SELAMAT DATANG

PRIBADI PREMATUR

Posted on
  • Feb 25, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Bagi penulis, menjadi bagian dari pengurus, anggota sekaligus warga di lingkaran NU Sudan adalah kesan tersendiri. Kesan itu terkadang lahir dari kegamangan dan disinterpersonal penulis dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hingga tulisan ini nantinya akan sampai pada tangan pembaca, dengan sangat terus terang, penulis masih merasa perlu bertanya – Tanya pada diri sendiri, dimana ruang bermain bagi pribadi yang masih terjebak kekanak – kanakan, seperti penulis?

               Penulis selalu yakin, ditengah tuntutan seseorang yang terlanjur masuk dalam instrumen keorganisasian yang berorientasi komunal-masyarakat, tidak menutup kemungkinan sebagian faksi dalam diri penulis dalam respon spontanitas pribadi terjebur ke dalam lembah kekanak – kanakan yang labil dan lebih antusias pada obsesi kepentingan pribadi, seperti yang penulis sering kali alami.

    Terus terang saja menjadi bagian dari pengurus Nahdatul Ulama’ Cabang Istimewa Khartoum Sudan ini, penulis merasa belum sepenuhnya patut baik saat penulis bercermin pada kemampuan diri sendiri maupun pengalaman berorganisasi untuk mengemban amanat – amanat ketika harus terjebur dalam orientasi Komunal - Masyarakat. Terutama dininya usia pengalaman organisasi penulis yang tidak sesuai hierarki structural organisasi yang NU miliki sebagai kontruksi khusus terutama yang bersinggungan dengan kaderisasi.

    Dulu, tilikan penulis tentang NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, adalah yang didalamnya diisi oleh orang – orang “sepuh” dengan karakter “matang” yang mengejawantahkan prinsip karakter NU di tengah masyarakat. Bersinggungan langsung dengan masyarakat yang sensitive sebagai stekholder,  yang dalam bayangan penulis saat itu begitu dilematis. Toh, pada kenyataannya tidak sedemikian dilematis ketika penulis akhirnya terjebur juga dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama’ Cabang Istimewa Khartoum Sudan ini.

    Kepompongan ini, penulis dasarkan pada pengalaman hierarki struktur organisasi yang tidak komplit. Bayangan penulis selalu dihantui ketidak-siapan. Karena Pada hierarki struktur organisasi NU mengenal istilah pengkaderan dengan berbagai tingkatan yang harus ditempuh untuk menembus esensial struktur NU, seperti badan- badan otomom yang ada baik yang dikelola dibawah Pengurus Ranting (di tingkat Desa), Majlis wakil cabang ( di tingkat Kecamatan), Cabang (di tingkat kabupaten), wilayah (di tingkat Provinsi) maupun  Pengurus Besar NU (di tingkat Nasional).

    Meskipun secara skema-sintetis, Badan – badan Otonom tersebut seharusnya tidak terkait dengan kepengurusan pada struktur Organisasi NU dalam sekala dan garis besar. Namun mengingat Banom seperti Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, Muslimat Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Fatayat Nahdlatul Ulama, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa) dan Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH) memiliki interaksi social yang intim. Bukan hanya karena mengingat memang pada dasarnya Badan Otonom diatas memang sengaja dibentuk oleh NU dalam rangka pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga berperan penting sebagai ruh dan inti daripada NU sebagai Organisasi Keagamaan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat –upaya cultural. Penulis tidak akan membayangkan apa pentingnya NU sebagai organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan tanpa membentuk Banom – Banom yang berpotensi besar mengelola berbagai aspek kepentingan NU di tengah masyarakat.  

    Namun secara aplikatif, dan operasinya Banom tersebut tidak dapat dipisahkan dari kepengurusan NU yang berada pada suatu wilayah. Hal ini yang mendasari penulis, tentang pentingnya peran adanya Banom di wilayah territorial pada tiap tingkat pengurus Nahdlatul Ulama’ dan juga, pentingya keikutsertaan para warga NU dalam segala bentuk kegiatan yang dicanangkan oleh setiap Banom tersebut.

    Pertama, karena mengingat interaksi NU sebagai Organisasi memiliki kepentingan - kepentingan mulia yang salah satu diantaranya adalah menegakkan ajaran Islam paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) maka harus memiliki interaksi yang mesra dan intim dengan masyarakat sebagai objek daripada dakwah.
    Kedua, Banom memiliki otoritas yang divergen dengan kepengurusan, hal ini bisa kita lihat pada keduanya yang memiliki AD/ART yang berbeda. Karena memiliki target dan program yang berbeda, antara structural kepengurusan Nahdatul ‘ulama yang dibentuk di suatu wilayah dengan Badan Otonom didalamnya yang bergerak lebih fungsional komunal, meski secara obyek normatif memiliki kesamaan. Namun karena BANOM lebih menyentuh dan focus pada arah yang lebih intens maka tidak heran jika BANOM lebih ditekankan dalam misi yang lebih fungsional. Itulah dua hal yang menjadi dasar penulis, bagaimana keikutsertaan kita sebagai “orang” NU pada tiap – tiap Banom menjadi sangat penting dan berharga.

    Belum lagi jika kita lihat betapa pentingnya peran keikutsertaan para pelajar (NU Muda) dalam kegiatan di bawah Banom seperti Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU – IPPNU) sebagai wahana dan wadah mengenalkan paham, ajaran, semangat berorganisasi dan sekaligus yang terpenting adalah pengkaderan kepada “NU Muda” sejak dini, sejak menjadi pelajar.

    Kembali pada dilematisme yang sempat menjangkit penulis pada pembahasan sebelumnya, maka ketika menginjakkan kaki di Sudan yang otomatis spontan, sebagai anak orang NU, mau tidak mau penulis diharuskan terjun berkecimpung dalam lingkaran organisasi NU (maksud penulis, PCI NU Khartoum Sudan) dengan penguasaan dan pengalaman ke-organisasi-an yang minim. Penulis seringkali “klabakan” memikirkan sikap bagaimana menisiasati ketidak-siapan menjalankan organisasi dengan melakukan pengayaan diri nekat “terjun bebas” tanpa disokong instrument formal “diklat ke-organisasi-an” yang seharusnya PCINU Sudan agendakan. Alasan kuatnya, adalah mengemban NU dan masuk dalam arena organiasasinya tidak hanya dibutuhkan keterampilan manajement (dasar) baku seperti pengalaman kita dalam organisasi – organisasi eks-skul, namun lebih dari itu, organisasi NU memiliki obyek yang lebih luas daripada seisi gedung sekolah sewaktu SMA dulu. Yang bagi pegiatnya tidak hanya diharaapkan mampu terampil dalam manajemen organisasi namun juga komperhensip terhadap pengelolaan mental dan spiritual. Karena secara garis besar objek dan sasaran dakwah NU adalah masyarakat umum, luas dan beragam.

    Dalam beberapa waktu, sebagai pribadi labil. Keinginan untuk membangun ideology dari dalam selalu penulis usahakan, sebagai bentuk upaya penselalarasan minimal agar tidak terjebak minder dan usah perubahan yang penulis anggap harus dimulai sejak dini dan dari diri sendiri. Dengan kuat, dan penuh kesadaran bahwa yang selama ini penulis anggap itu keliru, beban yang dipikul harus juga dianggap sebagai upaya perbaikan dan pendewasaan. diri. Namun ini hanya sebatas “kesadaran” sepihak yang penulis lakukan oleh dan untuk diri sendiri penulis. Dan belum pernah ter-peta-kan selama rentang tahun 2011-2014 untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan semisal diklat ke-organisasi-an yang seharunya PCINU Sudan selenggarakan sebagai sikap serius pengkaderan. Meskipun ide ini tidak baru, toh, belum juga mampu diselenggarakan secara riil.

    Dari sini lah akan terlahir semangat untuk kita selalu belajar, meningkatkan, dan mempelajari segalanya menjadi sebuah pengalaman yang bukan hanya ber-amaliah Nahdliyah namun juga semangat ber-jam’iyyah. Meskipun kita tidak berada pada garis besar yang seharusnya, namun diantara kita selalu yakin bahwa pertolongan Allah selalu lekat disekitar orang – orang yang berjuang  mengawal masyarakat.

    TANAM PAHAM KE-ORGANISASI-AN SEDARI DINI

    Kaderisasi yang selama ini terjadi dalam lingkup NU, khususnya Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul ‘Ulama Khartoum Sudan hanya berkutat dalam hal “tanam paham” Nahdhatul ‘Ulama sebagai muatan Ideologi an sich. Kant mengomentari pengertian an sich dengan sesuatu yang tak terikat dengan kesadaran maupun pengalaman. Padahal untuk menyentuh sebuah esensi kehadiran diperlukan kesadaran dan untuk menggerakan sesuatu secara fungsional –di garis lurusnya, dibutuhkan pengalaman yang transcendent pada kesadaran. Artinya, kaderisasi PCI NU Sudan selama ini lebih banyak berkutat dalam “tanam paham” yang hanya mengenalkan dirinya sendiri sebagai mazhab ideologi teoritis: NU yang harfiah. Belum sepenuhnya keluar dari jalur yang sesungguhnya dituntut oleh NU sebagai organisasi.

    Seingat penulis, Abdurrahman, MA adalah salah satu yang pernah mengemukakan pentingnya kaderisasi pada Rapat Koordinasi lembaga PCI NU Sudan tahun 2012. Ia menilai bahwa Kaderisasi dini ini dirasa penting, melihat gejolak ketidaksiapan sebagian pengurus menjalankan roda program yang dicanangkan oleh hasil konferensi. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi setelah 3 bulan masa jabatan Miftahuddin Ahimy, MA sebagai ketua Tandfidziyah PCI NU. Ketidaksiapan ini pun otentik karena kurangnya pengalaman mengenal NU sebagai organisasi secara utuh. Meski lagi – lagi yang dikemukakan Abdurrahman menjadi sebuah gagasan yang diterima dan direspon oleh forum dengan kembali melakukan kaderisasi NU An sich: Mazhab Ideology Teoritis.

    Tidak sangkal jika kemudian hari, setelahnya, dinamika organisasi kembali menjadi kepompong yang bertapa dan tak kunjung berubah menjadi kupu – kupu yang terbang menguasai langit. Karena bagaimanapun harus dibedakan bagaimana memahami NU secara cultural dan structural agar tidak menjadi beban berkepanjangan, dan menjadikan NU lagi – lagi kecolongan dengan orang – orang berkepentingan “pribadi” yang menyusup dalam structural NU sebagai organisasi keagamaan yang profetik.

    Jadi sudah seyogyanya PCINU Sudan lebih serius melangsungkan serangkaian program riil yang berkiblat pada seluruh amanat NU sebagai organisasi yang memerlukan kemampuan pengelolaan jalannya organisasi bagi pegiat dan aktivisnya. Jalan formal satu – satunya adalah dengan mengadakan “diklat ke-organisasi-an” secara berkala pada tiap tahun kedatangan mahasisiswa baru NU ke Sudan. Hal ini PCINU Sudan fungsikan sebagai kelas tambahan bagi kadernya untuk mengejar ketertinggalan pengalaman dan pengetahuan di kelas kaderisasi yang tidak semua mahasiswa baru yang datang dari Indonesia mengikutinya disana. Juga dalam upaya menyiapkan kader – kader aktivis dan pegiat PCINU Sudan yang memiliki integritas ber-organisasi baik secara structural maupun cultural.  

    Bagi kepentingan organisasi, mereka adalah potensi dan ruh dalam kelangsungan eksistensi organisasi yang perlu PCINU Sudan kelola dan rawat dengan menanamkan paham dan ilmu organisasi sedari dini maupun berkala. Hal ini adalah ke-istimewa-an tersendiri PCINU Sudan dalam perjalanan sejarah dan peradabannya sebagai organisasi yang mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki, bukan?

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg