cikal bakal Pandawa membangun dan menemukan falsafah, nilai kehidupan, etika, moral dan segala hal apapun yang tidak sempat mereka terima dari pendidikan di kerajaan mereka sebelumnya: Hastinapura dan Indraprestha. Termasuk kisah – kisah percintaan saudara – saudara Yudistira selama menetap 12 tahun di desa tersebut.

    Para Pandawa banyak belajar dari pribumi Santren yang menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi luhur dan penghormatan terhadap kearifan local yang sudah masyarakat Santren jalankan jauh masa sebelum pandawa hijrah ke desa mereka.

    Selain belajar banyak dari interaksi sosial masyarakat Santren yang menjunjung tinggi etika sosial, etika kebersamaan. Para Pandawa sering juga bersemedi di gua – gua gunung sekitar desa Santren yang damai untuk beberapa hari secara istiqomah. Disinilah, menjadi cikal bakal kematangan perjalanan spiritual pada pandawa bermula. Para pandawa seperti menemukan air kehidupan yang menemukannya pada hakikat hidup seorang manusia. Sehingga, tampaklah sudah diantara para pandawa Fadhol – fadhol yang Sang Hyang Widhi titipkan, sebagai indicator kematangan perjalana ruhaniyah dan ilahiyyah para pandawa, juga sebagai bukti ekspresi Sang Hyang Widhi pada orang – orang yang bersungguh – sungguh mendekati-NYA dan menjadikannya kekasih.


    Yudistira sebagai saudara tertua pandawa, dari waktu ke hari semakin memiliki kematangan spiritual yang tampak dari pancaran aura wajahnya yang seperti bercahaya. Ketika berbicara, Yudistira yang bijak dan Tawadlu’ selalu bisa membawa lawan bicaranya tidak berkedip dan tertunduk patuh mendengar tiap rangkaian kata – kata dari suara wibawa yang keluar dari bibir bijaknya. Sehingga tidak heran, jika tiap sore hari menjelang tenggelamnya matahari di dalem Yudistira dikerumi warga Santren mulai bapak – bapak, ibu – ibu, anak muda hingga anak – anak menanti Yudistira keluar dari balik pintu rumahnya dan menyampaiakan kata – kata mutiara tentang apapun hasil perenungan Begawan Yudistira yang dijadikan motivasi dan pelajaran hidup bagi para pribumi Santren yang tidak jarang diantara mereka sedang dirundung gelisah dan putus asa terhadap hidup. Ya, orang – orang Santren biasa memanggil Yudistira dengan “Begawan” Yudistira. Sebagai titisan dari dewa yama: akhirat, memiliki sifat yang arif, bijaksana, tidak memiliki musuh dan tidak pernah berbohong semasa hidupnya maka tidak salah jika dia dipanggil oleh orang – orang desa Santren dengan “Begawan”. Bahkan sebagian dari mereka, karena melihat sifat dan perilaku Yudistira yang sangat patuh terhadap nilai etika dan budi pekerti, mereka sering menjuluki Yudistira dengan Dharmasuta. 


    Lain halnya dengan Yudistira, Bima yang merupakan adik Yudistira. Anak kedua titisan Dewa Bayu dari hasil perkawinan Pandu dan dewi kunti ini, yang dianugrahi kesaktian luar  biasa mampu memecah belah gunung dengan lengan kirinya yang panjang. Bima yang berperawakan gagah, tinggi, berbadan besar dan bermuka sangar namun memiliki hati yang ikhlas dan Qona’ah ini menjadi andalan masyarakat Santren untuk membantu melindungi keamanan dan menjaga desa Santren dari serangan – serangan baik eksternal maupun internal yang mengganggu stabilitas ketentraman desa. Bima yang merupakan titisan dewa angin, memiliki kesaktian yang amat mandraguna. Kesaktian ini, ia peroleh dari kerja keras istiqomah berlatihnya pada bukit – bukit kecil disekitaran gunung – gunung kawasan Desa Santren yang amat luas. Ia memiliki kebiasaan yang wira’I, atau tirakat. Namun pribumi desa Santren tetap saja menamainya Werkudoro karena  yang mereka tahu bahwa Bima setiap kali makan sangatlah banyak, padahal bima hanya makan satu kali dalam setahun. Itupun ia tidak memakan makanan yang berasal dari makhluk yang bernafas –Ngrowot, ia hanya memakan gandum /  nasi dan air putih. Setelah ia makan, sisa waktu  setahun lagi menunggu waktu makan di tahun berikutnya ia gunakan dengan berpuasa. Bima adalah satu – satunya saudara Pandawa yang Qona’ah. Orang Santren sering menyebut kesederhanaan Bima dengan nerimo ing pandhum: yang menerima apa adanya. Tidak kaget, jika dikemudian hari, Bima lah dengan senjata Gada-nya berperan besar membawa kemenangan Pandawa dalam peperangan Baratayudha melawan Korawa di kurukshetra, dengan mencabik – cabik dada Dursasana dan meminum darahnya.

    Termasuk diantara saudara Pandawa yang menjadi harapan pembawa kemenangan pada pertempuran Kurukshetra nanti adalah adik Bima, Arjuna. Merupakan titisan dari dewa Indra, hingga tidak heran jika ia mewarisi kemampuan dan kemahiran berperang, termasuk handal dalam mengatur strategi perang. Arjuna terkenal jago dalam hal memanah. Ia memiliki keahlian memanah semenjak usia muda. Ia paling gemar dan hoby berburu. Di halaman depan rumahnya yang sederhana, ia membuka padepokan kecil – kecilan untuk anak – anak pribumi Santren belajar memanah. Tidak jarang juga, Arjuna yang selain dikenal titis, penyabar dan juga penyayang ini hampir rutin setiap akhir pekan mengajak  anak – anak asuhnya berburu di hutan. Arjuna yang “bersinar”, selalu berkeyakinan bahwa hutan adalah satu – satunya medan untuk mengasah seseorang menjadi ksatria sejati.

    Berbeda dengan ketiga saudara pandawa diatas: Yudistira, Bima dan Arjuna. Adalah saudara kembar Pandawa Nakula dan Sahadewa yang merupakan adik tiri dari lain ibu Yudistira, Bima dan Arjuna. Ibunya Nakula – Sahadewa, Dewi Madri adalah seorang Begawan wanita yang sangat patuh kepada suaminya, Pandu. Dikisahkan, bahwa ketampanan dan kegagahan Nakula – Sahadewa ini merupakan perpaduan antara kecantikan Dewi Madri dengan kegagahan Begawan Pandu yang sempurna. Idamana setiap wanita. Tidak jarang tiba – tiba datang saudagar kaya raya ke desa Santren dengan membawa harta bendanya jauh – jauh dari asalnya untuk melamarkan anak gadisnya yang ngotot ingin dinikahi salah satu diantara Nakula dan Sahadewa. Namun lamaran demi lamaran, tawaran, serta iming – iming apapun selalu mendapatkan jawaban yang sama dari Nakula dan Sahadewa, ditolak. Saudara Pandawa titisan dewa Aswan-Aswin ini bersikeras mengabdi membantu kakak – kakak mereka Yudistira, Bima dan Arjuna daripada memilih menerima lamaran seorang gadis anak saudagar kaya raya. Keduanya hidup sederhana, rumahnya hanya cukup memuat 7 ekor kambing.

    Semenjak kecil, oleh Dewi Madri yang ayahnya berprofesi sebagai Pandhe Besi, ia wariskan tekhnik – tekhnik membuat pedang dan senjata besi lain kepada Nakula dan Sahadewa. Jadi, tidak mengherankan bahwa Nakula dan Sahadewa yang sudah akrab dengan membuat senjata pedang ini, sangat mahir membuat pedang dan memainkanya. Selain karena ketampanannya, tiap hari ibu – ibu dan gadis – gadis sering mendatangi rumahnya untuk sekedar memperbaiki pisau dapur mereka atau memesan yang baru. Nakula dan Sahadewa tidak pernah merasa malu dengan pekerjaannya itu. Bagi keduanya, membantu dan bermanfaat bagi orang lain adalah usaha seorang manusia yang bukan hanya menjaga sirkulasi ilahiyyah terhadap ‘abd namun juga sebagai perjalanan spiritual tersendiri dengan cara sikap khidmah dan ‘abdy . Nakula dan Sahadewa, keduanya membuat ribuan pedang yang digunakan oleh prajurit pembela pandawa dalam perang di Kurukshetra.

    Demikianlah, sekelumit keadaan di desa Santren yang begitu banyak kisah - kisah menarik untuk diceritakan, apalagi setelah kedatangan para pandawa dan yang pasti ingin saya lanjut ceritakan. Namun jangan sekarang!

    selamat malam. 


    Read More...
     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg