Sepulang dari mengikuti seminar, Subagyo bertemu dengan seorang
teman. Namanya Sutrisno, akrab dipanggil Sutris oleh teman – teman Subagyo.
Sutris memang berkarakter pendiam, tidak banyak bicara, tetapi dibalik diamnya selalu
responsive dan kritis menyikapi apa yang ia lihat. Subagyo yang tergolong dekat
jika ia ditanya tentang bagaimana pribadi Sutris Sebenarnya, yang sering dianggap eksklusif oleh teman – temannya, Subagyo
selalu bilang, “Sutris itu memang boleh dikesankan Eksklusif, namun kesanmu
jangan berhenti sampai sebatas itu. Karena dibalik eksklusifitas Sutris yang
bagi saya menipu, ada banyak sikap – sikap kritis, responsive terhadap sesuatu
yang hanya saja Sutris tidak mau tampak – tampakkan”.
Karena bagi Subagyo, banyak yang tidak tahu stream, dan mind Sutris
yang responsive terhadap apapun yang kritik-able. Dan itu, biasanya tidak
diketahui orang banyak di sekitar Sutris, karena seringkali Sutris hanya
berbicara serius kepada orang – orang tertentu yang dianggap mampu menseriusinya.
Termasuk Subagyo, yang seringkali dipilih Sutris sebagai lawan bicara.
“Begini Yo, ini tentang dilematika ideology mahasiswa dan
ke-mahasiswa-an terhadap gonjang – ganjing persekongkolan sebagian dari kita dengan partai politik”.
Kata Sutris membuka pembicaraan seriusnya.
Dari nada dan gaya Sutris bicara, Subagyo faham. Sutris akan
ngomong panjang, makanya Subagyo masih diam. Memberi waktu Sutris menuntaskan.
Kerja praktis partai politik yang selama ini kita kenal bersama,
semenjak reformasi dari orde baru dan mulai dibuka selebar – lebarnya dimulai
tahun 1999 bagi siapapun untuk berpayung di bawah payung demokrasi sebenarnya
masih merupakan rangkaian perjalanan yang belum berumur panjang. Tentang
kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, mendirikan dan melegislasi
gagasan kelompok yang menjamur dari barat ke utara, dari kota ke pelosok desa.
Ini, sebagai mahasiswa kita, harus berperan sebagai controller, karena
dalam praktisnya ternyata “orang – orang itu” tidak semuanya berkesempatan hadir
dan memahami serangkaian gonjang – ganjing dan peristiwa – peristiwa
rekonsoliasi kebangsaan dan kebudayaan. Sebagian orang, tanpa masuk dalam
instrument perjuangan demokrasi dulu justru kerap kali, dewasa ini muncul
sebagai poros baru yang bebas keliaran dimana – mana, yang tentu istilah yang
dimaksud adalah munculnya “mereka”, dibenarkan oleh demokrasi. Istilah nya, ya,
seperti terlahir dari keluarga konglomerat, yang begitu lahir sudah merasa
berhak mewarisi dan menikmati hasil kerja keras ayahnya. Hal ini yang mestinya,
membuat kita: mahasiswa gerah. Dari sisi strategisnya, mahasiswa harus kita
tempatkan bukan hanya sebagai obyek kebijakan politik dan birokrasi, namun
lebih spesifik mampu mengartikulasi keadaan dalam kapasitas yang lebih tinggi: Kebangsaan.
Mahasiswa, kita re-posisi bukan hanya sebagai perusuh bagi
stabilitas pemerintah, namun sebagai controller. Bukankah diatas
jalannya kebebasan (liberty) harus ada yuridiksi, dan cendekiawan termasuk
mahasiswa di dalamnya memiliki otoritas penting dalam pengawasan agar
perjalanan birokrasi senantiasa under-control ?.
Di sejarah revolusi
manapapun, revolusi tergerak dari kontemplasi pihak cendekiawan sebagai
ideologi dengan premanisme sebagai sikap arogansi yang diperbolehkan dalam
pengawalan sebuah ide dan gagasan. Justru yang kita lihat, dewasa ini
seringkali tidak padu. Istilahnya, Ayatullah Khomeini dan Ahmad Dinejad Sudah
pisah ranjang. Atau Muhamad Abdul wahab dan king Abdul Aziz sudah bercerai.
Sehingga yang tampak seringkali keduanya berjalan sendiri – sendiri menuju,
yang sebenarnya bertujuan sama. Mahasiswa harus menjadi perangkat yang seirama
dengan proses berjalannya kebijakan pemerintah dan meluruskan output kebijakan
dengan konservatifitasnya.
“Permasalahannya, adalah begini, Yo…”, lanjut dia, mengambil satu
tarik nafas.
Jika ada satu golongan partai politik, yang berusaha menggawangi
konservatifitas ideology kemahasiswaan, seperti di Sudan ini. Dengan berbagai
upaya dan wajah, yang seolah – olah mendapat legislasi untuk juga menggerakan
kepentingan politiknya melalui jalur kemahasiswaan. Jika ditilik sepihak dengan
memandang hak mendirikan sebuah wadah untuk menampung ide mahasiswa dan
meluluskan cita – cita, visi dan missi nya, maka hal tersebut “boleh” secara
konstitusional baku. Namun jika ditilik dari jangkauan idealisme seorang
mahasiswa dengan berbagai potensi tadi: Controller dengan sikap konservatifitas
yang perlu dijaga, maka hal tersebut jelas me-salah-I estetika, dan mencederai
netralisme serta konstitusi kemahasiswaan kita. Karena apapun bentuk lembaga
atau organisasi yang dibuat oleh sebuah partai politik, maka selalu harus kita
curigai bersama apa tendensi dibalik itu semua.
Subagyo yang dari tadi membatu mendengarkan, magut – magut sambil
pegang bulu jenggot, memahami maksud Sutris. Sebelum akhirnya bertanya,
“lantas, sebagai mahasiswa, apa sikap kita agar tidak terjebak
erosi dan pendangkalan idealisme mahasiswa, Tris?”
Pertama, kita cermati
dulu, jangan terburu mengambil sikap hemat. Kita telisik dulu, dengan
menjangkau berbagai aspek sudut pandang penilaian sejarah, pondasi dan track
record politik partai tersebut. Tolok ukurnya begini, apakah sebuah partai
tersebut memiliki perjalanan sejarah yang sesuai dengan cita – cita dan
semangat luhur kebangsaan atau malah menyimpang. Harus kita jeli juga, apakah
partai tersebut memiliki tendensi sikap dan kepentingan politik yang sesuai
dengan pedoman dan empat pilar bangsa dan Negara, atau malah sebaliknya
mengkafirinya. Selanjutnya, apakah perjalanan partai tersebut dalam kancah
perpolitikan memiliki raport memuaskan, yang ukurannya kita sesuaiakan pada
raport para pejabat publiknya, karena baik buruknya rapot seorang pejabat
public yang diusung oleh suatu partai menentukan baik buruknya citra politik sebuah
partai tersebut.
Tindakan kedua, sebagai mahasiswa yang idealnya senantiasa
merawat ideologi dan sikap controller (tanpa kontaminasi dan tidak tercemar
tendensi sebuah kepentingan rendah) terhadap kebijakan penguasa yang secara
tidak langsung merupakan posisi strategis mahasiswa untuk berteriak “tidak”
pada penyelewengan penyelenggaraan kebijakan dan mengapresiasi bersama setiap
prestasi dan pencapaian yang dilakukan oleh pemerintah. Nah, hal ini hanya bisa
mungkin terjadi secara “wajar” jika para mahasiswa senantiasa merawat ideology
kemahasiswaannya dengan tidak terjebak pada kepentingan – kepentingan instan
seperti politik praktis yang selalu berujung pada cita – cita rendah sebagai
seorang mahasiswa.
Ketiga, adanya sebuah wadah organisasi ataupun apa istilahnya yang
mewadahi berbagai kegiatan dan hadir di tengah – tengah mahasiswa itu harus
kita telusuri dulu, apakah benar organisasi / lembaga anak partai tersebut yang
berada diantara kita benar – benar memiliki niat luhur untuk mewadahi
kreativitas teman – teman mahasiswa dalam berbagai hal misalnya, tanpa
kepentingan lain, atau justru sama halnya partai dengan kepentingan politik
yang hanya bertujuan seperti menanam pundi – pundi massa yang akan dipetik
“suara” mereka pada PEMILU? karena jika benar, bahwa berdirinya organisasi anak
partai tersebut jatuh pada kepentingan “kedua” maka jelas itu tidak sesuai
spirit dan komitmen awal kita, dan bahkan mereka mencederai harkat dirinya
dengan persekongkolan jihad demi “kekosongan”.
“Saya kira, kita harus memikirkan yang terakhir ini, Tris…”, Ucap
Subagyo menyela pembicaraan Sutris. Matahari sudah terbenam, hari mulai malam.
Terdengar lantang dari jauh suara adzan yang tidak pernah gagal mengisi
kekosongan hati untuk beranjak memenuhi panggilan.
Khartoum 230214
0 komentar:
Post a Comment