SELAMAT DATANG

Batu Perjalanan

Posted on
  • Feb 13, 2012
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:
  • ‘ Jika memang cinta ada, kenapa aku harus susah payah mengejarnya?’. Endus Warto. Sembari ia terus melanjutkan perjalanan tanpa tujuan.

    Warto, pria terpojokkan oleh bangunan tanpa rupa. Ia bangun sendiri kemegahan keterpojokannya. Ditengah ramai himpitan massa. Dimana ia, harus berjudi dan menemukan arti sebelum ia kembali berlari. Mencari ilmu pasti. Bukan terus terjibak dalam permainan naluri yang tak menahu pasti. Ia sendiri sadar, bahwa perjuangan adalah kehidupan. Sebab hidup bisa saja (boleh) menjelma dengan rupa dan topeng apa saja. 


    Dalam suasana pertikaian. Hanya karena sekantong nurani yang merasa ternodai oleh dalih-dalih basi. Terserak oleh keadaan. Sederet tuntutan dan aturan kian dirasa menjenuhkan. Jika terus saja beriramakan dan alasan ketentraman. Menjadikan pusaran – pusaran baru tak yang beraturan. Hingga menciptakan cabang dengan akar yang sama 'Bosan'. Seperti membayangkan tuhan yang tak mungkin terbayang. Menjatuhkan apa hukum menuhankan diri. Menyodorkan leher yang terpasung. Atau menjumlahkan bilangan tak terhingga. Merumuskan teori lama. Seperti menghardik karena dalih mendidik. Seperti bergulat ulat. Tanpa ada kemenangan. Bersilat lidah tetang masalah yang mudah. Pendek kata, hanya untuk menggapai ketentraman jiwa, halal lah semua.

    Sepanjang perjalanan. Warto terus saja berfikir. ‘bagaimana aku harus mengejar?’. Jika ternyata, apa yang ia kejar hanya bertoreh pada cerita belaka. Kenyataan selalu berbalik fakta. Berita - berita hanya 'pasti' berisi cemoohan anjing - anjing media. Media hanya wadah menggerus noktah. Media hanya wacana tanpa acuan. Memang bedebah. Media hanya seonggok berita dengan cerita yang mengada – ada. Terus saja bicara dan menjadi pendengar setianya. Jika bukan hanya matamu yang buta.

    Terbuai, nama lain kata lali. Membuai, adalah sebuah tragedy ironi. ‘aku terbuai oleh keteguhanmu’. Bermakna beda jika kuartikan dengan kondisiku yang terjaga. Dengan mengambil tindakan pendek, aku memotong – potong setiap bagian. Menjadikannya buih – buih tak yang beraturan. Menengadahkan tangan, dan hanya memohon ampunan kasih sayang kenyataan. Karena terbuai. Sebab terbuai, gagasan bukan berarti lagi tindakan. Lagi lagi tindakan mati digiling omongan. Ia kembali membujang. Menceritakan bentuk pembelaan dengan kata dan argument panjang.

    Kesalahan, boleh dianggap kewajaran. Dan terkadang terekam setelah kejadian. Bahkan, sebelum diberlakukannya paradigm slogan penyesalan. ‘kesalahan adalah ketidakwarasan’. Jika terekam dalam durasi yang terulang – ulang. Sebuah petuah, bisa benar dengan mengatakan bahwa. Tindak Penyesalan berarti nenek ketidakwarasan. Memang, benar dan tanpa disayangkan. Itu adalah sebuah pilihan setelah penyesalah. Namun, arus dan permainan pola menyerang vertical. Tak selamanya berpola demikian. Terkadang aku di bawah dan ku rasakan kenikamatan. Meski kenikmatan itu, terkadang dengan dirimu yang terus mencekik ku. Hingga hari ini, aku tak lagi bisa merasakan kenikmatan. Mengartikan kata nikmat. Menjamah tirani nikmat. Menggubris nikmat. Sebab terkadang bagiku, kenikmatan dan rasa sakit adalah spasi antara jari manis dan tengah. Kenikmatan pun, tak pernah tercipta. Tanpa rasa sakit yang pernah ada. Antara sakit dan nikmat. Ejaan lama yang perlu diperhalus, agar selalu tampak mulus dan tulus. ‘kenikmatan itu, ciptaan kesakitan yang klimaks’.

    ‘Jadi, kenapa aku harus mengejar cinta?’. Kata Warto membantu memberi ku sebuah kesimpulan liarnya. Ditengah ketegangan nurani yang menjadi - jadi. Kelam, oleh karamnya kapal kehidupan yang bergeliyut sebab gertak ombak yang menujam. Gelap, oleh gemerlap lampu kehidupan yang melenakan. Oleh segenggam harapan spasi kosong tanpa keharibaan. Menoleh ia pada segumpal jari yang sedari tadi menggumpal. Dan lambat laun memudar. Terdorong untuk sadar.

    ‘Ternyata, obat nya ada pada diri kita masing – masing’. Mengatasi masalah, adalah menuntun masalah pada pengobatan. Tradisional atau modern yang kau gunakan. Begitu kata Warto untuk kesimpulan ambigunya. Sebelum ia berkata:

    ‘Jika selama ini cinta yang kukejar dengan semangat dan perjuangan ini. Ternyata memudar di tengah jalan. Itu hanya sebuah ironi. Menganggap kesalahan dan penyesalan adalah ketidakwarasan. Maka Teruslah menempuh dan mencari moksa’. Begitu kata Warto di akhir cerita.


                                         
    Gubuk Derita, Khartoum 12 Februari 2012
    (Malam hari raya Valentine)


    To be continue …

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg