SELAMAT DATANG

Desa Santren

Posted on
  • Mar 11, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Ternyata tidak banyak yang tahu, karena mungkin tidak banyak disebut oleh kitab – kitab pedoman pewayangan konvensional dengan detil mengenai bagaimana keadaan (ber-) kehidupan dan peradaban desa tempat para pandawa mengasingkan diri karena diusir oleh Duryudhana dari kerajaan Hastinapura. Karena pandawa kalah judi dadu kedua dengan saudara – saudara korawa.

    Para kitab – kitab hanya menyebut dengan “Hutan dalam”, atau “hutan rimba”.

    Cerita singkatnya begini, setelah Pandawa dikalahkan oleh paman Sengkuni yang mewakili Duryudhana dalam permainan judi dadu pertama.Hilanglah seluruh hak milik Pandawa terhadap kerajaan. Tinggalah Yudistira dan saudara pandawanya sebatangkara, diusir dari kerajaan Hastinapura dan diberi sepetak tanah oleh Duryudhana. Dari tanah inilah, pandawa bangkit mendirikan peradaban, membangun kembali kerajaan pandawa yang dinamakan Indraprastha. Sampai pada suatu ketika, Duryudhana yang dikenal sering iri dan kepinginan jalan – jalan melewati sekitar kerajaan Indraprastha dan dilihatnya pendapa kerajaan Indrapasti yang begitu megah. Duryudhana yang latah, langsung pulang ke Kerajaan Hastinapura memanggil semua kuli – kuli bangunan kerajaan untuk merenovasi ulang bangunan - bangunan kerajaan karena iri melihat kerajaan Pandawa yang ia lihat begitu megahnya. Selang itu juga, Paman Sengkuni yang terkenal cerdik dan licik berbisik kepada Duryudhana.

    “keponakanku yang terhormat, apakah tidak lebih baik kita datangkan saja Yudistira dan saudaranya kemari. Kita adakan judi dadu kedua dengan memasang taruhan kerajaan mereka?”, bisik Sengkuni pada Duryudhana.

    Duryudhana yang hatinya sudah diselimuti rasa iri dan dengki, akhirnya menyetujui usulan Paman Sengkuni untuk membuka kembali Judi dadu kedua yang pada kali ini taruhannya adalah kerajaan. Pandawa yang ksatria, pantang menolak tantangan. Mereka datang ke Hastinapura untuk memenuhi tantangan saudara-nya Duryudhana. Dan benar, nasib nahas lagi – lagi diterima oleh Pandawa. Paman Korawa yang licik dan cerdas, sengkuni, berhasil mengalahkan pandawa yang diwakili oleh Yudistira dan membuat para ksatria Yudistira yang sudah tidak lagi memiliki kerajaan Indraprasthi mengasingkan diri, hidup sebatang kere bersama istrinya Drupadi dan Saudara Pandawanya di “hutan rimba” selama 12 tahun ditambah satu tahun harus mengasingkan diri menjadi orang lain untuk kembali memiliki Indraprasthi.

    Pertanyaannya adalah, dimanakah hutan rimba itu? Seringkali saat kita baca / dengar kisah Ramayana dan mahabrata, plot cerita setelah diusirnya pandawa dari Indraprasthi langsung meloncat berkisah pada hara-huru cikal bakal peperangan Baratayudha. Padahal ada yang tertinggal dari kisah itu: perjalanan 12 tahun pandawa membangun kembali peradabannya di Hutan rimba yang disebut desa Santren .

    Padahal, di desa santren itulah cikal bakal Pandawa membangun dan menemukan falsafah, nilai kehidupan, etika, moral dan segala hal apapun yang tidak sempat mereka terima dari pendidikan di kerajaan mereka sebelumnya: Hastinapura dan Indraprestha. Termasuk kisah – kisah percintaan saudara – saudara Yudistira selama menetap 12 tahun di desa tersebut.

    Para Pandawa banyak belajar dari pribumi Santren yang menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi luhur dan penghormatan terhadap kearifan local yang sudah masyarakat Santren jalankan jauh masa sebelum pandawa hijrah ke desa mereka.

    Selain belajar banyak dari interaksi sosial masyarakat Santren yang menjunjung tinggi etika sosial, etika kebersamaan. Para Pandawa sering juga bersemedi di gua – gua gunung sekitar desa Santren yang damai untuk beberapa hari secara istiqomah. Disinilah, menjadi cikal bakal kematangan perjalanan spiritual pada pandawa bermula. Para pandawa seperti menemukan air kehidupan yang menemukannya pada hakikat hidup seorang manusia. Sehingga, tampaklah sudah diantara para pandawa Fadhol – fadhol yang Sang Hyang Widhi titipkan, sebagai indicator kematangan perjalana ruhaniyah dan ilahiyyah para pandawa, juga sebagai bukti ekspresi Sang Hyang Widhi pada orang – orang yang bersungguh – sungguh mendekati-NYA dan menjadikannya kekasih.


    Yudistira sebagai saudara tertua pandawa, dari waktu ke hari semakin memiliki kematangan spiritual yang tampak dari pancaran aura wajahnya yang seperti bercahaya. Ketika berbicara, Yudistira yang bijak dan Tawadlu’ selalu bisa membawa lawan bicaranya tidak berkedip dan tertunduk patuh mendengar tiap rangkaian kata – kata dari suara wibawa yang keluar dari bibir bijaknya. Sehingga tidak heran, jika tiap sore hari menjelang tenggelamnya matahari di dalem Yudistira dikerumi warga Santren mulai bapak – bapak, ibu – ibu, anak muda hingga anak – anak menanti Yudistira keluar dari balik pintu rumahnya dan menyampaiakan kata – kata mutiara tentang apapun hasil perenungan Begawan Yudistira yang dijadikan motivasi dan pelajaran hidup bagi para pribumi Santren yang tidak jarang diantara mereka sedang dirundung gelisah dan putus asa terhadap hidup. Ya, orang – orang Santren biasa memanggil Yudistira dengan “Begawan” Yudistira. Sebagai titisan dari dewa yama: akhirat, memiliki sifat yang arif, bijaksana, tidak memiliki musuh dan tidak pernah berbohong semasa hidupnya maka tidak salah jika dia dipanggil oleh orang – orang desa Santren dengan “Begawan”. Bahkan sebagian dari mereka, karena melihat sifat dan perilaku Yudistira yang sangat patuh terhadap nilai etika dan budi pekerti, mereka sering menjuluki Yudistira dengan Dharmasuta. 


    Lain halnya dengan Yudistira, Bima yang merupakan adik Yudistira. Anak kedua titisan Dewa Bayu dari hasil perkawinan Pandu dan dewi kunti ini, yang dianugrahi kesaktian luar  biasa mampu memecah belah gunung dengan lengan kirinya yang panjang. Bima yang berperawakan gagah, tinggi, berbadan besar dan bermuka sangar namun memiliki hati yang ikhlas dan Qona’ah ini menjadi andalan masyarakat Santren untuk membantu melindungi keamanan dan menjaga desa Santren dari serangan – serangan baik eksternal maupun internal yang mengganggu stabilitas ketentraman desa. Bima yang merupakan titisan dewa angin, memiliki kesaktian yang amat mandraguna. Kesaktian ini, ia peroleh dari kerja keras istiqomah berlatihnya pada bukit – bukit kecil disekitaran gunung – gunung kawasan Desa Santren yang amat luas. Ia memiliki kebiasaan yang wira’I, atau tirakat. Namun pribumi desa Santren tetap saja menamainya Werkudoro karena  yang mereka tahu bahwa Bima setiap kali makan sangatlah banyak, padahal bima hanya makan satu kali dalam setahun. Itupun ia tidak memakan makanan yang berasal dari makhluk yang bernafas –Ngrowot, ia hanya memakan gandum /  nasi dan air putih. Setelah ia makan, sisa waktu  setahun lagi menunggu waktu makan di tahun berikutnya ia gunakan dengan berpuasa. Bima adalah satu – satunya saudara Pandawa yang Qona’ah. Orang Santren sering menyebut kesederhanaan Bima dengan nerimo ing pandhum: yang menerima apa adanya. Tidak kaget, jika dikemudian hari, Bima lah dengan senjata Gada-nya berperan besar membawa kemenangan Pandawa dalam peperangan Baratayudha melawan Korawa di kurukshetra, dengan mencabik – cabik dada Dursasana dan meminum darahnya.

    Termasuk diantara saudara Pandawa yang menjadi harapan pembawa kemenangan pada pertempuran Kurukshetra nanti adalah adik Bima, Arjuna. Merupakan titisan dari dewa Indra, hingga tidak heran jika ia mewarisi kemampuan dan kemahiran berperang, termasuk handal dalam mengatur strategi perang. Arjuna terkenal jago dalam hal memanah. Ia memiliki keahlian memanah semenjak usia muda. Ia paling gemar dan hoby berburu. Di halaman depan rumahnya yang sederhana, ia membuka padepokan kecil – kecilan untuk anak – anak pribumi Santren belajar memanah. Tidak jarang juga, Arjuna yang selain dikenal titis, penyabar dan juga penyayang ini hampir rutin setiap akhir pekan mengajak  anak – anak asuhnya berburu di hutan. Arjuna yang “bersinar”, selalu berkeyakinan bahwa hutan adalah satu – satunya medan untuk mengasah seseorang menjadi ksatria sejati.

    Berbeda dengan ketiga saudara pandawa diatas: Yudistira, Bima dan Arjuna. Adalah saudara kembar Pandawa Nakula dan Sahadewa yang merupakan adik tiri dari lain ibu Yudistira, Bima dan Arjuna. Ibunya Nakula – Sahadewa, Dewi Madri adalah seorang Begawan wanita yang sangat patuh kepada suaminya, Pandu. Dikisahkan, bahwa ketampanan dan kegagahan Nakula – Sahadewa ini merupakan perpaduan antara kecantikan Dewi Madri dengan kegagahan Begawan Pandu yang sempurna. Idamana setiap wanita. Tidak jarang tiba – tiba datang saudagar kaya raya ke desa Santren dengan membawa harta bendanya jauh – jauh dari asalnya untuk melamarkan anak gadisnya yang ngotot ingin dinikahi salah satu diantara Nakula dan Sahadewa. Namun lamaran demi lamaran, tawaran, serta iming – iming apapun selalu mendapatkan jawaban yang sama dari Nakula dan Sahadewa, ditolak. Saudara Pandawa titisan dewa Aswan-Aswin ini bersikeras mengabdi membantu kakak – kakak mereka Yudistira, Bima dan Arjuna daripada memilih menerima lamaran seorang gadis anak saudagar kaya raya. Keduanya hidup sederhana, rumahnya hanya cukup memuat 7 ekor kambing.

    Semenjak kecil, oleh Dewi Madri yang ayahnya berprofesi sebagai Pandhe Besi, ia wariskan tekhnik – tekhnik membuat pedang dan senjata besi lain kepada Nakula dan Sahadewa. Jadi, tidak mengherankan bahwa Nakula dan Sahadewa yang sudah akrab dengan membuat senjata pedang ini, sangat mahir membuat pedang dan memainkanya. Selain karena ketampanannya, tiap hari ibu – ibu dan gadis – gadis sering mendatangi rumahnya untuk sekedar memperbaiki pisau dapur mereka atau memesan yang baru. Nakula dan Sahadewa tidak pernah merasa malu dengan pekerjaannya itu. Bagi keduanya, membantu dan bermanfaat bagi orang lain adalah usaha seorang manusia yang bukan hanya menjaga sirkulasi ilahiyyah terhadap ‘abd namun juga sebagai perjalanan spiritual tersendiri dengan cara sikap khidmah dan ‘abdy . Nakula dan Sahadewa, keduanya membuat ribuan pedang yang digunakan oleh prajurit pembela pandawa dalam perang di Kurukshetra.

    Demikianlah, sekelumit keadaan di desa Santren yang begitu banyak kisah - kisah menarik untuk diceritakan, apalagi setelah kedatangan para pandawa dan yang pasti ingin saya lanjut ceritakan. Namun jangan sekarang!

    selamat malam. 


    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg