Aku yang termalang,
Diantara sekian muka di perasingan.
Menjadi orangOrang pinggiran.
Yang terpinggirkan oleh keadaan.
Semakin hari, semakin ku tak mengenal
Siapa lawan, dan kawan.
Disana,
Masih adakah rumah tua ibuku
Dengan genting merah tua, yang penuh balutan lumut.
Sebab ketika awal mula ia ada,
Diriku sedang tertutup mata, oleh k’rana kalian memenggal
Leher ibuku, tepat dicupang kenangan suami tersayang.
Lalu dan bagaimana kau menyaksikan keadaan itu,
Kau berlagak murung rupa, dan terus saja berjubel dengan dasi kesayanganmu.
Sembari seketika aku memandangmu, tanpa kata,
Kau membalasnya dengan ribuan kata tanpa tindakan.
Sungguh sudah kau dibuat gila dan miskin hati,
Kulihat ada bagian dari otakmu yang perlu ku rehab,
Biar kulihat, dan kubersihkan sedikit agar kau tidaklah sebejat,
TemanTeman mu sesame pejabat.
Supaya dan berharap, kau lebih peka
Dan selalu membuka kedua matamu pada dunia
Hingga saat kau membuka, lihatlah dan berilah kepahaman,
Serta pemahaman yang tertoreh tindakan.
Seperti sedia nya teman sesamamu,
yang hanya membeli untuk menjabat.
Damn,
Hanya seringkali, kau lihat ia mendengkur saat rapat.
Dan terbangun saat ia dengar panggilan merapat.
Mengumpat
Umpat,
Bermain kotak umpat.
Bangsat !!!
“begitu kok katanya menyampaikan aspirasi rakyat”
Kupahami dari raut pasinya,
Perlahan ia mencoba menyadari, ntah kenapa pandangan matanya
Begitu saja, ada yang berbeda.
Kulihat dia yang mengapung, dalam lamun
Selaksa ia sedang terbangun, namun
Lama kunanti berharap tak ada benalu.
Dan
Sedikitpun ku tak menahu apa maksudmu,
Kau terbangun, sambil berlalu
Sebelum kau tutup katup mulutmu, setelah kau buka dan berkata
“Terimakasih”
0 komentar:
Post a Comment