Bubur, siapa diantara orang nusantara yang tidak mengenal bubur? Salah satu makanan dari olah masak beras, direbus, dengan kadar air lebih dari untuk menginginkanya menjadi nasi. Tidak banyak tercatat dari mana asal mula bubur itu ada, mengingat luas kehadirannya sebagai makanan yang banyak dikenal di Nusantara: Indonesia, dan negara tetangga: Malaysia, Singapura, Thailand –Pattani, Cina Selatan, dan Sebagian daerah Tiongkok.
Ahli Tarikh Tiongkok, sebagian dari mereka: seperti Yu, malahan mencatat sebuah cerita awal ditemukannya bubur, melalui cerita rakyat yang berkembang di Tiongkok. Bagi sebagian dari bangsa Tiongkok, membuat bubur dari beras untuk mengingatkan mereka tentang pentingnya mengetahui cara bekerja dan mandiri (?). Membuat beras menjadi bubur adalah sebuah pekerjaan yang tidak susah alias gampang, dan special bagi pemalas. Karena ia hanya cukup mengisi kuali atau panci dengan beras dan air dengan kadar yang melimpah. Omong kosong, anak manja:tidak mandiri, siapapun pasti bisa memasaknya.
Macam macam bubur pun berupa, kita mengenal bubur Ayam (Bubur disajikan dengan campuran kuah kuning, seperti soto dan Siwiran ayam), bubur Sumsum (menyerupai sumsum, dari beras biasa, dihidangkan dengan saos gula jawa manis), Bubur kacang ijo (terbuat dari kacang Ijo yang direbus dengan santan kelapa, dan gula jawa), bubur ketan hitam (ketan hitam yang direbus juga dengan santan kelapa muda dan gula) dan berbagai macam lagi sejenis bubur.
Selain bubur menjadi pengingat kita untuk pentingnya belajar dan bekerja keras, bubur bagi orang jawa malahan sangat raket. Misalnya, pada tradisi jawa, ada istilah slapanan yakni ketika umur bayi menginjak 35 hari, karena di hari itu seorang bayi mengulang wethon dia untuk pertama kali. Nah diantara ubo rampeatau syaratnya adalah membuat bubur tujuh rupa. Tujuh dalam bahasa jawa disebut Pitu, yang berartiPitulungan artinya pertolongan. Sebagai simbol pengharapan agar mendapatkan Pertolongan dari Allah.
Lagi, Bubur pada Sajian Sesajen ada Bubur panca warna: bubur beras merah, ketan hitam, bubur jagung, ketan putih, kacang hijau. Ditempatkan di empat penjuru mata angin, satu di tengah. Melambangkan elemen alam (air,api, udara, tanah, dan angkasa). Biasa untuk Bersih desa, atau Nyadranan.
Soeparman bercerita mengenai bubur seusai melahap habis semangkuk bubur ayam Pak Kasan, Tukang bubur keliling, di mbale rumah Waluyo. Yang kebetulan mereka hanya berdua cangkrukan sore itu seusai sholat ashar.
“jian, aku arep nambah nanging sungkan marang slirane sing ngebosi yo, suwun saestu suwun yo..”, kata Soeparman sambil sendawa. Tak lama berselang, ia sahut langsung rokok Tajimas kesayangannya lalu menyulutnya.
“Enak?”
“ya mesti, bubur ayam jan eram, apalagi bubur daging sapi Gratisan !”
“tapi ada yang kurang yo, dari ceritaku tadi....”, lanjut Soeparman. Kata orang tua dulu, bubur itu artineNgelebur. Tegese ngelebur duso kang wes kapungkur. Ya, melebur dosa dan kesalahan yang berlalu. Yang dulu biarlah berlalu, ngunu, sekarang membuka halaman baru, begitu. lha iya to, orang khilaf kalau masak nasi kebanyakan air lan lali niliki lhah yo sarapan bubur tenan to yo.
“lha kok enak? Kalau koruptor buat bubur, lalu dibagi bagikan, trus bersih Gicu ?”
“ GITU, Gicu Gicu Cangkemmu !....
ya ndak nu, itu kan dalam rangka “berharap” to, istilah orang itu minta kawelasan.”. Selebihnya dia harus bekerja keras,membangun kesadaran diri dan belajar mencintai kesalahan sendiri. Paham?
“ndak!”
“cocok!”
“orang tua kita mengajari kita akhlak, dari pesan moral dan etika yang dibawakan oleh Tradisi dan budaya”. Nah, kalau sampai ada yang mau merusak budaya, berarti juga merusak sekolahan etika dan moral masyarakat. Merusak itu ya tidak harus dengan membakar punden punden peninggalan leluhur di desa desa itu, namun juga mengunjunginya -punden bahkan makam tidak dalam rangka dan dengan motif yang semestinya; penghambaan dan napak tilas rohani.
“Politik.. !”
Khartoum, 21 April 2013
0 komentar:
Post a Comment