Bagi penulis, menjadi bagian dari pengurus, anggota sekaligus warga
di lingkaran NU Sudan adalah kesan tersendiri. Kesan itu terkadang lahir dari
kegamangan dan disinterpersonal penulis dalam menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Hingga tulisan ini nantinya akan sampai pada tangan pembaca, dengan
sangat terus terang, penulis masih merasa perlu bertanya – Tanya pada diri
sendiri, dimana ruang bermain bagi pribadi yang masih terjebak kekanak –
kanakan, seperti penulis?
Penulis
selalu yakin, ditengah tuntutan seseorang yang terlanjur masuk dalam instrumen
keorganisasian yang berorientasi komunal-masyarakat, tidak menutup kemungkinan
sebagian faksi dalam diri penulis dalam respon spontanitas pribadi terjebur ke
dalam lembah kekanak – kanakan yang labil dan lebih antusias pada obsesi
kepentingan pribadi, seperti yang penulis sering kali alami.
Terus terang saja menjadi bagian dari pengurus Nahdatul Ulama’
Cabang Istimewa Khartoum Sudan ini, penulis merasa belum sepenuhnya patut baik
saat penulis bercermin pada kemampuan diri sendiri maupun pengalaman
berorganisasi untuk mengemban amanat – amanat ketika harus terjebur dalam
orientasi Komunal - Masyarakat. Terutama dininya usia pengalaman organisasi penulis
yang tidak sesuai hierarki structural organisasi yang NU miliki sebagai
kontruksi khusus terutama yang bersinggungan dengan kaderisasi.
Dulu, tilikan penulis tentang NU sebagai organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan, adalah yang didalamnya diisi oleh orang – orang “sepuh” dengan
karakter “matang” yang mengejawantahkan prinsip karakter NU di tengah
masyarakat. Bersinggungan langsung dengan masyarakat yang sensitive sebagai
stekholder, yang dalam bayangan penulis
saat itu begitu dilematis. Toh, pada kenyataannya tidak sedemikian dilematis
ketika penulis akhirnya terjebur juga dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama’ Cabang
Istimewa Khartoum Sudan ini.
Kepompongan ini, penulis dasarkan pada pengalaman hierarki struktur
organisasi yang tidak komplit. Bayangan penulis selalu dihantui ketidak-siapan.
Karena Pada hierarki struktur organisasi NU mengenal istilah pengkaderan dengan
berbagai tingkatan yang harus ditempuh untuk menembus esensial struktur NU,
seperti badan- badan otomom yang ada baik yang dikelola dibawah Pengurus
Ranting (di tingkat Desa), Majlis wakil cabang ( di tingkat Kecamatan), Cabang
(di tingkat kabupaten), wilayah (di tingkat Provinsi) maupun Pengurus Besar NU (di tingkat Nasional).
Meskipun secara skema-sintetis, Badan – badan Otonom tersebut
seharusnya tidak terkait dengan kepengurusan pada struktur Organisasi NU dalam
sekala dan garis besar. Namun mengingat Banom seperti Jam'iyyah Ahli Thariqah
Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, Muslimat Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor (GP
Ansor), Fatayat Nahdlatul Ulama, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ikatan
Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa) dan Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz
(JQH) memiliki interaksi social yang intim. Bukan hanya karena mengingat memang
pada dasarnya Badan Otonom diatas memang sengaja dibentuk oleh NU dalam rangka pelaksana
kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga
berperan penting sebagai ruh dan inti daripada NU sebagai Organisasi Keagamaan
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat –upaya cultural. Penulis tidak akan
membayangkan apa pentingnya NU sebagai organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan
tanpa membentuk Banom – Banom yang berpotensi besar mengelola berbagai aspek
kepentingan NU di tengah masyarakat.
Namun secara aplikatif, dan operasinya Banom tersebut tidak dapat
dipisahkan dari kepengurusan NU yang berada pada suatu wilayah. Hal ini yang
mendasari penulis, tentang pentingnya peran adanya Banom di wilayah territorial
pada tiap tingkat pengurus Nahdlatul Ulama’ dan juga, pentingya keikutsertaan
para warga NU dalam segala bentuk kegiatan yang dicanangkan oleh setiap Banom
tersebut.
Pertama, karena
mengingat interaksi NU sebagai Organisasi memiliki kepentingan - kepentingan mulia
yang salah satu diantaranya adalah menegakkan ajaran Islam paham Ahlussunnah
Wal Jama’ah (ASWAJA) maka harus memiliki interaksi yang mesra dan intim dengan
masyarakat sebagai objek daripada dakwah.
Kedua, Banom memiliki
otoritas yang divergen dengan kepengurusan, hal ini bisa kita lihat pada
keduanya yang memiliki AD/ART yang berbeda. Karena memiliki target dan program
yang berbeda, antara structural kepengurusan Nahdatul ‘ulama yang dibentuk di
suatu wilayah dengan Badan Otonom didalamnya yang bergerak lebih fungsional
komunal, meski secara obyek normatif memiliki kesamaan. Namun karena BANOM
lebih menyentuh dan focus pada arah yang lebih intens maka tidak heran jika
BANOM lebih ditekankan dalam misi yang lebih fungsional. Itulah dua hal yang
menjadi dasar penulis, bagaimana keikutsertaan kita sebagai “orang” NU pada
tiap – tiap Banom menjadi sangat penting dan berharga.
Belum lagi jika kita lihat betapa pentingnya peran keikutsertaan
para pelajar (NU Muda) dalam kegiatan di bawah Banom seperti Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama’ (IPNU – IPPNU) sebagai wahana dan wadah mengenalkan paham,
ajaran, semangat berorganisasi dan sekaligus yang terpenting adalah pengkaderan
kepada “NU Muda” sejak dini, sejak menjadi pelajar.
Kembali pada dilematisme yang sempat menjangkit penulis pada
pembahasan sebelumnya, maka ketika menginjakkan kaki di Sudan yang otomatis
spontan, sebagai anak orang NU, mau tidak mau penulis diharuskan terjun
berkecimpung dalam lingkaran organisasi NU (maksud penulis, PCI NU Khartoum
Sudan) dengan penguasaan dan pengalaman ke-organisasi-an yang minim. Penulis
seringkali “klabakan” memikirkan sikap bagaimana menisiasati ketidak-siapan
menjalankan organisasi dengan melakukan pengayaan diri nekat “terjun bebas”
tanpa disokong instrument formal “diklat ke-organisasi-an” yang seharusnya
PCINU Sudan agendakan. Alasan kuatnya, adalah mengemban NU dan masuk dalam arena
organiasasinya tidak hanya dibutuhkan keterampilan manajement (dasar) baku
seperti pengalaman kita dalam organisasi – organisasi eks-skul, namun lebih
dari itu, organisasi NU memiliki obyek yang lebih luas daripada seisi gedung
sekolah sewaktu SMA dulu. Yang bagi pegiatnya tidak hanya diharaapkan mampu
terampil dalam manajemen organisasi namun juga komperhensip terhadap
pengelolaan mental dan spiritual. Karena secara garis besar objek dan sasaran
dakwah NU adalah masyarakat umum, luas dan beragam.
Dalam beberapa waktu, sebagai pribadi labil. Keinginan untuk
membangun ideology dari dalam selalu penulis usahakan, sebagai bentuk upaya
penselalarasan minimal agar tidak terjebak minder dan usah perubahan yang
penulis anggap harus dimulai sejak dini dan dari diri sendiri. Dengan kuat, dan
penuh kesadaran bahwa yang selama ini penulis anggap itu keliru, beban yang
dipikul harus juga dianggap sebagai upaya perbaikan dan pendewasaan. diri.
Namun ini hanya sebatas “kesadaran” sepihak yang penulis lakukan oleh dan untuk
diri sendiri penulis. Dan belum pernah ter-peta-kan selama rentang tahun 2011-2014
untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan semisal diklat ke-organisasi-an yang
seharunya PCINU Sudan selenggarakan sebagai sikap serius pengkaderan. Meskipun
ide ini tidak baru, toh, belum juga mampu diselenggarakan secara riil.
Dari sini lah akan terlahir semangat untuk kita selalu belajar, meningkatkan,
dan mempelajari segalanya menjadi sebuah pengalaman yang bukan hanya
ber-amaliah Nahdliyah namun juga semangat ber-jam’iyyah. Meskipun kita tidak
berada pada garis besar yang seharusnya, namun diantara kita selalu yakin bahwa
pertolongan Allah selalu lekat disekitar orang – orang yang berjuang mengawal masyarakat.
TANAM PAHAM KE-ORGANISASI-AN SEDARI DINI
Kaderisasi yang selama ini terjadi dalam lingkup NU, khususnya
Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama Khartoum Sudan hanya berkutat dalam
hal “tanam paham” Nahdhatul ‘Ulama sebagai muatan Ideologi an sich. Kant
mengomentari pengertian an sich dengan sesuatu yang tak terikat dengan
kesadaran maupun pengalaman. Padahal untuk menyentuh sebuah esensi kehadiran
diperlukan kesadaran dan untuk menggerakan sesuatu secara fungsional –di garis
lurusnya, dibutuhkan pengalaman yang transcendent pada kesadaran. Artinya,
kaderisasi PCI NU Sudan selama ini lebih banyak berkutat dalam “tanam paham”
yang hanya mengenalkan dirinya sendiri sebagai mazhab ideologi teoritis: NU
yang harfiah. Belum sepenuhnya keluar dari jalur yang sesungguhnya dituntut
oleh NU sebagai organisasi.
Seingat penulis, Abdurrahman, MA adalah salah satu yang pernah
mengemukakan pentingnya kaderisasi pada Rapat Koordinasi lembaga PCI NU Sudan
tahun 2012. Ia menilai bahwa Kaderisasi dini ini dirasa penting, melihat
gejolak ketidaksiapan sebagian pengurus menjalankan roda program yang
dicanangkan oleh hasil konferensi. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi setelah
3 bulan masa jabatan Miftahuddin Ahimy, MA sebagai ketua Tandfidziyah PCI NU.
Ketidaksiapan ini pun otentik karena kurangnya pengalaman mengenal NU sebagai
organisasi secara utuh. Meski lagi – lagi yang dikemukakan Abdurrahman menjadi
sebuah gagasan yang diterima dan direspon oleh forum dengan kembali melakukan
kaderisasi NU An sich: Mazhab Ideology Teoritis.
Tidak sangkal jika kemudian hari, setelahnya, dinamika organisasi
kembali menjadi kepompong yang bertapa dan tak kunjung berubah menjadi kupu –
kupu yang terbang menguasai langit. Karena bagaimanapun harus dibedakan
bagaimana memahami NU secara cultural dan structural agar tidak menjadi beban
berkepanjangan, dan menjadikan NU lagi – lagi kecolongan dengan orang – orang
berkepentingan “pribadi” yang menyusup dalam structural NU sebagai organisasi
keagamaan yang profetik.
Jadi sudah seyogyanya PCINU Sudan lebih serius melangsungkan
serangkaian program riil yang berkiblat pada seluruh amanat NU sebagai
organisasi yang memerlukan kemampuan pengelolaan jalannya organisasi bagi
pegiat dan aktivisnya. Jalan formal satu – satunya adalah dengan mengadakan “diklat
ke-organisasi-an” secara berkala pada tiap tahun kedatangan mahasisiswa baru NU
ke Sudan. Hal ini PCINU Sudan fungsikan sebagai kelas tambahan bagi kadernya
untuk mengejar ketertinggalan pengalaman dan pengetahuan di kelas kaderisasi
yang tidak semua mahasiswa baru yang datang dari Indonesia mengikutinya disana.
Juga dalam upaya menyiapkan kader – kader aktivis dan pegiat PCINU Sudan yang
memiliki integritas ber-organisasi baik secara structural maupun cultural.
Bagi kepentingan organisasi, mereka adalah potensi dan ruh dalam
kelangsungan eksistensi organisasi yang perlu PCINU Sudan kelola dan rawat
dengan menanamkan paham dan ilmu organisasi sedari dini maupun berkala. Hal ini
adalah ke-istimewa-an tersendiri PCINU Sudan dalam perjalanan sejarah dan
peradabannya sebagai organisasi yang mampu mengoptimalkan potensi yang
dimiliki, bukan?
0 komentar:
Post a Comment