SELAMAT DATANG

SUTRISNO BERSIKAP

Posted on
  • Feb 23, 2014
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Sepulang dari mengikuti seminar, Subagyo bertemu dengan seorang teman. Namanya Sutrisno, akrab dipanggil Sutris oleh teman – teman Subagyo. Sutris memang berkarakter pendiam, tidak banyak bicara, tetapi dibalik diamnya selalu responsive dan kritis menyikapi apa yang ia lihat. Subagyo yang tergolong dekat jika ia ditanya tentang bagaimana pribadi Sutris Sebenarnya, yang sering  dianggap eksklusif oleh teman – temannya, Subagyo selalu bilang, “Sutris itu memang boleh dikesankan Eksklusif, namun kesanmu jangan berhenti sampai sebatas itu. Karena dibalik eksklusifitas Sutris yang bagi saya menipu, ada banyak sikap – sikap kritis, responsive terhadap sesuatu yang hanya saja Sutris tidak mau tampak – tampakkan”.

    Karena bagi Subagyo, banyak yang tidak tahu stream, dan mind Sutris yang responsive terhadap apapun yang kritik-able. Dan itu, biasanya tidak diketahui orang banyak di sekitar Sutris, karena seringkali Sutris hanya berbicara serius kepada orang – orang tertentu yang dianggap mampu menseriusinya. Termasuk Subagyo, yang seringkali dipilih Sutris sebagai lawan bicara.

    “Begini Yo, ini tentang dilematika ideology mahasiswa dan ke-mahasiswa-an terhadap gonjang – ganjing persekongkolan  sebagian dari kita dengan partai politik”. Kata Sutris membuka pembicaraan seriusnya.

    Dari nada dan gaya Sutris bicara, Subagyo faham. Sutris akan ngomong panjang, makanya Subagyo masih diam. Memberi waktu Sutris menuntaskan.

    Kerja praktis partai politik yang selama ini kita kenal bersama, semenjak reformasi dari orde baru dan mulai dibuka selebar – lebarnya dimulai tahun 1999 bagi siapapun untuk berpayung di bawah payung demokrasi sebenarnya masih merupakan rangkaian perjalanan yang belum berumur panjang. Tentang kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, mendirikan dan melegislasi gagasan kelompok yang menjamur dari barat ke utara, dari kota ke pelosok desa. Ini, sebagai mahasiswa kita, harus berperan sebagai controller, karena dalam praktisnya ternyata “orang – orang itu” tidak semuanya berkesempatan hadir dan memahami serangkaian gonjang – ganjing dan peristiwa – peristiwa rekonsoliasi kebangsaan dan kebudayaan. Sebagian orang, tanpa masuk dalam instrument perjuangan demokrasi dulu justru kerap kali, dewasa ini muncul sebagai poros baru yang bebas keliaran dimana – mana, yang tentu istilah yang dimaksud adalah munculnya “mereka”, dibenarkan oleh demokrasi. Istilah nya, ya, seperti terlahir dari keluarga konglomerat, yang begitu lahir sudah merasa berhak mewarisi dan menikmati hasil kerja keras ayahnya. Hal ini yang mestinya, membuat kita: mahasiswa gerah. Dari sisi strategisnya, mahasiswa harus kita tempatkan bukan hanya sebagai obyek kebijakan politik dan birokrasi, namun lebih spesifik mampu mengartikulasi keadaan dalam kapasitas yang lebih tinggi: Kebangsaan.

    Mahasiswa, kita re-posisi bukan hanya sebagai perusuh bagi stabilitas pemerintah, namun sebagai controller. Bukankah diatas jalannya kebebasan (liberty) harus ada yuridiksi, dan cendekiawan termasuk mahasiswa di dalamnya memiliki otoritas penting dalam pengawasan agar perjalanan birokrasi senantiasa under-control ?.

     Di sejarah revolusi manapapun, revolusi tergerak dari kontemplasi pihak cendekiawan sebagai ideologi dengan premanisme sebagai sikap arogansi yang diperbolehkan dalam pengawalan sebuah ide dan gagasan. Justru yang kita lihat, dewasa ini seringkali tidak padu. Istilahnya, Ayatullah Khomeini dan Ahmad Dinejad Sudah pisah ranjang. Atau Muhamad Abdul wahab dan king Abdul Aziz sudah bercerai. Sehingga yang tampak seringkali keduanya berjalan sendiri – sendiri menuju, yang sebenarnya bertujuan sama. Mahasiswa harus menjadi perangkat yang seirama dengan proses berjalannya kebijakan pemerintah dan meluruskan output kebijakan dengan konservatifitasnya.

    “Permasalahannya, adalah begini, Yo…”, lanjut dia, mengambil satu tarik nafas.

    Jika ada satu golongan partai politik, yang berusaha menggawangi konservatifitas ideology kemahasiswaan, seperti di Sudan ini. Dengan berbagai upaya dan wajah, yang seolah – olah mendapat legislasi untuk juga menggerakan kepentingan politiknya melalui jalur kemahasiswaan. Jika ditilik sepihak dengan memandang hak mendirikan sebuah wadah untuk menampung ide mahasiswa dan meluluskan cita – cita, visi dan missi nya, maka hal tersebut “boleh” secara konstitusional baku. Namun jika ditilik dari jangkauan idealisme seorang mahasiswa dengan berbagai potensi tadi: Controller dengan sikap konservatifitas yang perlu dijaga, maka hal tersebut jelas me-salah-I estetika, dan mencederai netralisme serta konstitusi kemahasiswaan kita. Karena apapun bentuk lembaga atau organisasi yang dibuat oleh sebuah partai politik, maka selalu harus kita curigai bersama apa tendensi dibalik itu semua.

    Subagyo yang dari tadi membatu mendengarkan, magut – magut sambil pegang bulu jenggot, memahami maksud Sutris. Sebelum akhirnya bertanya,

    “lantas, sebagai mahasiswa, apa sikap kita agar tidak terjebak erosi dan pendangkalan idealisme mahasiswa, Tris?”

    Pertama, kita cermati dulu, jangan terburu mengambil sikap hemat. Kita telisik dulu, dengan menjangkau berbagai aspek sudut pandang penilaian sejarah, pondasi dan track record politik partai tersebut. Tolok ukurnya begini, apakah sebuah partai tersebut memiliki perjalanan sejarah yang sesuai dengan cita – cita dan semangat luhur kebangsaan atau malah menyimpang. Harus kita jeli juga, apakah partai tersebut memiliki tendensi sikap dan kepentingan politik yang sesuai dengan pedoman dan empat pilar bangsa dan Negara, atau malah sebaliknya mengkafirinya. Selanjutnya, apakah perjalanan partai tersebut dalam kancah perpolitikan memiliki raport memuaskan, yang ukurannya kita sesuaiakan pada raport para pejabat publiknya, karena baik buruknya rapot seorang pejabat public yang diusung oleh suatu partai menentukan baik buruknya citra politik sebuah partai tersebut.

    Tindakan kedua, sebagai mahasiswa yang idealnya senantiasa merawat ideologi dan sikap controller (tanpa kontaminasi dan tidak tercemar tendensi sebuah kepentingan rendah) terhadap kebijakan penguasa yang secara tidak langsung merupakan posisi strategis mahasiswa untuk berteriak “tidak” pada penyelewengan penyelenggaraan kebijakan dan mengapresiasi bersama setiap prestasi dan pencapaian yang dilakukan oleh pemerintah. Nah, hal ini hanya bisa mungkin terjadi secara “wajar” jika para mahasiswa senantiasa merawat ideology kemahasiswaannya dengan tidak terjebak pada kepentingan – kepentingan instan seperti politik praktis yang selalu berujung pada cita – cita rendah sebagai seorang mahasiswa.

    Ketiga, adanya sebuah wadah organisasi ataupun apa istilahnya yang mewadahi berbagai kegiatan dan hadir di tengah – tengah mahasiswa itu harus kita telusuri dulu, apakah benar organisasi / lembaga anak partai tersebut yang berada diantara kita benar – benar memiliki niat luhur untuk mewadahi kreativitas teman – teman mahasiswa dalam berbagai hal misalnya, tanpa kepentingan lain, atau justru sama halnya partai dengan kepentingan politik yang hanya bertujuan seperti menanam pundi – pundi massa yang akan dipetik “suara” mereka pada PEMILU? karena jika benar, bahwa berdirinya organisasi anak partai tersebut jatuh pada kepentingan “kedua” maka jelas itu tidak sesuai spirit dan komitmen awal kita, dan bahkan mereka mencederai harkat dirinya dengan persekongkolan jihad demi “kekosongan”.

    “Saya kira, kita harus memikirkan yang terakhir ini, Tris…”, Ucap Subagyo menyela pembicaraan Sutris. Matahari sudah terbenam, hari mulai malam. Terdengar lantang dari jauh suara adzan yang tidak pernah gagal mengisi kekosongan hati untuk beranjak memenuhi panggilan. 


    Khartoum 230214

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg