SELAMAT DATANG

Dari Bisik - Bisik

Posted on
  • Jun 23, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Terhitung sudah 8 hari –sejak tanggal 14 Juni 2014 lalu, program PCINU Sudan masa kepemimpinan Miftahul Munif yang diamanati oleh hasil pemilihan raya pada Konferensi Cabang PCINU XII di auditorium Daar Mushar untuk menjabat sebagai ketua Tanfidzhiyah masa abdi 2014-2015. Penutupan program kerja PCINU sementara ini konon ditenggarai oleh beberapa pertimbangan. Salah satunya, adalah dalam rangka menyambut massa ‘hening’ bagi para teman – teman yang mengaji di International University of Africa (IUA). Dalam hal tersebut, PCINU Sudan melalui rapat gabungan dewan Syuriah dan Tanfidhiyah menelurkan kelonggaran bagi mahasiswa IUA untuk sejenak lepas dari komitmen institusi dan kesempatan bermanja – manja dengan diktat  --materi ujian yang akan diujikan pada 6 juli mendatang.   

    Penulis melakukan kroscek, ke beberapa pelaku sejarah terkait kebijakan yang sempat membuat muntab penulis ketika membacanya. Meski jauh sebelum penulis tergerak berkesimpulan, penulis berupaya menjauh dari wilayah – wilayah emosional destruktif dan ruang sensitive pribadi, (mungkin) terkait memang penulis tidak sedang menempuh pendidikan S1 di UIA, namun toh akhirnya tulisan ini rampung dan sampai dibaca oleh para pembaca budiman. Dengan penulis masih tetap merasa marjinal dan minority.

    Terkait kroscek penulis kepada pelaku sejarah –utamanya Assabiqunal Awwaluun—generasi awal yang sempat mengenyam pahit manis atau menyaksikan serta mengikuti secara intens perkembangan sejarah, sejak awal adanya NU di Sudan. Sebagai wadah instutional, yang selalu melahirkan kebijakan – kebijakan yang pada taraf urgensitasnya harus sesuai tolok ukur kepentingan ‘ammah atau minimal tanpa meminggirkan minoritas sebagai eksponen yang harus juga dipertimbangkan kesetaraannya di depan satu cermin yang sama. Penulis berkesempatan untuk berbincang dan konsultasi perihal persoalan gelisah penulis tentang hasil rapat tersebut pada sebuah perbincangan kecil, hangat dan sederhana. Kesimpulan pelaku sejarah mengatakan, bahwa tidak satupun pernah PCINU Sudan sebagai organisasi multikultural pengikutnya menelurkan satu buah keputusan untuk menghentikan (tutup) program sejenak dikarenakan, atau beralasan menolelir kepentingan pribadi anggotanya, yang mayoritas mahasiswa dikarenakan sedang akan menghadapi ujian, misalnya.

     Terus terang bukan di hasil kebijakan yang bikin penulis tidak terkesan dengan hasil rapat gabungan Syurah & tanfidhiyah tersebut. Namun pada argumentasi dan pertimbangan, yang membuat penulis berkesimpulan tidak relevan dan kurang pertimbangan. Jika toh, misalnya, penulis mungkin akan sedikit lega apabila menggunakan dalih penyambutan bulan suci ramadhan, atau segera menyebut tegas alasan lain yang tidak potensial meminggirkan penulis dan kawan – kawan sebagai minoritas. Hal ini dengan kerendahan hati penulis, terpaksa harus penulis sampaikan mewakili teman – teman penulis dari sementara mereka yang merasa terkebiri dan dimarjinalkan oleh kepentingan pribadi. Adakah yang lebih riskan bagi minoritas, dari komitmen sikap NU yang selalu kita hafal dengan salah satunya adalah Tasamuh –sikap toleran-- atau I’tidal –berlaku adil dan equal--, lalu secara tidak sengaja ditindas oleh kepentingan mayoritas? Inilah sebab, kenapa tiba – tiba penulis merasai menjadi bagaimana perasaan umat Kristen (minoritas) yang berkehidupan bertetangga dengan mayoritas islam, seperti di Indonesia hari ini.

    Sedangkan arah sayap dan dukungan kita sebagai Nahdliyin terhadap Negara dan ideology konstitusinya sudah jelas, mendukung penuh Demokrasi dan menghalalkan Pancasila. Namun disana sini, dalam berkehidupan berbangsa bernegara: beragam dan berbhineka, sebagai Nahdliyin masih sering bagi kita menyaksikan praktik yang berhaluan dari apa yang sudah kita sepakati menjadi tujuan. Bahkan, terlalu naïf bagi kita, dengan mudahnya kita diam –tidak melawan, terhadap praktik feodalisme, monolitik dan imperalisme yang berseliweran “ngangkang” di tas kopyah demokrasi kita. Tidak mustahil, jika pada akhirnya seperti yang pernah Gus Dur katakan, bahwa mustahil kita mengaku pada dunia atas berjalannya demokrasi di antara kita tanpa adanya kedaulatan dan penegakan hokum, serta memahami komponen resapan dari demokrasi seperti pluralism, equality, kesamaan hak dan perlindungan pendapat. Pada saatnya, lanjut Gus Dur “Indonesia akan terjebak pada arus yang menjadikan Demokrasi sebagai alternative dari ‘tidak sadar dan ketakutan’ pasar yang berakibat suburnya praktik demokrasi semu (pseudo democracy)”. Seperti yang sudah terjadi di republic Weimar pada  masa jabatan rais ‘aam Adolf Hitler yang otoriter.


    Persetubuhan Kultural dan Institusional di PCINU Sudan

    Sebagai organisasi Cabang yang ber-induk pada kebesaran Nahdatul ‘Ulama, PCINU Sudan harus mengakomodasi Garis Besar Haluan Nahdatul ‘Ulama (GBHNU) sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan dengan pengikut terbesar di dunia. Diantaranya adalah sikap – sikap prinsip yang mau tidak mau harus terinspirasi dari apa yang PBNU gariskan. Sebab sejatinya, ke-NU-an terhadap prinsip ibadah, amaliah dan kebudayaan kita harus tetap sama dimanapun berada, tidak di Sudan, di Yaman, di Jerman atau di Amerika. Harus tetap sama, semaksimal mungkin kita jalankan selaras dengan ibadah, amaliah dan kebudayaan kita di nusantara. Itulah satu – satunya sikap yang harus diperhatikan sebagai anak kandung PBNU agar selalu tetap di-cap sebagai anak yang taat pada orang tua. Bukan kah sikap keagamaan, sebagaimana yang kita tahu: harus senantiasa saalih likulli zamaan wal makaan? Termasuk tradisi persetubuhan cultural dan institusional diantara kita. Sebagai pegiat, anak nahdliyin yang ber-organisasi demi keberlangsungan eksistensi tradisi maupun budi luhur yang merupakan harga mati yang perlu mati – matian dipertahankan sebagai pondasi.
    Ada dua hal paling efektif untuk melanggengkan pendekatan keagamaan kita selama ini. Pertama, pendekatan secara cultural. Dalam praktinya, Nahdatul ‘ulama dalam strategi dakwahnya selalu permisif dan terbuka terhadap warisan budaya dan tradisi luhur. Banyak  sudah literature yang membahas kedewasaan strategi dakwah cultural NU dalam hal ini, baik berbentuk advokasi (pembelaan) kebudayaan atau tradisi dari gempuran arus global. Maupun rekontruksi / vermak substansi nilai dari kebudayaan hindu budha, dan menjadikannya jalan wushul pada ketentuan – ketentuan profetik.   

    Kedua, Institusional. Jangan lupa, bahwa dibalik keberlangsungan dakwah cultural yang jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi yang dilegislasi sebagai institusi NU optimis selalu diharapkan menjadi icon pembaharuan dan perubahan dari masa ke masa. Pembaharuan NU awal, sudah ditandai dengan berdirinya NU sebagai Organisasi Keagamaan Kemasyarakata (ORMAS) pada tahun 1926. Sedangkan perubahan bersifat dinamistis sudah juga dilewati NU dari satu dekade ke lain era, bahkan sebagai kunci sejarah Nasional kita. Dengan begitu, satu hal tugas kita: tradisi Tajdid harus selalu menjadi garapan pokok bagi generasi setelahnya sebagai bentuk penyegeran dan pembaharuan. Diharapkan dengan itu, adalah terciptanya suasana dinamis dalam berkehidupan kita sebagai icon keberagamaan yang berkemajuaan utamanya saalih li kulli zamaan wal makaan. Dan dengan NU kita justru terjebak pada kobangan nihilistik dan stagnasi, yang sejujurnya keduanya itu berarti kemunduran.

    Jika kita kaitkan, dengan uraian penulis sebelum ini. Sebagai bagian dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama Sudan, penulis perlu kembali mengingatkan penting keduanya sebagai eksponen yang perlu memiliki porsi ideal demi kelangsungan komposisi perjuangan kita sebagai nahdliyin, yang tentu kesemuanya itu demi terwujudnya cita – cita organisasi. Kalau dipersempit, maka hal tersebut juga akan kembali pada ketidak-terkesannya penulis terhadap hasil rapat gabungan tanggal 14 Juni lalu pasal alasan pertimbangan penutupan (sementara) program kerja PCINU Sudan.
    Sebab penulis beranggapan erat kaitan antara sebuah kebijakan NU sebagai institusi dengan keberlangsungan keberagamaan kita yang sejatinya penulis artikan sebagai nilai cultural. Toh, selama ini penulis melihat bahwa sebagian besar program kerja tersebut adalah juga terdiri dari beberapa hal yang bersifat cultural, seperti lailatul Ijtima’ yang digawangi oleh Lembaga Dakwah (LD) PCINU Sudan. Jelas sudah bagi pembaca, dimana letak kegelisahan dan titik ketidak sepahaman penulis terhadap hasil rapat gabungan Syuriah dan tanfiziyah PCINU 8 hari yang lalu. Belum lagi penulis menyayangkan logika kebijakan penutupan program sementara dikarenakan menyambut sebagian mahasiswa yang menghadapi ujian akhir semester (UAS) jika dikongsikan pada beberapa sebagian program kerja lembaga PCINU Sudan yang bersifat spontanitas seperti pengiriman berita kegiatan ke PBNU (nu.or.id), pengelolaan web berkala oleh Lembaga ta’lif wa Nasyr (LTN), atau yang bersifat kondisional seperti program bertandang ke kediaman masyayikh yang rencana akan dihelat oleh Lembaga dakwah (LD) pada bulan suci ramadhan ini. Sekali lagi, dengan kerendahan hati penulis beranggapan bahwa hasil rapat tersebut terlalu apriori.


    Pemeluk NU itu Multikultural

    Semenjak dihapusnya beberapa butir kata dalam piagam Jakarta. NU baik secara cultural maupun institusional mendukung dan menghalal-kan Pancasila sebagai ideologi Negara. Secara utuh NU mendukung penuh berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahkan dibuktikan oleh resolusi jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari (21-22 Oktober 2014).

    Dengan begitu secara tidak tertulis NU juga menghargai komposisi – komposisi peranan dari sebuah NKRI, diantaranya adalah keberagaman etnis, suku, agama dan latar belakang. Dalam arti lain, NU mengayomi paham multikulturalisme dengan sikap moderat dan permisif berdampingan terhadap selain NU. Memiliki prinsip kesetaraan hak dalam regulasi hukum dan supremasinya. Menjunjung keterlaksanaan dan kedaulatan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45).

    Hal ini harus disadari oleh setiap warga NU apabila hendak berpegang teguh pada spirit kebangsaan. Dengan prinsip – prinsip patriotic ini pula, NU dalam perjalanan sejarah nasional dan peranannya dapat diterima dengan mudah oleh bahkan lintas agama di Indonesia. NU selalu mampu membawa wajah perubahan dan penyegaran Islam secara moderat bahkan berimplikasi pada perubahan sosial yang massif bagi stabilitas sosial antar umat beragama dan bernegara.

    Salah satu warisan penting bagi Nahdatul ‘Ulama dengan jumlah pemeluk yang hampir diperkirakan mencapai 70 juta lebih ini adalah keragaman latar belakang pemeluknya. Keragaman itu bisa dibagi menjadi beberapa bagian kecil seperti daerah / suku, strata sosial dan profesi, bahkan tingkat pendidikan. Bahkan sempat ada guyonan, bahwa karena pesona charisma sosok Gus Dur, ada sebagian orang seperti mas Butet Kertaradjasa (seniman/budayawan) yang mendaulat dirinya termasuk Nahdliyin Cabang Khatolik.

    Inilah yang membuat NU memiliki potensi besar untuk menggiring sebuah perubahan nasional. Namun dibalik potensi besar tersebut, perlu diingat pula, bahwa NU juga memiliki potensi – potensi madharat besar bagi kelangsungan Nasional, apabila setiap kebijakannya di-pantati oleh kepentingan local utamanya ini biasa terjadi pada pemain elite NU yang jika tidak dengan penuh hati – hati akan membubarkan cita – cita perubahan ke arah yang lebih baik tersebut.

    PCINU Sudan sebagai organisasi anak asuh cabang PBNU, juga harus bisa pertama – tama menilik potensi besar yang pasti ada di tubuh dirinya. Hal ini bisa dibeberkan dengan bukti – bukti konkrit, bahwa PCINU Sudan sebagaimana NU di nusantara juga memiliki asset pemeluk yang multicultural: berbeda tempat asal / daerah, suku, kebudayaan bahkan universitas tempat kuliah.

    Dalam hal – hal kecil, sedemikian penulis sampaikan ini. PCINU Sudan harus legowo, tidak menutup mata dan telinga terhadap hal yang mayoritas orang menganggap remeh-temeh. Mendengarkan kritik terhadap sebuah kebijakan yang harus bertolok pada mashalah ‘aamah (bukan perspektif pribadi) utamanya yang dihasilkan oleh hasil rapat elite PCINU Sudan adalah hal yang harusnya dibiasakan untuk dibudayakan, diperhatikan dan didengar lalu bersama merumuskan solusi. Hal ini sering terjadi dalam tradisi keberlangsungan NU sebagai organisasi dengan pemeluk terbesar di dunia, bukan?

    Senin, 23 Juni 2014

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg