Hujan, gerimis miris mengiris
Pelataran burungburung altar biasa berkejaran
Menggeram eram padam sakit memendam
Pada tokoh sepuh kokoh berteguh,
Prinsip mengarsip kerlip, sebagai adib
Rentan berburuh untuk runtuh, dalam petuah
Dirimu, adalah saung dalam tirani jiwaku
Sajaksajak muram, kembali mengeram
Deras menderadera, jibaku titian jiwa yang suram
Separuh jiwaku, kembali mengaduh
tertitih tatih, kering keronta nan papa
Serpihan cahya, hilang sebagai pilihan
Terngiang lantang, petuah resah tentang bangsa
Beri pilihan, SuntikanSuntikan kebangsaan
K’rna aku merasa ada, yang berbeda dengan sosok sepertinya.
k’rna aku merasa ada, menjadi manusia pelataran petuahnya.
k’rna aku merasa ada, berlajar darinya untuk tidak mengadaada, sederhana.
k’rna aku… bagiku, pengasuh ruh
Aku berduka, seseruan berbunga
Setapak jalanan, Rengkuhku yang mengaduh
Sebab penjemputmu, adalah keabadian
Sebab penidurmu, adalah perindumu
Diriku benarBenar berduka, tertinggal pelipur lara
Sedikit banyak menyibak, kebak petuah jiwa
Menelisik, relungrelung sanubari kasby
MembuaiBuai dalam irama rohani
Kasat papa naluri menjajaki
Air jernih itu, tak sampai sesaat kudapati
Mencuar penuh kata hati
Sesaat mengamini, dengan ketulusan hati
Kau ajarkan aku, menarikan tarian hati
Berlenggak lenggok bersih sogok
Seutas pelajaranmu, kukenang masih mendayu
Dalam ronggaRongga romansa kenangan disekitarmu
Hingga kutemui aku, dalam sipuan malu
Oleh petuah dan perintahmu yang tersangkut
Sebab diriku, tersibuk pesta gemerlap duniaku
Membuatku terlena
dan sekarang mengaduh, gemuruh hati mengaduh
Saat kudengar berita tentang kepergianmu
Membredel duel kelugasan gagasan,
Yang kelak gersang tanpa siraman.
‘ Lihatlah aku, dan luka dukaku
yang menderai, oleh kepergianmu, pengampu ruhku’
Khartoum, Sudan
00. 47
1 dari Maret tahun ini
0 komentar:
Post a Comment