SELAMAT DATANG

Menulis: mengekalkan diri dalam Sejarah dan peradaban

Posted on
  • Feb 26, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Sebagai mahasiswa, tentu, teman – teman semua yang budiman akrab dan hangat sekali dengan sebuah adagium arab: al-Ilmu Ka al-Shoid, wa al-Kitaabah Qaiduha,yang kurang lebih terjemah bodoh saya seperti ini: Ilmu seumpama hewan buruan, dan dokumentasi seumpama talinya.

    Secara spontan, hal yang akan kita tangkap dari dua frasa profetik diatas adalah: Ilmu dengan kondisi universalnya, dan proses (cara) kita mengemasnya –sesuai dialek sosial dan kondisi zaman. Artinya, sikap kita kepada universalitas Ilmu harus kita pilih sendiri. Setiap individu, berhak penuh menentukan pilihan: apakah dirinya akan menempatkan Ilmu sebagai legislasi –seperti umumnya orang sekarang, atau pada posisi esensial dari tujuan awal Tuhan mengajari Adam nama – nama benda seperti yang diceritakan pada awal Surat al-Baqoroh (?).

    Saya kira, kita akan sepakat untuk berusaha memilih yang kedua: Esensialitas ilmu dan keilmuan. Cara berfikir pendek saya begini: Ketika tuhan hendak menciptakan manusia, yang secara kebetulan juga oleh tuhan, Adam dipilih menjadi manusia pertama yang diciptakan dan diturunkan di bumi dan memerlukan bekal pengetahuan bertahan hidup di medan yang Adam dan Istrinya sebelumnya belum mengenalnya: bumi. Maka Tuhan mengenenalkan ilmu Hakiki kepada adam tentang berbagai nama – nama benda (universal) yang pada taham setelahnya dalam peradaban manusia kita dikenalkan oleh penemuan – penemuan ilmiah, teoritis, sains, yang sebetulnya kalau kita telusuri dengan bekal sejarah. Adalah merupakan hasil dari elaborasi dan kolaborasi Ilmu Hakiki yang tuhan berikan kepada Adam tentang nama – nama benda.

    Jadi, siapakah yang berhak melakukan legislasi ilmu dan keilmuan dimuka bumi ini kecuali Tuhan? Artinya, manusia dengan peradaban yang terus bergerak ini, tidak ada satupun fase dimana ia berhak melegislasi keilmuan yang ia dapat –dalam proses pencaharian. Karena, manusia hanya mengelaborasi, komparasi dan merunut penemuan nenek moyangnya untuk mendekati esensialitas ilmu dan keilmuan hakiki.  

    Semoga dari sini jelas, apa tendensi personifikasi “ilmu” dalam adagium arab di atas dengan “hewan buruan”. Ya, dari preporsisi kita pengartian dan pemahaman kita terhadap Ilmu yang universal. Hingga setiap dari kita, memiliki hak untuk membangun sendiri keilmuan masing – masing yang tentunya sesuai dengan porsi yang sudah saya sebutkan diatas. Dengan tujuan, bagaimana Manusia sebagai makhluk yang selalu disinggung oleh tuhan dengan ekspresi: Afalaa Tatafakkaruun?  Atau Afalaa Ta’qiluun?.

    Kembali ke Wa al kitabah Qaiduha. Merupakan hal yang tidak wajar, ketika manusia yang dituntut oleh tuhan mereka membangun peradaban mereka sebagai mana yang tuhan harapkan kepada Adam, tidak menjaga kesinambungan sirkulasi peradaban manusia karena terputus oleh satu generasi “pemalas” terhadap dokumentasi, bahkan minimal untuk dirinya sendiri.

    Saya sendiri, acapkali membayangkan bagaimana proses runtuhnya peradaban manusia. Zaman yang serba tekhnologi, menggiring manusia pada peradaban yang ironi –mengkhawatirkan. Teman – teman bisa perhatikan, bagaimana perkembangan gadget dari hari ke lain waktu, juga berbagai produk tekhnologi modern yang lain. Dengan dalil hendak mempermudah kebutuhan manusia, teknologi modern menjawab segalanya; adalah pada hulu segalanya tidak jauh dari Industri.

    Kita ambil amsal, gadget. Dengan gadget manusia modern dapat menjalankan akses informasi yang tidak terbatas jarak. Melakukan interaksi sosial non-riil, interaksi ekonomi jarak jauh, sharing idea berjauhan. Yang kesemuanya, bagi tekhnologi modern adalah jawaban atas usaha “pemenuhan” kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. (Manuel Castell)

    Tanpa disadari, kita terjebak pada sebuah system micro yang mempersempit dokumentasi kita di kehidupan nyata. Saya tidak menyangkal, bahwa saya pengguna aktif Twitter, Facebook, Blogger, Path, Google Plus, Yahoo Mesengger, gadget dan sejenis apapun yang menampung ekspresi saya. Di facebook misalnya, dengan ironi “what on your mind?” seringkali kita tergelitik untuk juga menuliskan apa yang terlintas secara spontan dalam pikiran maupun perasaan kita pada kondisi saat itu. Itu kadang saya rasakan sebagai jebakan yang menuntut mindset kita untuk berfikir secara instant. Belum lagi persoalan – persoalan lain yang bisa kita pelajari jebakannya, yang tentu, tidak akan saya utarakan kegelisahan saya disini.

    Akhirnya, dengan terjebaknya kita pada ranah kedewasaan bersikap yang micro non – riil, seringkali lupa terhadap sesuatu yang lebih besar –Ada hal yang dirasa hilang: Macro riil. Yaitu, keberlangsungan peradaban manusia yang perlu disejarahkan dan transenden menjaga profetik makna riil “ilmu dan Keilmuan” manusia yang perlu kita sikapi secara riil.

    Tentu, ada sebagian orang yang kurang setuju dengan gagasan saya mengenai ironisasi penggunaan jejaring sosial karena kecenderungan kepada mindset micro. Saya kira, itu perlu kita perdebatkan ulang karena faktanya ada juga sebagian orang yang memilih sector “maya” untuk mendokumentasikan dirinya secara serius daripada terjebak mengikuti sihir “what on your mind?” dengan menulis hal – hal yang spontan dan hiperbola –Alay dan lebay.

    Makna “al-Kitabah” dengan “dokumentasi” untuk saat ini, menurut saya, lebih mewakili dibanding dengan hanya mengartikan “menulis” dalam kehidupan modern saat ini. Karena, dokumetasi adalah memuat hal – hal yang bukan hanya berupa tulisan, namun juga hal lain yang bersifat informatif.

    Namun kali ini, saya akan menekankan betapa “menulis” adalah hal dasar yang utama dari segala jenis dokumentasi yang ada. Hal ini, demi, sekali lagi keberlangsungan sejarah dan peradaban manusia dalam semua varietas.

    Dalam Kitab suci, Tuhan mengingatkan kita betapa pentingnya “menulis” bahkan di beberapa kesempatan tuhan mengekspresikannya dengan ungkapan perintah. Seperti dalam persoalan hutang – piutang. Ini sudah menjadi bukti, bahwa tuhan menghendaki kita untuk focus, tidak meremehkan hal remeh – temeh dengan melakukan dokumentasi.

    Hal ini, perlu kita sadari secara sepihak bahwa betapa tuhan menghargai sejarah. Dengan dokumentai yang ditemukan oleh generasi setelahnya, misalnya, para ahli arkeolog dan sejarawan akan meluruskan persepsi pengetahuan peradaban manusia sebelumnya. Dan hal ini, hanya “mungkin” terjadi jika ada kegiatan dokumentasi oleh generasi sebelumnya. Meski secara kolektif, saya tidak bisa memihak pembenaran bahwa “menulis” lebih utama daripada menvisualkan keadaan, merekam, berekspresi di jagad maya atau dalam bentuk ekspresi lain seperti relief, patung, candid dan sebagainya yang memberi kesan dan getaran keberadaan kita bagi generasi mendatang. 

    Bukankah menyimpan dan membuang adalah dua tindakan yang biasa dalam dan untuk peradaban manusia menuju lebih baik, bukan? 




    --- Sepenggal dari makalah yang saya sampaikan pada teman - teman Seminar Deminfo dan elNilein PPMI Sudan

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg