Pada tahun 2012, sewaktu penulis menjabat sebagai Ketua Lajnah
Ta’lif wa Nasyr (LTN PCINU) Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama
Sudan sudah menggagas beberapa siasat untuk mengubah kecondongan public (public
mainstream) dari mode penggunaan layanan internet dalam pengertian besar “mereka”
adalah media sosial, kepada mode penggunaan media sosial sebagai wahana
pembelajaran dakwah melalui kiat dalam menyampaikan sebuah ide atau berita
melalui sebuah karya tulis lalu mempostingnya ke lama situs resmi PCINU Sudan
(www.nusudan.com). Ide seperti ini, harusnya menjadi perhatian serius bagi
aktivis PCINU Sudan, sebagai media independent, menyuarakan kebebasan
berpendapat di tempat umum ---Sebagai akademisi—yang selalu oleh masyarakat
ditunggu gebrakan – pemikiran yang menghantarkan pada perubahan sosial, atau
minimal menjaganya.
Bagi penulis, keberanian untuk menyampaikan ide, pendapat dan
gagasan itu sangat penting. Tidak hanya dalam forum tertutup, lebih dari itu
adalah forum – forum terbuka yang disitu anda tidak hanya akan dituntut untuk
berani menyampaikan ide anda, namun juga keberanian untuk menerima argumentasi
yang berseberangan dengan anda. Itulah, kenapa hal semacam ini bagi penulis
begitu berharga, karena sering takutnya kita untuk berbeda. Kita tidak dilarang
untuk berbeda, bukan? Justru, dari perbedaan, agama kita menyeru untuk
mempelajari perbedaan tersebut. Dengan implikasi lebih jauh, adalah saling
memahami satu dengan yang lain dengan cara saling berlapang dada terhadap
kenyataan yang beragam ini. Inna Ja’alnaa Kum Syu’uuba wa Qabaaila Li Ta’aarafu
– Sungguh kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku agar kalian saling
mengenal. Di tambahkan lagi, setelah saling mengenal tercapai artinya manusia
menunjukan jati dirinya sebagai makhluk sosial yang butuh kenal dan dikenal,
dari persengketaan dan gesekan sosial tersebutlah manusia kemudian mampu melihat
sudut – sudut strategis dan potensial untuk melangsungkan dan memilih sendiri
jalan tujuan dan motif kehidupannya sendiri sebagai makhluk sosial, apakah ia
akan memilih Ta’awun ‘alal Birr, kah? Atau sebaliknya?
Manusia yang ber-Ta’awun ‘alal Birr, selalu mencari celah
untuk memperbaiki kehidupannya; menjauhkan diri dari perasaan sempurna. Ia
selalu belajar dari resapan air, metabolism perut bumi, sirkulasi hujan,
perubahan cuaca dan angin, dan apapun yang membuatnya merasa tidak nyaman untuk
tidak mempelajarinya.
Ketika tulisan ini belum rampung diselesaikan, penulis terngiang
– ngiang pertanyaan seorang teman yang mempertanyakan bagaimana keadaan dan
perkembangan forum.nusudan.org. kepadanya itu penulis katakan, saat ini
tidak diperlukan tekhnik khusus untuk memperbaiki hal itu. Melihat tidak adanya
iktikad ke arah perubahan yang lebih baik. Bagi penulis, untuk memperbaiki hal
ini, hanya diperlukan tekhnik “sepele”, yaitu belajar dari cara para petani
tebu giling mengolah lahan yang hendak ditanami tebu. Bedah dan balik tanahnya,
bakar sisa – sisa ilalang dan “bongkotan” tebu kemaren yang tidak berguna. Netralkan
tanah dari tumbuhan onak yang mengganggu kelangsungan pertumbuhan masyarakat “tebu”.
Lalu setelah tanah kering bersih, kita balik tanah dan membentuknya sesuai
selera ---apakah dengan tekhnik reynose, atau konvensional seperti di desa –
desa. Baru setelah itu, diharapkan masyarakat “tebu” pulih dengan kehidupan
baru dan tumbuh lebih baik.
Sebagai mantan pejabat LTN-PCINU Sudan penulis merasa apa
yang dihasilkan melalui program – program yang dibesutnya sia – sia, jika tanpa
diimbangi dengan konsistensi berkesinambungan antara pemegang kendalinya. Tentu
perjuangan perubahan akan macet dan terhambat jika tidak disokong oleh
re-generasi yang juga searah melawan masalah dan menuju perubahan abadi. Demikian,
penulis rasakan, gebrakan dan perubahan yang telah penulis dan rekan – rekan sewaktu
menjabat menjadi LTN-PCINU Sudan, tidak lebih hanya sebatas euphoria yang tidak
memakan waktu lama untuk kembali tenggelam ke dasar laut. Akhirnya, jika hal
ini terus kita acuhkan dan tidak menarik bagi kita untuk perduli dari tahun –
ke tahun, program kita hanya akan menghasilkan serangkaian keharuman bunga
jihad “kosong”. Bunga mekar, wangi dan layu; tidak kekal. Sedang jihad kosong
yang penulis maksud adalah, menyia-nyiakan tenaga dan kesungguhan hanya untuk
mencapai tujuan yang pendek dan rendah, seperti mengisi draft keberhasilan Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) Tahunan Pengurus.
Perdebatan mengenai relevan, tidak kah memerjuangan
eksistensi akademis dan intelektualis dalam masyarakat dewasa ini sudah close
case –tutup kasus. Dalam arti kata, perdebatan di meja akademisi dan forum
diskusi hanya akan berujung pada pemahaman yang berasaskan teori, sedangkan di
luar sana penggunaan Facebook merajalela sebagai media kaum citizen untuk
me-publish kejadian atau apapun disekitar mereka, tidak terkecuali twitter,
blog ataupun wordpress yang terus naik indek penggunannya. Hari ini, dunia
peradaban literat manusia mengajak dan men-sortir penggunanya untuk selebar –
lebarnya membuka cakrawala fakta, opini, gagasan, ide dan men-sortir kita untuk
dihadapkan pada dua pilihan: mengikuti arus perkembangan, atau terjebak ide –
ide tradisional dan konservatif?
Saya mengambil dua contoh: pertama, hari ini materi
jurnalistik yang biasa kita dengar dan perdebatkan faktanya sehari – hari ,
sudah tidak mesti lahir dari produk – produk yang ditawarkan oleh wartawan. Masyarakat
modern bebas meng-observasi kebenaran sebuah kasus dari berbagai sudut pandang
dan sumber. Tidak seperti dulu, jalan lintas pemahaman kita terhadap sebuah
kasus atau fakta digariskan oleh pewartaan wartawan melalui sebuah media ternama.
Sekarang tidak! Bahkan pers sudah banyak melonggarkan rem – rem baku, untuk
masyarakat bebas memilih bahan dan kebenaran informasinya sendiri. Bahkan me-publish
hal – hal disekitarnya dengan merdeka dan tanpa sensor. Inilah mungkin yang dimaksud
baru – baru ini dengan istilah citizen journalism.
Kedua, facebook sebagai media sosial yang diproklamirkan 2004
lalu –sebelum itu bernama facemash. Berawal dari keinginan Mark
Zuckerberg untuk membuat line penghubung antar sesama rekannya satu
kampus, kini mendunia sebagai media sosial paling diminati oleh pengguna
internet di seluruh dunia. Dengan berbagai fitur yang ditawarkan Mark, seperti
layanan pesan, komentar dan apresiatif (like) bahkan fasilitas “Group” sebagai
media persyarikatan yang konon hari ini paling efektif untuk saling bertukar
Ide, pengalaman, berdiskusi paruh waktu atau bahkan sekedar reuni almamater. Namun
sekarang, fungsi tersebut lebih variatif, manusia kreatif menangkap ide Mark
sebagai lahan potensial yang bernilai komoditif komersial bagi keberlangsungan
pemasaran iklan, bisnis bahkan bagi masyarakat demokrasi untuk meluruskan
opini, mengembangkan fakta, menarik dan mendiskusikan kesimpulan hingga sampai
pada sentralisasi issue, politic campaign –Kampanye politik dan lain sebagainya
yang mempengaruhi perkembangan politik sampai kebudayaan kita hari ini. Lalu pertanyaannya:
masihkah kita menganggap facebook hanya sebagai media sosial “biasa”, yang
hanya meng-isyaratkan kita untuk sekedar update status, me-like status yang
kita suka, dan saling ber-komentar kosong sembari mengesampingkan potensi besar
untuk misalnya, menjadi sumber dan rujukan wacana politik, sosial dan
kebudayaan yang mesti membuka celah untuk kita perdebatkan berdasarkan
argumentasi akademis?
Salah satu jalan yang penulis sarankan adalah berdamai dengan
teknik “olah lahan tebu” dan kembali pada basic potential yang kita
miliki sekarang: halama situs resmi NU Sudan (www.nusudan.org).
Hal ini salah satu jalan penting, mengembalikan eksistensi kita sebagai “jama’ah”
yang memiliki porsi penting dalam wacana kebijakan, issue, dan opini yang terus
secara dinamis berkembang dalam diri kita sebagai masyarakat yang komunal. Dan memerlukan
perhatian khusus –minimal—sebagai strategi bertahan dari derasnya agresi global
yang tidak menuntut intelektualisnya berdiam diri, namun turun –menenggelamkan dirinya
pada arus—untuk mempelajari rumus – rumus resistensi kebudayaan dan jebakan
peradaban global. Hal ini bukan lalu dapat diartikan untuk total mejeburkan
diri dan me-berhalakan literasi kita pada perkembangan global dan mengacuhkan
norma, etika dan estetika yang selama ini kita pegang sebagai kaum bersarung,
bukan. Tetapi sekali lagi, kita turun ke “jalan” untuk merumuskan keadaan dan
persoalan.
Merumuskan keadaan dan persoalan tersebut, bagi penulis
(mungkin) hanya akan bisa ditempuh dengan dua cara diatas: menjadi –minimal terilhami
untuk-- citizen journalism, dan menganggap media sosial sebagai orbit
penggemblengan ketahanan mediasi kita antara standar akademisi dan emosi. Selain
jadi ladang subur bagi akademisi, intelektualis dan aktivis untuk menampung
materi literasi. Lalu setelah keduanya kita miliki, yuk, ajak penulis, untuk
mendiskusikan apa yang kita dapatkan ke ruang yang lebih “dapur” dari sekedar
merenungkannya sendiri: forum.nusudan.org.
Secara fungsional, memang forum.nusudan.org tidak lebih
istimewa dan efisien dibanding dengan “group” di facebook, misalnya. Namun,
penulis masih punya optimis besar bahwa terhadap perkembangan forum.nusudan.org
sebagai ruang terminan untuk mengembangkan diri dalam menyampaikan pendapat,
ber-argumentasi ataupun sekedar menyimak. Facebook dan media sosial sejenisnya
dengan kemudahan yang ditawarkan pada user terlalu bergas dan lajak
dengan begitu secara tidak sadar, menjebak penggunannya pada cara berfikir “singkat
dan pendek” tanpa penghayatan ilmiah dan argumentasi panjang, bukan? Hal ini
berbeda (mungkin) dengan sedikit kerumitan yang akan anda lalui dan bikin “gemes”,
ketika bermain forum, blog atau wordpress, misalnya. Kita diajarkan untuk
berhati – hati dalam memutuskan, tidak semena – mena berkomentar tanpa
argumentasi dan pemikiran yang panjang. Yakinlah satu hal, penulis
mengingatkan: untuk menguasai “keramaian”, anda perlu ruang sendiri untuk
merenung, mendiskusikan dan menguasai “kesendirian”. Facebook adalah pasar,
yang ramai. Suatu saat, anda perlu bersembunyi.
Ala kulli hal, kesemuanya itu, penulis hanya ingin mengajak para pembaca
meng-artikan ulang pentingnya menjaga eksistensi kita sebagai jama’ah,
persyarikatan, intelektualis, cendekiawan dan akademis untuk memiliki peran
aktif dalam membangun “citra” positif bagi arus jama’ah, persyarikatan dan
komunitas akademis lain yang berada di kanan kiri kita, yang hari ini mereka
gencar menggunakan media di Internet sebagai bahan menertawakan kita, yang
tradionalis dan terjerat ide – ide konservatif.
PCINU Sudan sebagai Cabang Istimewa dari organisasi keagamaan
kemasyarakatan terbesar di dunia, memiliki ideology, asas dan kaidah mengenai
sebuah sikap bagi pengikutnya ---kita hafal di luar kepala--, satu kaidah
terpenting: Almuhafadha ‘ala qadiim salih, wa alakhd bil jadiid ashlah, bukan?
Jum’at, 20 Juni 2014
1 komentar:
hehe baru buka mbah
Post a Comment