Judul :
Nota Kerinduan
Jenis Buku : Antologi
Puisi
Pengarang :
Muhammad Tajul Mafachir, Imam Syaukani Ahmad, Lili Soedirman
ISBN :
978-602-18218-7-9
Tahun terbit :
Cetakan Pertama, 2012
Tebal :
i, ii, iii + 150 Halaman
Penerbit :
Penerbit Gigih Pustaka Mandiri
Memahami sesuatu yang jangkauannya
hanya sebatas hati memang cenderung sulit dilakukan. Apalagi rindu. Tak jarang
ia membeku di sudut terkecil hati dan tak terungkapkan. Terkadang lebih mudah
mentransformasikannya ke dalam kata-kata dan berharap-harap cemas sosok yang
kita rindukan akan membaca tulisan itu dibandingkan mengatakan secara langsung
kepadanya bahwa: “Aku merindukanmu,”. Seperti sebuah puisi dalam buku kumpulan
puisi Nota Kerinduan ini. Kerinduan yang mendalam kepada seseorang yang hanya
dituangkan dalam sebuah nota seperti ini oleh Muhammad Tajul Mafachir:
Aku merindukanmu atas
nama jarak yang memisahkan
Aku merindukanmu atas
nama ambisi yang menunjam
Aku merindukanmu atas
nama sarana yang kubuang
Aku merindukanmu atas
nama kesetiaan yang kautenggelamkan
Aku merindukanmu atas
nama kayu, melapuk
Aku merindukanmu
bersama badai menderai
Aku merindukanmu
bersama hujan-hujanan
yang menganak sungai
di pipi
bersama berai dan
derai
Aku terus merindukanmu
dalam sebutan akhir
namaku
Kumpulan
puisi ini berisi beberapa kata-kata tentang rasa yang muncul dari hubungan
antar manusia. Bagaimana ia mencintai, merindu, terkungkung dalam candu,
tersakiti dan pada akhirnya ia hanya bisa memberi salam perpisahan. Meski
begitu, salam perpisahan dalam kisah epik manusia tidak jarang hanya dari
tatapan mata, seperti dalam penggalan salah satu puisi berjudul Salam
Perpisahan karya Lili Soedirman ini:
Sungai berkelok
menemukan muara
Menggamit pisah
menggandeng duka
Mencumbu bahagia
terakhir kalinya
Lalu mengucap pisah dalam
bahasa mata
Tidak
hanya itu, sebagaimana manusia hidup di dunia yang tidak pernah lepas dari sisi
spiritual. Rindu seorang manusia tidak terbatas hanya pada sosok manusia lain.
Manusia juga merindukan entitas yang disebut Tuhan. Seperti dalam puisi berjudul
Allah yang dibuat oleh Imam Syaukani Ahmad di bawah ini:
Aku dan napasku
Di sembilu ribu
risauku
Aku dan raga ku
Di gelap penjuru
resahku
Aku dan jiwaku
Berjalan di setapak
mataku
Aku dan napasku
Merindukan-Mu
Aku dan ragaku
Mengalamkan-Mu
Di sisi lain, penulis ingin
menyampaikan perasaan prihatinnya melihat kemiskinan yang merajalela di
negerinya. Seperti dalam baris kalimat “Bangsaku sedang sakit jiwa tingkat dewa, Sebab
kewarasan mahal harganya sebab apa saja sudah tak berkroni jua” dalam puisi berjudul Kemiskinan karya M Tajul
Mafachir. Penulis mengkritisi salah satu faktor penyebab kemiskinan yang masih
mendarah daging di negerinya. Yakni tidak adanya dukungan dari semua pihak
untuk memberantas kemiskinan, atau lebih bisa dibilang alam tidak mendukung.
Penulis juga menambahkan gambaran analogi antara semesta dan kemiskinan.
Seperti dalam penggalan puisi berikut:
Kemiskinan dan bangsa
adalah kematian dan
kehidupan
yang berkejaran di
tengah pelataran gersang
bertanah abang, kering
air, dan basah pedang
bangsa dan kemiskinan
sebagaimana ketika
burung altar
mati kelaparan, sebab
malu mengapar
dan, sebagaimana aku bercerita
aku bingung menentukan
akhir kata
sehingga gusaran kata
ini kusisihkan
aku masih terjebak
kemiskinan
: sederhana sajalah.
Selain
puisi di atas, ada beberapa puisi yang lain. Tentang mimpi, harapan, bahkan hak
asasi manusia.
Yang semua pada dasarnya berujung pada satu pangkal, dimana kesemuanya itu merasa jauh sejauh seorang penulis menawarkan beberapa pilihan dan jatuhan, itu mungkin yang bisa kita sebut Personnal Order. Meski sedikit Anarkis, namun para penulis mampu menemukan egaliter total dari sebuah Anarkismenya. Melambungkan makna dengan kata kata yang sederhana.
Oleh
Fifi Alfiana Rosyidah
Penulis Novel "I Love You, But Good Bye"
1 komentar:
follow back sukses dari http://ilmukudankamu.blogspot.com/
terima kasih telah mengunjungi blog saya
Post a Comment