Ternyata tidak banyak yang tahu,
karena mungkin tidak banyak disebut oleh kitab – kitab pedoman pewayangan
konvensional dengan detil mengenai bagaimana keadaan (ber-) kehidupan dan
peradaban desa tempat para pandawa mengasingkan diri karena diusir oleh
Duryudhana dari kerajaan Hastinapura. Karena pandawa kalah judi dadu kedua
dengan saudara – saudara korawa.
Para kitab – kitab hanya menyebut dengan “Hutan dalam”, atau
“hutan rimba”.
Cerita singkatnya begini, setelah Pandawa dikalahkan oleh paman
Sengkuni yang mewakili Duryudhana dalam permainan judi dadu pertama.Hilanglah
seluruh hak milik Pandawa terhadap kerajaan. Tinggalah Yudistira dan saudara
pandawanya sebatangkara, diusir dari kerajaan Hastinapura dan diberi sepetak
tanah oleh Duryudhana. Dari tanah inilah, pandawa bangkit mendirikan peradaban,
membangun kembali kerajaan pandawa yang dinamakan Indraprastha. Sampai pada
suatu ketika, Duryudhana yang dikenal sering iri dan kepinginan jalan – jalan melewati sekitar kerajaan
Indraprastha dan dilihatnya pendapa kerajaan Indrapasti yang begitu megah.
Duryudhana yang latah, langsung pulang ke Kerajaan Hastinapura memanggil semua
kuli – kuli bangunan kerajaan untuk merenovasi ulang bangunan - bangunan
kerajaan karena iri melihat kerajaan Pandawa yang ia lihat begitu megahnya.
Selang itu juga, Paman Sengkuni yang terkenal cerdik dan licik berbisik kepada
Duryudhana.
“keponakanku yang terhormat, apakah tidak lebih baik kita
datangkan saja Yudistira dan saudaranya kemari. Kita adakan judi dadu kedua
dengan memasang taruhan kerajaan mereka?”, bisik Sengkuni pada Duryudhana.
Duryudhana yang hatinya sudah diselimuti rasa iri dan dengki,
akhirnya menyetujui usulan Paman Sengkuni untuk membuka kembali Judi dadu kedua
yang pada kali ini taruhannya adalah kerajaan. Pandawa yang ksatria, pantang
menolak tantangan. Mereka datang ke Hastinapura untuk memenuhi tantangan
saudara-nya Duryudhana. Dan benar, nasib nahas lagi – lagi diterima oleh Pandawa.
Paman Korawa yang licik dan cerdas, sengkuni, berhasil mengalahkan pandawa yang
diwakili oleh Yudistira dan membuat para ksatria Yudistira yang sudah tidak
lagi memiliki kerajaan Indraprasthi mengasingkan diri, hidup sebatang kere bersama istrinya Drupadi dan Saudara Pandawanya di “hutan rimba”
selama 12 tahun ditambah satu tahun harus mengasingkan diri menjadi orang lain
untuk kembali memiliki Indraprasthi.
Pertanyaannya adalah, dimanakah hutan rimba itu? Seringkali saat
kita baca / dengar kisah Ramayana dan mahabrata, plot cerita setelah diusirnya
pandawa dari Indraprasthi langsung meloncat berkisah pada hara-huru cikal bakal
peperangan Baratayudha. Padahal ada yang tertinggal dari kisah itu: perjalanan
12 tahun pandawa membangun kembali peradabannya di Hutan rimba yang disebut
desa Santren .
Padahal, di desa santren itulah cikal bakal Pandawa membangun dan
menemukan falsafah, nilai kehidupan, etika, moral dan segala hal apapun yang
tidak sempat mereka terima dari pendidikan di kerajaan mereka sebelumnya:
Hastinapura dan Indraprestha. Termasuk kisah – kisah percintaan saudara –
saudara Yudistira selama menetap 12 tahun di desa tersebut.
Para Pandawa banyak belajar dari pribumi Santren yang menjunjung
tinggi adat istiadat, tradisi luhur dan penghormatan terhadap kearifan local
yang sudah masyarakat Santren jalankan jauh masa sebelum pandawa hijrah ke desa
mereka.
Selain belajar banyak dari interaksi sosial masyarakat Santren
yang menjunjung tinggi etika sosial, etika kebersamaan. Para Pandawa sering juga
bersemedi di gua – gua gunung sekitar desa Santren yang damai untuk beberapa
hari secara istiqomah. Disinilah, menjadi cikal bakal kematangan
perjalanan spiritual pada pandawa bermula. Para pandawa seperti menemukan air
kehidupan yang menemukannya pada hakikat hidup seorang manusia. Sehingga,
tampaklah sudah diantara para pandawa Fadhol – fadhol yang Sang Hyang Widhi titipkan, sebagai indicator kematangan
perjalana ruhaniyah dan ilahiyyah para pandawa, juga sebagai bukti ekspresi
Sang Hyang Widhi pada orang – orang yang bersungguh – sungguh mendekati-NYA dan
menjadikannya kekasih.
Yudistira sebagai saudara tertua pandawa, dari waktu ke hari
semakin memiliki kematangan spiritual yang tampak dari pancaran aura wajahnya
yang seperti bercahaya. Ketika berbicara, Yudistira yang bijak dan Tawadlu’ selalu bisa membawa lawan bicaranya tidak
berkedip dan tertunduk patuh mendengar tiap rangkaian kata – kata dari suara
wibawa yang keluar dari bibir bijaknya. Sehingga tidak heran, jika tiap sore
hari menjelang tenggelamnya matahari di dalem Yudistira dikerumi warga
Santren mulai bapak – bapak, ibu – ibu, anak muda hingga anak – anak menanti
Yudistira keluar dari balik pintu rumahnya dan menyampaiakan kata – kata
mutiara tentang apapun hasil perenungan Begawan Yudistira yang dijadikan
motivasi dan pelajaran hidup bagi para pribumi Santren yang tidak jarang
diantara mereka sedang dirundung gelisah dan putus asa terhadap hidup. Ya,
orang – orang Santren biasa memanggil Yudistira dengan “Begawan” Yudistira.
Sebagai titisan dari dewa yama: akhirat, memiliki sifat yang arif, bijaksana,
tidak memiliki musuh dan tidak pernah berbohong semasa hidupnya maka tidak
salah jika dia dipanggil oleh orang – orang desa Santren dengan “Begawan”.
Bahkan sebagian dari mereka, karena melihat sifat dan perilaku Yudistira yang
sangat patuh terhadap nilai etika dan budi pekerti, mereka sering menjuluki
Yudistira dengan Dharmasuta.
Lain halnya dengan Yudistira, Bima yang merupakan adik Yudistira.
Anak kedua titisan Dewa Bayu dari hasil perkawinan Pandu dan dewi kunti ini,
yang dianugrahi kesaktian luar biasa mampu memecah belah gunung dengan lengan kirinya yang
panjang. Bima yang berperawakan gagah, tinggi, berbadan besar dan bermuka
sangar namun memiliki hati yang ikhlas dan Qona’ah ini menjadi andalan
masyarakat Santren untuk membantu melindungi keamanan dan menjaga desa Santren
dari serangan – serangan baik eksternal maupun internal yang mengganggu
stabilitas ketentraman desa. Bima yang merupakan titisan dewa angin, memiliki
kesaktian yang amat mandraguna. Kesaktian ini, ia peroleh dari kerja keras istiqomah berlatihnya pada bukit – bukit kecil disekitaran gunung – gunung
kawasan Desa Santren yang amat luas. Ia memiliki kebiasaan yang wira’I, atau
tirakat. Namun pribumi desa Santren tetap saja menamainya Werkudoro karena yang mereka tahu
bahwa Bima setiap kali makan sangatlah banyak, padahal bima hanya makan satu
kali dalam setahun. Itupun ia tidak memakan makanan yang berasal dari makhluk
yang bernafas –Ngrowot, ia hanya memakan gandum / nasi dan air putih. Setelah ia makan, sisa waktu setahun lagi menunggu waktu makan di tahun
berikutnya ia gunakan dengan berpuasa. Bima adalah satu – satunya saudara
Pandawa yang Qona’ah. Orang Santren sering menyebut kesederhanaan Bima
dengan nerimo ing pandhum: yang menerima apa adanya. Tidak kaget, jika
dikemudian hari, Bima lah dengan senjata Gada-nya berperan besar membawa
kemenangan Pandawa dalam peperangan Baratayudha melawan Korawa di kurukshetra,
dengan mencabik – cabik dada Dursasana dan meminum darahnya.
Termasuk diantara saudara Pandawa yang menjadi harapan pembawa
kemenangan pada pertempuran Kurukshetra nanti adalah adik Bima, Arjuna.
Merupakan titisan dari dewa Indra, hingga tidak heran jika ia mewarisi kemampuan
dan kemahiran berperang, termasuk handal dalam mengatur strategi perang. Arjuna
terkenal jago dalam hal memanah. Ia memiliki keahlian memanah semenjak usia
muda. Ia paling gemar dan hoby berburu. Di halaman depan rumahnya yang
sederhana, ia membuka padepokan kecil – kecilan untuk anak – anak pribumi
Santren belajar memanah. Tidak jarang juga, Arjuna yang selain dikenal titis,
penyabar dan juga penyayang ini hampir rutin setiap akhir pekan mengajak anak – anak asuhnya berburu di hutan.
Arjuna yang “bersinar”, selalu berkeyakinan bahwa hutan adalah satu – satunya
medan untuk mengasah seseorang menjadi ksatria sejati.
Berbeda dengan ketiga saudara pandawa diatas: Yudistira, Bima dan
Arjuna. Adalah saudara kembar Pandawa Nakula dan Sahadewa yang merupakan adik
tiri dari lain ibu Yudistira, Bima dan Arjuna. Ibunya Nakula – Sahadewa, Dewi
Madri adalah seorang Begawan wanita yang sangat patuh kepada suaminya, Pandu.
Dikisahkan, bahwa ketampanan dan kegagahan Nakula – Sahadewa ini merupakan
perpaduan antara kecantikan Dewi Madri dengan kegagahan Begawan Pandu yang
sempurna. Idamana setiap wanita. Tidak jarang tiba – tiba datang saudagar kaya
raya ke desa Santren dengan membawa harta bendanya jauh – jauh dari asalnya untuk
melamarkan anak gadisnya yang ngotot ingin dinikahi salah satu diantara Nakula
dan Sahadewa. Namun lamaran demi lamaran, tawaran, serta iming – iming apapun
selalu mendapatkan jawaban yang sama dari Nakula dan Sahadewa, ditolak. Saudara
Pandawa titisan dewa Aswan-Aswin ini bersikeras mengabdi membantu kakak – kakak
mereka Yudistira, Bima dan Arjuna daripada memilih menerima lamaran seorang
gadis anak saudagar kaya raya. Keduanya hidup sederhana, rumahnya hanya cukup
memuat 7 ekor kambing.
Semenjak kecil, oleh Dewi Madri yang ayahnya berprofesi sebagai Pandhe Besi, ia wariskan tekhnik – tekhnik membuat pedang dan senjata besi
lain kepada Nakula dan Sahadewa. Jadi, tidak mengherankan bahwa Nakula dan
Sahadewa yang sudah akrab dengan membuat senjata pedang ini, sangat mahir
membuat pedang dan memainkanya. Selain karena ketampanannya, tiap hari ibu –
ibu dan gadis – gadis sering mendatangi rumahnya untuk sekedar memperbaiki
pisau dapur mereka atau memesan yang baru. Nakula dan Sahadewa tidak pernah
merasa malu dengan pekerjaannya itu. Bagi keduanya, membantu dan bermanfaat
bagi orang lain adalah usaha seorang manusia yang bukan hanya menjaga sirkulasi
ilahiyyah terhadap ‘abd namun juga sebagai perjalanan spiritual
tersendiri dengan cara sikap khidmah dan ‘abdy . Nakula dan Sahadewa,
keduanya membuat ribuan pedang yang digunakan oleh prajurit pembela pandawa
dalam perang di Kurukshetra.
Demikianlah, sekelumit keadaan di desa Santren yang begitu banyak
kisah - kisah menarik untuk diceritakan, apalagi setelah kedatangan para
pandawa dan yang pasti ingin saya lanjut ceritakan. Namun jangan sekarang!
selamat malam.
0 komentar:
Post a Comment