Sebagai mahasiswa, tentu, teman –
teman semua yang budiman akrab dan hangat sekali dengan sebuah adagium arab: al-Ilmu
Ka al-Shoid, wa al-Kitaabah Qaiduha,yang kurang lebih terjemah bodoh saya
seperti ini: Ilmu seumpama hewan buruan, dan dokumentasi seumpama talinya.
Secara spontan, hal yang akan kita
tangkap dari dua frasa profetik diatas adalah: Ilmu dengan kondisi
universalnya, dan proses (cara) kita mengemasnya –sesuai dialek sosial dan
kondisi zaman. Artinya, sikap kita kepada universalitas Ilmu harus kita pilih
sendiri. Setiap individu, berhak penuh menentukan pilihan: apakah dirinya akan
menempatkan Ilmu sebagai legislasi –seperti umumnya orang sekarang, atau pada
posisi esensial dari tujuan awal Tuhan mengajari Adam nama – nama benda seperti
yang diceritakan pada awal Surat al-Baqoroh (?).
Saya kira, kita akan sepakat untuk
berusaha memilih yang kedua: Esensialitas ilmu dan keilmuan. Cara berfikir
pendek saya begini: Ketika tuhan hendak menciptakan manusia, yang secara
kebetulan juga oleh tuhan, Adam dipilih menjadi manusia pertama yang diciptakan
dan diturunkan di bumi dan memerlukan bekal pengetahuan bertahan hidup di medan
yang Adam dan Istrinya sebelumnya belum mengenalnya: bumi. Maka Tuhan
mengenenalkan ilmu Hakiki kepada adam tentang berbagai nama – nama benda
(universal) yang pada taham setelahnya dalam peradaban manusia kita dikenalkan
oleh penemuan – penemuan ilmiah, teoritis, sains, yang sebetulnya kalau kita
telusuri dengan bekal sejarah. Adalah merupakan hasil dari elaborasi dan
kolaborasi Ilmu Hakiki yang tuhan berikan kepada Adam tentang nama – nama
benda.
Jadi, siapakah yang berhak melakukan
legislasi ilmu dan keilmuan dimuka bumi ini kecuali Tuhan? Artinya, manusia
dengan peradaban yang terus bergerak ini, tidak ada satupun fase dimana ia
berhak melegislasi keilmuan yang ia dapat –dalam proses pencaharian. Karena,
manusia hanya mengelaborasi, komparasi dan merunut penemuan nenek moyangnya
untuk mendekati esensialitas ilmu dan keilmuan hakiki.
Semoga dari sini jelas, apa tendensi
personifikasi “ilmu” dalam adagium arab di atas dengan “hewan buruan”. Ya, dari
preporsisi kita pengartian dan pemahaman kita terhadap Ilmu yang universal.
Hingga setiap dari kita, memiliki hak untuk membangun sendiri keilmuan masing –
masing yang tentunya sesuai dengan porsi yang sudah saya sebutkan diatas.
Dengan tujuan, bagaimana Manusia sebagai makhluk yang selalu disinggung oleh
tuhan dengan ekspresi: Afalaa Tatafakkaruun? Atau Afalaa Ta’qiluun?.
Kembali ke Wa al kitabah Qaiduha.
Merupakan hal yang tidak wajar, ketika manusia yang dituntut oleh tuhan mereka
membangun peradaban mereka sebagai mana yang tuhan harapkan kepada Adam, tidak
menjaga kesinambungan sirkulasi peradaban manusia karena terputus oleh satu
generasi “pemalas” terhadap dokumentasi, bahkan minimal untuk dirinya sendiri.
Saya sendiri, acapkali membayangkan
bagaimana proses runtuhnya peradaban manusia. Zaman yang serba tekhnologi,
menggiring manusia pada peradaban yang ironi –mengkhawatirkan. Teman – teman
bisa perhatikan, bagaimana perkembangan gadget dari hari ke lain waktu, juga
berbagai produk tekhnologi modern yang lain. Dengan dalil hendak mempermudah
kebutuhan manusia, teknologi modern menjawab segalanya; adalah pada hulu
segalanya tidak jauh dari Industri.
Kita ambil amsal, gadget. Dengan
gadget manusia modern dapat menjalankan akses informasi yang tidak terbatas
jarak. Melakukan interaksi sosial non-riil, interaksi ekonomi jarak jauh,
sharing idea berjauhan. Yang kesemuanya, bagi tekhnologi modern adalah jawaban
atas usaha “pemenuhan” kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. (Manuel
Castell)
Tanpa disadari, kita terjebak pada
sebuah system micro yang mempersempit dokumentasi kita di kehidupan nyata. Saya
tidak menyangkal, bahwa saya pengguna aktif Twitter, Facebook, Blogger, Path,
Google Plus, Yahoo Mesengger, gadget dan sejenis apapun yang menampung ekspresi
saya. Di facebook misalnya, dengan ironi “what on your mind?” seringkali kita
tergelitik untuk juga menuliskan apa yang terlintas secara spontan dalam pikiran
maupun perasaan kita pada kondisi saat itu. Itu kadang saya rasakan sebagai
jebakan yang menuntut mindset kita untuk berfikir secara instant. Belum
lagi persoalan – persoalan lain yang bisa kita pelajari jebakannya, yang tentu,
tidak akan saya utarakan kegelisahan saya disini.
Akhirnya, dengan terjebaknya kita
pada ranah kedewasaan bersikap yang micro non – riil, seringkali lupa terhadap
sesuatu yang lebih besar –Ada hal yang dirasa hilang: Macro riil. Yaitu,
keberlangsungan peradaban manusia yang perlu disejarahkan dan transenden
menjaga profetik makna riil “ilmu dan Keilmuan” manusia yang perlu kita sikapi
secara riil.
Tentu, ada sebagian orang yang kurang
setuju dengan gagasan saya mengenai ironisasi penggunaan jejaring sosial karena
kecenderungan kepada mindset micro. Saya kira, itu perlu kita perdebatkan ulang
karena faktanya ada juga sebagian orang yang memilih sector “maya” untuk
mendokumentasikan dirinya secara serius daripada terjebak mengikuti sihir “what
on your mind?” dengan menulis hal – hal yang spontan dan hiperbola –Alay dan
lebay.
Makna “al-Kitabah” dengan
“dokumentasi” untuk saat ini, menurut saya, lebih mewakili dibanding dengan
hanya mengartikan “menulis” dalam kehidupan modern saat ini. Karena, dokumetasi
adalah memuat hal – hal yang bukan hanya berupa tulisan, namun juga hal lain
yang bersifat informatif.
Namun kali ini, saya akan menekankan
betapa “menulis” adalah hal dasar yang utama dari segala jenis dokumentasi yang
ada. Hal ini, demi, sekali lagi keberlangsungan sejarah dan peradaban manusia
dalam semua varietas.
Dalam Kitab suci, Tuhan mengingatkan
kita betapa pentingnya “menulis” bahkan di beberapa kesempatan tuhan
mengekspresikannya dengan ungkapan perintah. Seperti dalam persoalan hutang –
piutang. Ini sudah menjadi bukti, bahwa tuhan menghendaki kita untuk focus,
tidak meremehkan hal remeh – temeh dengan melakukan dokumentasi.
Hal ini, perlu kita sadari secara
sepihak bahwa betapa tuhan menghargai sejarah. Dengan dokumentai yang ditemukan
oleh generasi setelahnya, misalnya, para ahli arkeolog dan sejarawan akan
meluruskan persepsi pengetahuan peradaban manusia sebelumnya. Dan hal ini,
hanya “mungkin” terjadi jika ada kegiatan dokumentasi oleh generasi sebelumnya.
Meski secara kolektif, saya tidak bisa memihak pembenaran bahwa “menulis” lebih
utama daripada menvisualkan keadaan, merekam, berekspresi di jagad maya atau
dalam bentuk ekspresi lain seperti relief, patung, candid dan sebagainya yang
memberi kesan dan getaran keberadaan kita bagi generasi mendatang.
Bukankah menyimpan dan membuang
adalah dua tindakan yang biasa dalam dan untuk peradaban manusia menuju lebih
baik, bukan?
--- Sepenggal dari makalah yang saya sampaikan pada teman - teman Seminar Deminfo dan elNilein PPMI Sudan
0 komentar:
Post a Comment