Sepulang kami ngobrol tentang banyak hal. Obrolan dengan sahabat
saya di tempat yang sederhana itu begitu panjang. Maklum, diantara kita ada hal
– hal yang (mestinya) tidak mungkin kita selesaikan dalam satu negoisasi. Bagi
saya, pun mungkin bagi sahabat baik saya itu, mengobrol adalah sisi lain yang
perlu dilestarikan dalam rangka agregasi antar satu sama lain sebagai dua orang
yang sama – sama dalam tahap “mencari”. Di dalam percakapan yang baik; tulus
dan tanpa pretense apapun, tidak ada yang perlu disesalkan. Saling berbagi apa
yang selama ini yang kita tahu, yang kita pahami. Pun menularkan ide – ide
baru. Sehingga, alamat kita bertemu; pada titik yang kita saling sepakati.
Diantara obrolan yang menarik juga menggelitik adalah tentang
“pensil”. Percakapan tentang Pensil, atau dulu sering saya sebut “potlot”
seolah menggiring saya untuk mengingat betapa “saya” di usia 12 tahun lalu.
Bagi saya waktu itu, yang masih mengenakan seragam merah putih: Sekolah Dasar,
kecintaan saya kepada potlot jauh lebih besar dibanding dengan bolpoin. Saya
tidak tahu banyak hal alasan kenapa bisa demikian. Ada semacam Feel bahwa Potlot itu apa ya, saya
sukar menyebutnya. Seperti tidak terlalu kejam daripada bolpoin atau Pulpen.
Sewaktu SD saya menganggap Bulpoin sangat kejam. Dari garis –
garis tegas yang ia hasilkan. Saya tidak suka dengan itu, saya merasa bolpoin
hanya milik orang dewasa; saya masih belum cukup umur, pikirku. Saya melihat
orang dewasa ketika menulis sesuatu dengan bolpoin begitu tegas, begitu,
seperti kemantapan ketika menuliskan sesuatu diatas kertas. Seperti ada
perasaan yang mendalam bahwa, menulis dengan bolpoin harus mantep, tidak boleh
salah, harus lurus, tidak boleh bengkong. Karena saya tahu, dan terbukti
jika salah tulis atau kurang mantap dalam menulisnya hanya akan bertemu dengan
dua pilihan: mencoret kesalahan atau menghapusnya dengan TipX yang kerap kali
malah bikin tulisan tidak elok, tidak selaras dan menawan seperti sebelum
di-TipX.
Tentu, menurut saya saat itu berbeda sekali dengan jika kita
menulis menggunakan pensil. Jika ada kesalahan atau keraguan yang perlu kita
benahi, kita cukup untuk mengahapusnya dengan Penghapus atau Karet yang sering
sayabundelkan di kepala pensilku. Kalau toh pun,
kebiasaan saya di sekolah selalu mengantongi pensil di kantong baju seragam dan
biasanya menimbulkan bercak goresan – goresan, karena mungkin tergores oleh
pucuk pensil yang kemana – mana ketika saya berlari. Maka ibu saya pun tidak
terlalu repot untuk menghilangkan bekasnya. Ini berbeda dengan jika kita lupa
menutup bolpoin yang kita sakukan ke dalam kantong seragam itu, selain bercak
tintanya jika melober yang menyeramkan. Saya juga tidak membayangkan betapa
sukarnya ibu saya membersihkan seragam anak kesayangannya.
Ada lagi, dulu sewaktu masih duduk di bangku SD. Mencintai Pencil
adalah mencintainya seutuhnya. Saya merawat pensil – pensil saya dengan baik,
saat hendak pulang ke rumah saya rajin menyimpan pensil – pensil saya –yang
lumayan banyak jenis itu, di lepak. Ya, semacam kotak kecil untuk
menyimpan alat – alat menulis kita; pensil, penghapus, dan penggaris. Saya
tidak menyimpan bolpoin di dalamnya, jujur.
Kemampuan untuk mengupas pensil dengan sisi –sisi kayu yang
melingkari inti pensil jadi halus adalah juara, semakin halus mengupasnya
semakin bangga. Apalagi untuk menjadikan ujungnya yang rungcing, itu saya
anggap sebagai kemampuan yang “wah”. Diantara pensil- pensil koleksi saya saat
itu, memang saya bedakan. Ada ujungnya yang memang saya sengaja dibikin runcing
oleh saya, ada juga yang saya sengaja Bundel atau sedengan. Itu saya
sengaja bedakan untuk fungsi yang berbeda. Misalkan, yang ujungnya runcing
untuk menandai pada bagian – bagian mana dari buku paket pelajaran saya yang
penting menggunakan penggaris. Kemudian yang bundel atawa yang sedang saya gunakan untuk
menulis di buku latin atau buku biasa; sinar dunia saya menyebutnya. Eh buku
latin? Waah.. jadi ingat kenangan yang lain.
Ada satu pensil yang begitu istimewa bagiku dulu. Pensil 2B. Wah,
pensil 2B sudah jadi pensil kebanggaan bagi setiap siswa SD yang memilikinya
saat itu. Selain karena hanya 2B lah satu - satunya pensil yang lebih sering
diiklankan di televisi -apalagi saat mendekati UNAS, juga bagi kami pensil 2B
itu tergolong mewah karena harganya yang lebih mahal dari uang jajan kami
sehari - hari.
Kalau untuk Penghapus, yang paling kuingat sebagai aksesoris
istimewa saat itu adalah penghapus karet yang bermerk Staedtler. Selain karena
mahal yang menjadikan istimewa, juga karena penghapus Staedtler itu terbuat
dari karet yang kuat dan awet menurut ukuran kami yang harus merengek - rengek
dulu biar dibeliin pengahapus yang hanya bermerk Staedtler, tidak yang lain:
yang berwarna - warni atau yang beraroma buah - buahan.
Begitulah ingatan, dan kenangan saya tentang “pensil” sewaktu masa
kecil saya. Saya begitu ingat kapan terakhir saya menggunakan pensil dan mulai
menggunakan bolpoin. Yaitu ketika saya mulai menginjak kelas 6 Madrasah
Ibtida’iyyah. (Saya sekolah di Sekolah Dasar Negeri mulai dari kelas satu
sampai kelas tiga. Selebihnya saya pindah ke Madrasah Ibtida’iyah sampai lulus
strata Sekolah Dasar). Sewaktu kelas 6 MI pun saya tidak sering menggunakan
Bolpoin, saya masih sering menggunakan pensil untuk menjawab pertanyaan –
pertanyaan yang terdapat dalam LKS (Lembar Kerja Siswa). Satu hal lagi, ntah
kenapa saya merasa bahwa mengisi jawaban LKS dengan bolpoin itu hanya bisa
dilakukan oleh anak – anak pandai, sedangkan saya tidak. saya lebih senang,
kalau saya bisa membenahi apa kesalahan dari jawaban yang saya coba mengisinya.
Itu kenangan saya tentang pensil atawa potlot, apa kenanganmu?
Khartoum, 27 Sept 2013
2 komentar:
Trivia:
potlot = bahasa Belanda-nya pensil :D
wooh yakin? saya baru tahu tante.
mana yang lebih tua: penemuan pensil dengan sebutan "potlot" oleh orang belanda atau jawa?
Post a Comment