SELAMAT DATANG

Saya Menyesal: Kenapa Tidak Tinggal Saja di Asrama

Posted on
  • Jun 25, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Pada hari / tanggal keberapa yang penulis lupa –jelasnya awal penulis menginjakkan kaki di Sudan (28 oktober 2011)— perkiraan selang beberapa minggu setelah kedatangan penulis bersama dua sejawatnya: M. Satar Amrullah dan Awaliya Safithri. Sewaktu itu, tampuk kepemimpinan Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama (PCINU Sudan) dinahkodai oleh DR. H. Sohib Rifa’I, MA sebagai Rais Syuriah dan H. Lian Fuad, BS sebagai Ketua Tanfidzhiyah, dengan kantor kesektretariatan berada di Arkaweet blok 48. Sebuah rumah sederhana dengan total luas kurang lebih 40 X 25 M2.

    Terdiri dari satu ruang diperuntukan untuk kantor kerja, satu auditorium sederhana diperuntukan untuk sentral kegiatan berdekatan dengan perpustakaan sederhana di sampingnya –rak berisikan diktat, kitab dan literature--, kemudian satu kamar mandi, satu ruang dapur sederhana yang dipadu dengan baseman berisikan meja dan kursi – kursi tua tempat biasa teman – teman aktivis PCINU Sudan berdiskusi dan berkumpul bersebelahan antara ruang dapur dan satu petak halaman kecil berukuran 4 x 10 Myang merupakan tempat pilihan favorit untuk tidur malam saat musim panas tiba.

    Sore hari itu, setelah sholat maghrib berjama’ah, Doktor Sohib menyeru para ‘penghuni’ rumah yang sejatinya kesekretarian PCINU itu untuk berkumpul di Auditorium. Dalam hati kecil penulis, sebenarnya sudah menyangka – nyangka beberapa hal yang mungkin, mengenai kebijakan yang sakit didengar. Doktor Sohib meluruskan beberapa hal, terkait beberapa permasalahan rumah yang sejatinya bertetangga langsung dengan tuan rumah. Diantaranya, kebisingan yang sering terjadi dan jumlah penghuni rumah yang sejatinya kesekretarian itu yang meledak. Bahkan, ketika ternyata kami saling berhitung, pada saat itu, jumlah kami lebih dari 15. Sedangkan, teken kontrak sewa rumah dengan tuan rumah hanya tertera tidak lebih dari 8 orang. Itu adalah permasalahan klasik mengenai kebudayaan sewa menyewa di Sudan, katanya, mayoritas menyewa rumah hanya boleh dihuni oleh minimal 8 orang.

    Dalam hal ini, adalah konsekwensi kita harus menghargai dan bersikap realistis terhadap kelangsungan bertetangga sebagai kaum pendatang. konkrit faktanya, kita tidak sedang menyewa rumah untuk kepentigan 8 orang itu, namun lebih. Karena diantara tujuan teman aktivis PCINU menyewa rumah saat itu, adalah difungsikan sebagai kantor kesekretarian dan sentral kegiatan para anggota NU di Sudan.  Hal diatas belum diperparah drama tuan rumah yang mengancam akan menaikan harga sewa, atau enggan diperpanjang pada kontrak berikutnya.

    Alhasil, dengan tegas penulis akui cool, Doktor Sohib melalui lisan H. lian Fuad, BS mengambil tindakan ‘pemutihan’ penghuni: terkait nama – nama yang berhak secara de jure menempati rumah yang sejatinya adalah kesekretariatan. 8 orang yang berhak tinggal, setelah melewati pertimbangan elit syuriah dan tanfidziyah pada saat itu. Dan siapapun sudah mengira, penulis dan keenam sejawatnya tidak termasuk, dan harus meninggalkan rumah yang sejatinya kesekretariatan itu. Demi merenggangkan otot saraf guam –perselisihan—tuan rumah yang harus mulai dianggap serius.

    Mau tidak mau, penulis beserta enam sejawatnya: Abdul Aziz, A. Lukman Fahmi, Farisul Arsyad, Satar Amrullah, Ahmad Syuhada dan Barri Alhafidz memutuskan untuk membuka lembaran dan lingkungan baru bergegas di asrama yang disediakan kampus, Omdurman Islamic University. Sejujurnya, diantara kami, melalui percakapan – percakapan kecil kami di sela – sela kesibukan sebagai mahasiswa, kami masih merasa berat hati untuk memulai segalanya dari awal. Kami seolah sudah merasa nyaman, dengan selama ini tinggal di rumah PCINU Sudan Arkaweet blok 48 yang sejatinya kesekretariatan itu. Disana, kami sudah terbiasa bercanda, bergaul, berdiskusi tentang hal – hal remeh temeh bersama lintas daerah dan pengalaman latar belakang kami di Indonesia. Hal itu, bagi kami yang masih newbie –anak bawang—baru datang di Sudan, adalah semacam obat anti-depresan  yang selama ini kami cemaskan sebelum berangkat ke Sudan. Seperti kecemasan: apakah di sudan nanti –pada ekosistem baru, kami akan menemukan hal yang sama, minimal dalam pergaulan sesama mahasiswa seperti laiknya selama ini kami kenal di Indonesia? Atau, disana ada teman orang Indonesia bisa kita percaya, atau tidak?

    Sejujurnya, pertanyaan – pertanyaan kecil nan menggelikan itu, pasti timbul bagi siapa saja, termasuk kami, ketika hendak menginjak-kan kaki di Negara yang konon seperti yang disiarkan melalui media – media massa Indonesia yang selalu memandang ‘usang’ tentang Sudan.  

    Baru sedikit mendapatkan jawaban, atas pertanyaan – pertanyaan di atas. Dan diantara kita –newbie—baru belajar saling akrab dan bersahabat. Juga lingkungan yang membuat kita merasa nyaman, dengan alih – alih itu kadang penulis dengan ringan berkata: ternyata sudan itu tidak seperti yang kita sangka – sangkakan, tidak begitu menyeramkan. Disini konflik hanya cerita sebelum tidur, yang kita dengar dari lisan – lisan senior. Tidak seperti yang kita baca di koran – koran digital: Label Negara rawan. Pergaulan juga hampir persis seperti di Indonesia. bahkan Banyak mahasiswa maupun mahasiswi Indonesia di sini. Otomatis, kita punya banyak PR untuk berkenalan diantara satu dengan mereka dan menambah teman baru. Bahkan, dalam keseharian, seperti saya yang jawa, rasa – rasanya  masih tetap menggunakan bahasa jawa dalam percakapan. Memang saya dimana?

    Pernyataan menggelikan diatas, selalu bikin celah tawa kecil saat penulis tergiring mengingatnya.

    Sedangkan diantara penulis dan keenam sejawatnya, yang pada saat itu sudah berada di asrama. Tidak henti – hentinya berkeluh kesah, tentang hal – hal baru yang baru perlu kami hadapi di asrama, Futihab Omdurman. Kami berkumpul dalam satu bilik khusus yang kita sewa untuk tempat eskap sementara kami lari, ‘diusir’ oleh mashlahat. Diantara kami, bahkan karena saking belum mampu penuh keluar dari zona nyaman, berceloteh banyak hal tentang kebijakan itu. Bahkan sempat kami sepakat, bahwa Doktor Sohib bertindak otoriter dan tidak mengindahkan kami.

    Namun toh, selang beberapa lama –hitungan minggu. Kami pun sudah terbiasa dengan kehidupan baru kami di asrama. Penulis malah sempat merasa ‘nyaman’ berada di asrama. Dimana penulis bisa meng-kondisi-kan segala hal, terkait diri penulis pribadi dengan semau ‘gue’ dengan penuh konsekwensi yang ditanggung sendiri. Jika suatu saat penulis sedang giat membaca, misalnya, penulis akan memanfaatkan menit – menit escaping di asrama bermanja – manja dengan Seno Gumiro Adjidharma, Djenar Maesa Ayu, Putu Wijaya, Phutut EA dan banyak lagi sebagai pendamping kesepian penulis di asrama. Penulis merasa bebas, menentukan sendiri nasibnya. Tidak terjerat oleh muatan – muatan pasar yang cenderung bersifat persuasive dan kurang bertanggung jawab.

     Di asrama, penulis sendirilah, yang mau tidak mau, menemukan jalan motivasinya sendiri, membangun keter-sadar-an sendiri, bukan ditentukan oleh eksponen eksternal dan motif pasar. Seperti yang sebelumnya penulis rasakan di rumah arkaweet 48 yang sejatinya kantor kesekretariatan itu.

    Di asrama, penulis bebas menentukan lawan bergaul. Bilik kami yang bertetangga dan berdempetan dengan penguhuni lain yang berbeda suku, budaya dan bahasa, adalah kekayaan sendiri yang pribadi penulis rasakan sebagai ladang multicultural luas untuk kita meraba – raba saling berkenalan antar satu sama lain. Bukan kah, merupakan tujuan prinsip yang harus kita sadari dari diciptakannya manusia oleh Allah SWT dengan kondisi saling bersilang gender, berbangsa dan ber-suku itu untuk kita saling mengenal satu sama lain? Inna ja’alnaakum Syu’uban wa Qobaaila Li Ta’arafuu.

    Di asrama, awal – awalnya penulis beranikan diri berkenalan dengan teman – teman dari Thailand yang masih satu rumpun (kalkulatif penulis). Selain mudah dalam proses berkenalannya, karena serumpun bahasa, adat dan kebudayaan yang hampir tidak sukar dimengerti, adalah hal – hal yang mula penulis harus bangun sebagai penghuni asrama baru yang musti ‘sowan’ –sungkem—senior. Dan alhamdulllah, dari perkenalan itu penulis kembangkan menjadi keakraban – keakraban yang ber-implikasi pada hal – hal yang kemudian boleh dikatakan bermanfaat misalnya saling sharing –tukar pendapat dan ide, atau diskusi kecil – kecilan paruh waktu. Itulah pengalaman kali pertama penulis, berdiskusi dengan tanpa atribut apapun selama penulis berada di Sudan.

    Tidak jauh hari setelah itu, barulah penulis mulai mengembangkan sayap perkenalan dengan mahasiswa lain –bertetangga kamar—dari lintas Negara dan benua. Penulis berkenalan dengan awal -awalnya Musyrif sebagai ‘pengasuh’ asrama, hingga beliau kenal betul (akrab) dengan kami: mahasiswa Indonesia. Bahkan, pada satu waktu yang tidak sengaja, kami berkesempatan mengundang beliau untuk Futhuur (red, Breakfast) bersama di bilik kami, dengan menu seadanya: Indomie. Setelah itu juga, penulis berkenalan dengan teman – teman Sudan dari berbagai daerah: Darfur, Port Sudan, Jined, Sudan barat dan sebagainya. Ada juga diantaranya, adalah orang – orang asing dari Pantai Gading, Nepal, dan Nigeria.

    Alangkah begitu, hal tersebut rangkaian album kenangan indah yang penulis rasakan ketika berada di asrama.

    Fasilitas di asrama pun, penulis kira memadai. Disediakan tempat tidur (bahkan lemari bagi yang di IUA), kamar mandi bersama, masjid, lapangan sepakbola atau basket, dan satu hal: dekat dengan kampus hari – hari kita belajar. Bikin kita betah belajar dan merenung, mengembangkan bahasa arab atau meluangkan waktu yang melimpah untuk sekedar membaca diktat materi kuliah untuk mempersiapkan ujian yang konon menegangkan  ---namun yang terakhir ini, belum berlaku bagi pribadi penulis.  

    Pada hari dan tanggal keberapa yang penulis lupa. Sedang terjadi kerusuhan di asrama, Futihab Omdurman. Yang desas – desusnya konon kerusuhan disebabkan oleh dua hal: Pertama, kasus pembunuhan 4 mahasiswa Darfur di Jazirah  –salah satu kawasan di Sudan, oleh oknum yang disinyalir militer yang merebak kasus setelah jenazah diketemukan di perairan sungai Nil tanpa ada kejelasan dari pihak terkait. Kontan, hal tersebut mengundang aksi brutal dari sejumlah aktivis mahasiswa Darfur yang menuntut penegakan hukum: dengan aksi perusakan 4 gedung raksasa asrama Futihan. Kedua, konon ini terkait kenaikan harga tariff tinggal di asrama. Tidak tanggung – tanggung, tariff kenaikan – nya hampir seratus persen dari 125 SDG ke 250 SDG per-tahunnya. Hal ini lah, sebab alasan kenapa banyak kabar menilai kenapa huru – hara terjadi. Adalah aksi protes atas kenaikan harga tariff tinggal asrama yang dianggap tidak pro dengan kantong mahasiswa. Malam itu para aktivis menggelar serangkaian aksi protes dengan membakar ludes hampir seluruh asrama seisinya. Pada malam hari itu, penulis dan keenam sejawatnya sedang tidak berada di asrama: merayakan libur tahunan di Khartoum. Baru ke-esokan harinya penulis mendengar kabar lisan dari Ahmad Syuhada’ lalu dibenarkan oleh para saksi kejadian –teman Thailand.   

    Kalau, toh, pada saat itu penulis tidak sedang berada di Khartoum. Mungkin penulis hari ini masih memiliki asrama sebagai sarana escaping, merenung, belajar keluar dari zona nyaman, berkenalan dengan hal baru, menghadapi persoalan komunal, mengembangkan diri, dan pengayaan bahasa.
     Hari ini, dua tahun kurang setelah aksi brutal itu, penulis baru sadar tentang penting dan kerugian penulis  yang sudah tidak lagi memiliki asrama. Di samping rasa sedih yang sempat penulis rasakan, juga bahkan ke-enam sejawat penulis yang kehilangan harta benda paska kerusuhan. Detik ini Penulis berkata: Saya menyesal, kenapa tidak tinggal saja di asrama saja.

    Tak ayal, bagi penulis hanya bisa meratapi bagaimana sikap 2 tahun yang lalu, utamanya terhadap fatwa ‘pemutihan’ Doktor Haji Sohib melalui lisan Haji Lian Fuad yang menyadarkan penulis sampai hari ini tentang satu pasal hukum: sejatinya rumah yang dengan pembiayaan kantong PCINU Sudan itu adalah kantor kesekretariatan dan sentral kegiatan. Tidak lain, bukan?


    Khartoum, 25 Juni 2014

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg