SELAMAT DATANG

Mandjan

Posted on
  • Oct 24, 2013
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:
  • Sebut saja namanya Mandjan. Seorang perempuan. Tidak terlalu tua, mungkin umurnya hanya terpaut beberapa tahun di atasku. Tak ada yang berubah dari caranya bicara. Caranya menatapku sebagai teman curhatnya, tak ada yang berubah, cara berpakaian juga masih sama; memakai kaos panjang, kerudung ungu, sandal yang membuatnya sedikit berjinjit seperti pertama kali kutemui di gerbong kereta.

    Saya masih ingat dengan wajah Mandjan kala itu; kusut, apa adanya dan tanpa polesan make up apapun di wajahnya. Ia sedang duduk sendiri di gerbong  saat saya bertemu dengannya tanpa sengaja dalam perjalanan pulangku ketika mencari warung kopi untuk berkumpul bersama para sahabatku.

    Langit sore di kota Surabaya yang menuntutku untuk pulang,  menjadikanku memuutuskan untuk melakukan perjalanan dari kota pahlawan itu ke kota Angin di mana saya dilahirkan---  menggunakan jasa perjalanan kereta api. Saya putuskan untuk berangkat dari Stasiun Wonokromo, kebetulan hanya stasiun itu yang terbilang berdekatan dengan warung tempat biasa saya dan para sahabat saya nongkrong; bercerita tentang banyak hal baru.

    sumber gambar : google
    Pukul 16.30 sore Kereta Kertajaya yang akan menghantarkanku ke rumah ibu telah sampai di Stasiun Wonokromo dimana  saya menunggu kedatangannya. Saya pun bergegas mencari tempat duduk sesuai nomor yang saya dapatkan dari tiket yang kubeli. Akhirnya setelah berjalan dari gerbong ke gerbong, saya temukan tempat yang akan kududuki selama perjalanan. Tepat mengarah di depan tempat dudukku yang memang berhadapan, kulihat Mandjan yang belum kukenal untuk kali pertama. Ia duduk di pojok. Wanita berkerudung ungu, berkaos panjang, bercelana jeans sedang tertunduk lesu. Seperti sedang terpuruk, sementara kulihat di samping kanan dari tempat ia duduk masih ada ruang untuk dua orang duduk.

    “hai… mbak, boleh saya duduk disini..”, kataku menyapa, sambil menunjuk arah pada tempat duduk kosong di depannya.

    Ia tak mengeluarkan jawaban. Ia mengangkat wajahnya yang suram. Hanya mengernyitkan keningnya, bahasa yang saya mengerti sebagai orang asing baginya.

    Dari wajahnya yang memandang ke luar jendela, dan sekelebat kulihat dari samping. Ada anak sungai kering yang mengalir dari mata ke pipinya.

    “.. ia habis menangis”, pikirku dalam hati.

    Kereta pelahan berjalan ketika keseluruhan penumpang sudah duduk di tempat masing – masing. Kebisingan mereda. Setelah sekian lama saya baru sadar; saya terjebak, berhadapan dengan perempuan yang terus memandang ke luar jendela. Tanpa seorang pun di sampingnya maupun disampingku. Saya dan ia duduk berhadapan di pojok gerbong kereta.

    Di ujung sana. Seorang pemuda – pemudi terlihat membawa barang-barang, kupastikan mereka habis pulang mendaki, mereka sedang bercanda di tempat duduknya masing-masing, ketawa-ketiwi sembari terus memproduksi asap dari rokok yang mereka hisap bersama. Duh, melihat itu aku ngiri sekali.

    Tiap kali aku pulang dari kota ini, aku selalu sendirian. Kebersamaan mereka yang kulihat itu seperti yang saya rasakan saat di warung kopi. Selebihnya, satu sama lain diantara mereka mungkin  memiliki arah pulang yang tak pernah sama. Sebagaimana saya.

    “.. Aku bisa mati tanpa asap..” gerutuku, sambil masih melihat keceriaan mereka.

    “..ehm..”, saya mencoba berdiri untuk mengangkat keberanian berbicara. Berharap perempuan asing di depanku membuatku tak semakin asing.

    “.. mbak, boleh  merokok di sini?”, saya bertanya pelan kepadanya. Menyapanya untuk ke dua kali setelah perjalanan dari Wonokromo ke Krian tanpa percakapan.

    “…untuk apa kamu merokok?”, ia berjingkat menolehkan wajahnya ke arahku. Wajahnya yang muram mulai mereda.

    “.. ya, untuk menenangkan pikiran. Di saat kesepian saya butuh teman. Seperti Mbak yang selalu butuh teman bercerita untuk sedikit memudarkan kesedihan”.

    Ia seperti sedang memikirkan pertanyaanku.

    Karena merasa sudah mengantongi izin untuk mengisap rokok disampingnya. Saya segera mengambil rokok di kantong dan menyulutnya. Saya mulai berani membuka percakapan dengannya.

    “.. Mbak, mau kemana?”, tanyaku

    Langit yang sepi. Jendela gelap dan sunyi.
    Tiada petir, tiada hujan. Ia menangis.



    *****

    Mandjan

    Langit sore yang mulai gelap. Burung-burung pulang ke sangkar. Angin malam yang dingin mulai berhijrah mendinginkan sepasang kakinya yang ketakutan.

    Di ranjang ia duduk sendirian. Menanti detik- detik suaminya Parman pulang kerja dari kantor. Selimut yang ia lilitkan pada sekujur tubuh tak membuatnya lebih hangat dari kesakitan – kesakitan di tiap malam yang selalu ia ingat.

    Ia perempuan naïf. Sudah 3 tahun membangun rumah tangga, tapi Tuhan belum juga memberikan karunia anak kepadanya. Tiap hari ia tak pernah berhenti berdoa. Ia masih berharap Tuhan mendengar doanya. “Tuhan tak tidur, Tuhan tak tuli…” tekadnya kepada Tuhan sangatlah besar.

    Suara sepatu yang ia sangat kenal seperti mendekat. Ia ketakutan.

    “.. Mandjan, aku tahu kau belum tidur...” suara berat itu keluar dari pria berbibir tebal. “cepat bangun, dan buka bajumu !!!”, bentak Parman.

    “kau tahu, Mandjan, betapa malunya aku pada ibu dan bapakku. 3 tahun kita menikah, tapi belum juga kau lahirkan anak…” lanjutnya sambil membuka kancing- kancing kemejanya, melepas sepatunya dan merapat ke atas ranjang.

    Namun Mandjan perempuan yang ketakutan. Ia terus berlindung di atas selimut. Ia tak bergeming, ia ketakutan. Bibirnya tertutup. Tubuhnya kaku tak bergerak, seperti mayat.

    “cepat buka !..” kali ini Parman membentak dengan nada serius. Dan Mandjan tetap pada posisinya. Tertelungkup di pojok ranjang. Diam.

    “baiklah… kalau begitu maumu, kau akan kutelanjangi paksa…dasar bedebah!”, kata Parman, mencerca istrinya yang ketakutan. “  apakah itu yang diharapkan suami seusai pulang mencari uang untuk kau makan? Hah? Apa ini balasan yang kau dapatkan? Untuk apa aku menikahimu? Andaikan mau, aku bisa mencari wanita lain yang tidak sebodoh kamu. Yang lebih cantik, lebih muda dan memberiku anak…”

    Dedaunan bergoyang. Pohon – pohon cemara pun digoda hujan. Pohon cemara yang kokoh, tidak sekokoh daunnya yang meruncing ke atas. Juga pohon – pohon bambu di pinggir sungai belakang rumahnya sedang menghasilkan suara – suara dari gesekan kesedihan. Bambu? Bagi Mandjan, bercinta dengan Parman lebih menyakitkan daripada kemaluanya yang ditusuk ujung bambu.

    Malam itu, dan malam – malam sebelumnya. Mandjan melaluinya sebagai mayat yang dikoyak anjing kelaparan. Parman mengikat kedua kaki Mandjan hingga terlentang pada ranjang dengan tampar. Pun juga tangan Mandjan yang Parman ikat kuat – kuat dengan tampar. Hingga genap sudahlah Mandjan yang sudah tak berpakaian sehelai kainpun terlentang di atas ranjang dengan ke dua kaki dan tangannya terikat oleh tampar pada tiap sudut ranjang.

    Ia seperti mayat. Ya, ia dingin. Tak bergerak. Mulut Mandjan yang diikat dengan kain pel membuatnya tak bersuara. Mengejang pun tak bisa. Otot – otot dan syaraf seksualnya telah mati. Susunya kendor, vaginanya tak berair. Ia hanya mengenal kesakitan.  Karena sudah tak bisa lagi apa-apa, kadang matanya melotot dan urat – urat di dahinya yang membesar adalah bahasa lain bahwa dia sedang kesakitan.

    Andaikan ia boleh memilih antara mati dan hidup. Tapi buat apa? Bukankah setelah kematian toh ada kehidupan lagi. Andaikan ia boleh memilih takdirnya sendiri. Tapi buat apa? Siapa yang bisa menjamin Tuhan mengerti perasaan perempuan? Perjalanan hidupnya sudah banyak bicara soal keadilan, soal kehormatan, dan soalTuhan yang mengindahkan nasibnya selama 3 tahun.

    ****

    Tetapi itu bukan Mandjan jika tidak melalui semuanya itu dengan tegar. Sosok yang sekarang sedang berada di depanku. Waktu mempertemukan saya dengannya untuk yang kedua kalinya, kami bertemu di sebuah café di pinggiran kota Surabaya. Perempuan yang tidak terlalu tua,  umurnya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dariku itu. Tidak ada yang berubah dari cara ia bicara. Cara ia menatap saya sebagai teman curhatnya. Cara berpakaian juga masih sama, kaos panjang, kerudung ungu, sandal yang membuatnya sedikit berjinjit seperti pertama kali aku menemuinya di gerbong kereta.

    Mungkin yang berubah adalah wajah yang dulu muram sekarang mulai reda. Tidak jarang dari bibirnya keluar senyuman. Namun tetap sederhana.

     Ia sosok perempuan yang murni dibesarkan oleh keadaan. Dari perjalanan hidupnya, ia mengenal bahwa dalam kehidupan, keadaan baik tidak selalu berpihak kepadanya. Kadang kala Tuhan mengajak kita untuk bermain teka – teki di balik semua skenario yang Ia buat. Tinggal bagaimana kita menjalaninya. Apakah kita kuat dalam ujian atau malah kita tinggalkan keimanan.

    “saya mau tanya sesuatu kepadamu, boleh?”, ia membuka percakapan dengan pertanyaan

    “boleh., apa?”

    “Bagimu, apa perbedaan rasa nikmat dan sakit?”

    “hmm…”, pertanyaan macam apa itu. Seumur hidup saya tak pernah sempat mempertanyakan hal yang demikian. Namun kuputuskan untuk menjawab“.. aku tak tahu..”.

    “ antara rasa nikmat dan sakit tidak pernah bisa dibedakan. Seperti bijimu, ada yang kanan ada yang kiri”

    “hah? Maksudmu..?”

    “keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Orang bilang rasa nikmat itu lahir dari rasa nyaman, rasa terlindungi, rasa dihargai dan dihormati. Tetapi bagiku salah, justru dari kesakitan dicaci, dikasari, disiksa aku merasakan kenikmatan. Sekarang pun aku sudah mulai memahami apa yang mas Parman mau tiap malam, its okay.. everythings easy…”

    “maksudmu?”, aku masih belum paham.

    “Duh, dasar kamu…  bukankah kau sadar, Bahkan kenikmatan tertinggi adalah orgasme yang merupakan hasil dari benturan keras alat kelamin dan tubuh manusia?”

    “ … lhoh, masalah anak?”

    “Alhamdulillah, sekarang mas Parman sudah mengizinkan saya untuk mengadopsi anak dari Panti Asuhan…”

    “ya, Syukurlah… “




    Khartoum, 2 oct 2013

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg