SELAMAT DATANG

MENYELAMATKAN FORUM: forum.nusudan.org

Posted on
  • Jun 20, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Pada tahun 2012, sewaktu penulis menjabat sebagai Ketua Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN PCINU) Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama Sudan sudah menggagas beberapa siasat untuk mengubah kecondongan public (public mainstream) dari mode penggunaan layanan internet dalam pengertian besar “mereka” adalah media sosial, kepada mode penggunaan media sosial sebagai wahana pembelajaran dakwah melalui kiat dalam menyampaikan sebuah ide atau berita melalui sebuah karya tulis lalu mempostingnya ke lama situs resmi PCINU Sudan (www.nusudan.com). Ide seperti ini, harusnya menjadi perhatian serius bagi aktivis PCINU Sudan, sebagai media independent, menyuarakan kebebasan berpendapat di tempat umum ---Sebagai akademisi—yang selalu oleh masyarakat ditunggu gebrakan – pemikiran yang menghantarkan pada perubahan sosial, atau minimal menjaganya.

    Bagi penulis, keberanian untuk menyampaikan ide, pendapat dan gagasan itu sangat penting. Tidak hanya dalam forum tertutup, lebih dari itu adalah forum – forum terbuka yang disitu anda tidak hanya akan dituntut untuk berani menyampaikan ide anda, namun juga keberanian untuk menerima argumentasi yang berseberangan dengan anda. Itulah, kenapa hal semacam ini bagi penulis begitu berharga, karena sering takutnya kita untuk berbeda. Kita tidak dilarang untuk berbeda, bukan? Justru, dari perbedaan, agama kita menyeru untuk mempelajari perbedaan tersebut. Dengan implikasi lebih jauh, adalah saling memahami satu dengan yang lain dengan cara saling berlapang dada terhadap kenyataan yang beragam ini. Inna Ja’alnaa Kum Syu’uuba wa Qabaaila Li Ta’aarafu – Sungguh kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku agar kalian saling mengenal. Di tambahkan lagi, setelah saling mengenal tercapai artinya manusia menunjukan jati dirinya sebagai makhluk sosial yang butuh kenal dan dikenal, dari persengketaan dan gesekan sosial tersebutlah manusia kemudian mampu melihat sudut – sudut strategis dan potensial untuk melangsungkan dan memilih sendiri jalan tujuan dan motif kehidupannya sendiri sebagai makhluk sosial, apakah ia akan memilih Ta’awun ‘alal Birr, kah? Atau sebaliknya?

    Manusia yang ber-Ta’awun ‘alal Birr, selalu mencari celah untuk memperbaiki kehidupannya; menjauhkan diri dari perasaan sempurna. Ia selalu belajar dari resapan air, metabolism perut bumi, sirkulasi hujan, perubahan cuaca dan angin, dan apapun yang membuatnya merasa tidak nyaman untuk tidak mempelajarinya.

    Ketika tulisan ini belum rampung diselesaikan, penulis terngiang – ngiang pertanyaan seorang teman yang mempertanyakan bagaimana keadaan dan perkembangan forum.nusudan.org. kepadanya itu penulis katakan, saat ini tidak diperlukan tekhnik khusus untuk memperbaiki hal itu. Melihat tidak adanya iktikad ke arah perubahan yang lebih baik. Bagi penulis, untuk memperbaiki hal ini, hanya diperlukan tekhnik “sepele”, yaitu belajar dari cara para petani tebu giling mengolah lahan yang hendak ditanami tebu. Bedah dan balik tanahnya, bakar sisa – sisa ilalang dan “bongkotan” tebu kemaren yang tidak berguna. Netralkan tanah dari tumbuhan onak yang mengganggu kelangsungan pertumbuhan masyarakat “tebu”. Lalu setelah tanah kering bersih, kita balik tanah dan membentuknya sesuai selera ---apakah dengan tekhnik reynose, atau konvensional seperti di desa – desa. Baru setelah itu, diharapkan masyarakat “tebu” pulih dengan kehidupan baru dan tumbuh lebih baik.

    Sebagai mantan pejabat LTN-PCINU Sudan penulis merasa apa yang dihasilkan melalui program – program yang dibesutnya sia – sia, jika tanpa diimbangi dengan konsistensi berkesinambungan antara pemegang kendalinya. Tentu perjuangan perubahan akan macet dan terhambat jika tidak disokong oleh re-generasi yang juga searah melawan masalah dan menuju perubahan abadi. Demikian, penulis rasakan, gebrakan dan perubahan yang telah penulis dan rekan – rekan sewaktu menjabat menjadi LTN-PCINU Sudan, tidak lebih hanya sebatas euphoria yang tidak memakan waktu lama untuk kembali tenggelam ke dasar laut. Akhirnya, jika hal ini terus kita acuhkan dan tidak menarik bagi kita untuk perduli dari tahun – ke tahun, program kita hanya akan menghasilkan serangkaian keharuman bunga jihad “kosong”. Bunga mekar, wangi dan layu; tidak kekal. Sedang jihad kosong yang penulis maksud adalah, menyia-nyiakan tenaga dan kesungguhan hanya untuk mencapai tujuan yang pendek dan rendah, seperti mengisi draft keberhasilan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Tahunan Pengurus.

    Perdebatan mengenai relevan, tidak kah memerjuangan eksistensi akademis dan intelektualis dalam masyarakat dewasa ini sudah close case –tutup kasus. Dalam arti kata, perdebatan di meja akademisi dan forum diskusi hanya akan berujung pada pemahaman yang berasaskan teori, sedangkan di luar sana penggunaan Facebook merajalela sebagai media kaum citizen untuk me-publish kejadian atau apapun disekitar mereka, tidak terkecuali twitter, blog ataupun wordpress yang terus naik indek penggunannya. Hari ini, dunia peradaban literat manusia mengajak dan men-sortir penggunanya untuk selebar – lebarnya membuka cakrawala fakta, opini, gagasan, ide dan men-sortir kita untuk dihadapkan pada dua pilihan: mengikuti arus perkembangan, atau terjebak ide – ide tradisional dan konservatif?

    Saya mengambil dua contoh: pertama, hari ini materi jurnalistik yang biasa kita dengar dan perdebatkan faktanya sehari – hari , sudah tidak mesti lahir dari produk – produk yang ditawarkan oleh wartawan. Masyarakat modern bebas meng-observasi kebenaran sebuah kasus dari berbagai sudut pandang dan sumber. Tidak seperti dulu, jalan lintas pemahaman kita terhadap sebuah kasus atau fakta digariskan oleh pewartaan wartawan melalui sebuah media ternama. Sekarang tidak! Bahkan pers sudah banyak melonggarkan rem – rem baku, untuk masyarakat bebas memilih bahan dan kebenaran informasinya sendiri. Bahkan me-publish hal – hal disekitarnya dengan merdeka dan tanpa sensor. Inilah mungkin yang dimaksud baru – baru ini dengan istilah citizen journalism.

    Kedua, facebook sebagai media sosial yang diproklamirkan 2004 lalu –sebelum itu bernama facemash. Berawal dari keinginan Mark Zuckerberg untuk membuat line penghubung antar sesama rekannya satu kampus, kini mendunia sebagai media sosial paling diminati oleh pengguna internet di seluruh dunia. Dengan berbagai fitur yang ditawarkan Mark, seperti layanan pesan, komentar dan apresiatif (like) bahkan fasilitas “Group” sebagai media persyarikatan yang konon hari ini paling efektif untuk saling bertukar Ide, pengalaman, berdiskusi paruh waktu atau bahkan sekedar reuni almamater. Namun sekarang, fungsi tersebut lebih variatif, manusia kreatif menangkap ide Mark sebagai lahan potensial yang bernilai komoditif komersial bagi keberlangsungan pemasaran iklan, bisnis bahkan bagi masyarakat demokrasi untuk meluruskan opini, mengembangkan fakta, menarik dan mendiskusikan kesimpulan hingga sampai pada sentralisasi issue, politic campaign –Kampanye politik dan lain sebagainya yang mempengaruhi perkembangan politik sampai kebudayaan kita hari ini. Lalu pertanyaannya: masihkah kita menganggap facebook hanya sebagai media sosial “biasa”, yang hanya meng-isyaratkan kita untuk sekedar update status, me-like status yang kita suka, dan saling ber-komentar kosong sembari mengesampingkan potensi besar untuk misalnya, menjadi sumber dan rujukan wacana politik, sosial dan kebudayaan yang mesti membuka celah untuk kita perdebatkan berdasarkan argumentasi akademis?

    Salah satu jalan yang penulis sarankan adalah berdamai dengan teknik “olah lahan tebu” dan kembali pada basic potential yang kita miliki sekarang: halama situs resmi NU Sudan (www.nusudan.org). Hal ini salah satu jalan penting, mengembalikan eksistensi kita sebagai “jama’ah” yang memiliki porsi penting dalam wacana kebijakan, issue, dan opini yang terus secara dinamis berkembang dalam diri kita sebagai masyarakat yang komunal. Dan memerlukan perhatian khusus –minimal—sebagai strategi bertahan dari derasnya agresi global yang tidak menuntut intelektualisnya berdiam diri, namun turun –menenggelamkan dirinya pada arus—untuk mempelajari rumus – rumus resistensi kebudayaan dan jebakan peradaban global. Hal ini bukan lalu dapat diartikan untuk total mejeburkan diri dan me-berhalakan literasi kita pada perkembangan global dan mengacuhkan norma, etika dan estetika yang selama ini kita pegang sebagai kaum bersarung, bukan. Tetapi sekali lagi, kita turun ke “jalan” untuk merumuskan keadaan dan persoalan.

    Merumuskan keadaan dan persoalan tersebut, bagi penulis (mungkin) hanya akan bisa ditempuh dengan dua cara diatas: menjadi –minimal terilhami untuk-- citizen journalism, dan menganggap media sosial sebagai orbit penggemblengan ketahanan mediasi kita antara standar akademisi dan emosi. Selain jadi ladang subur bagi akademisi, intelektualis dan aktivis untuk menampung materi literasi. Lalu setelah keduanya kita miliki, yuk, ajak penulis, untuk mendiskusikan apa yang kita dapatkan ke ruang yang lebih “dapur” dari sekedar merenungkannya sendiri: forum.nusudan.org.

    Secara fungsional, memang forum.nusudan.org tidak lebih istimewa dan efisien dibanding dengan “group” di facebook, misalnya. Namun, penulis masih punya optimis besar bahwa terhadap perkembangan forum.nusudan.org sebagai ruang terminan untuk mengembangkan diri dalam menyampaikan pendapat, ber-argumentasi ataupun sekedar menyimak. Facebook dan media sosial sejenisnya dengan kemudahan yang ditawarkan pada user terlalu bergas dan lajak dengan begitu secara tidak sadar, menjebak penggunannya pada cara berfikir “singkat dan pendek” tanpa penghayatan ilmiah dan argumentasi panjang, bukan? Hal ini berbeda (mungkin) dengan sedikit kerumitan yang akan anda lalui dan bikin “gemes”, ketika bermain forum, blog atau wordpress, misalnya. Kita diajarkan untuk berhati – hati dalam memutuskan, tidak semena – mena berkomentar tanpa argumentasi dan pemikiran yang panjang. Yakinlah satu hal, penulis mengingatkan: untuk menguasai “keramaian”, anda perlu ruang sendiri untuk merenung, mendiskusikan dan menguasai “kesendirian”. Facebook adalah pasar, yang ramai. Suatu saat, anda perlu bersembunyi.

    Ala kulli hal, kesemuanya itu, penulis hanya ingin mengajak para pembaca meng-artikan ulang pentingnya menjaga eksistensi kita sebagai jama’ah, persyarikatan, intelektualis, cendekiawan dan akademis untuk memiliki peran aktif dalam membangun “citra” positif bagi arus jama’ah, persyarikatan dan komunitas akademis lain yang berada di kanan kiri kita, yang hari ini mereka gencar menggunakan media di Internet sebagai bahan menertawakan kita, yang tradionalis dan terjerat ide – ide konservatif.

    PCINU Sudan sebagai Cabang Istimewa dari organisasi keagamaan kemasyarakatan terbesar di dunia, memiliki ideology, asas dan kaidah mengenai sebuah sikap bagi pengikutnya ---kita hafal di luar kepala--, satu kaidah terpenting: Almuhafadha ‘ala qadiim salih, wa alakhd bil jadiid ashlah, bukan?



    Jum’at, 20 Juni 2014

    1 komentar:

    Unknown said...

    hehe baru buka mbah

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg