SELAMAT DATANG

Senyum Simpul Si Minah

Posted on
  • Dec 15, 2011
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label: , ,
  • I can see you, if you're not with me. I see to my self is u're okay. I think about you tonight.

    First, I thanks so much too night. Berkat balsem dinginnya. Aku bisa berkarya kembali, meski sebuah realita. Ya, karya atas realita. It’s right bro. 

    Kembali mengingat, mengenang, membicarakan dan membayangkan serta beberapa terkaan yang terjadi saat dan kala itu. Menghitung berapa jumlah detak jantung yang berdentum dalam nadi, kala memberi dan membagi secara Cuma sebuah dan ber juta dosa.

    Warto sedang sibuk berfikir, sambil mengenyitkan kening yang tak mulus itu. Ia terus menghisap dalam rokok kesukaannya. Ia berada pada kedinginan sebuah malam. Petang. Dan berfikir sesuatu. Tepatnya, dia merenung. Tentang apa saja, relasi bisnis, keimanan, keilmuan nya sebagai seorang pelajar, sampai tiba ia teringat kisah klasik indah pada sebuah perjalanan cintanya.

    Sesampai pada perjalanan terakhir itu. Dia menangis, terbayang olehnya betapa duri mawar itu tajam di banding kulit. Betapa dengan mudah api membakar kertas. Ataupun tisu tipis yang mudah saja robek. Warto, menangis di balut kemalangan malamnya.


    Akankah yang berlalu tetap berlalu? Meninggalkan jauh masa mudanya. Apakah yang tua mungkin muda lagi? Arh, warto gila di buatnya, ‘when u’r gonne, Minah?’.

    Minah, gadis yang sempat Warto temui dalam sebuah perjalanan pertapaan seorang lelakon. Ia paham betul, secara detail awal perjumpaan mereka, Warto dan Minah. Gadis cantik, berlesung pipih, berambut lurus, berkulit Chinese, berhidung mungil, suka bergaul (masa iya?), mengesankan dan selalu mengalah. Bagaimana Warto melupakan wanita yang mengajarinya tentang hidup. Tentang keberanian mengambil keputusan, bertangan dingin. Bagaimana Warto mungkin lupa, dengan wanita pertama yang ia kencaninya.

    ‘malam itu, kala aku dan kamu yang tak perpapasan tangan, aku menyebutnya Kasmaran’, desis Warto dalam hisapan terakhir rokoknya. ‘aku betul betul mengingatmu malam ini’. Kembali Warto berkata, bak orang gila yang biasa mangkir di sudut blok 50. Persis. Dia mengatakan sesuatu, sembari melayangkan arah matanya jauh ke arah langit. Mendobrak pintu langit, menggugah para malaikat yang terlelap, merebut serta mengintip catatan masa lalunya di atas meja pribadi tuhan.

    Ia melayangkan semua bayangan bersama Minah. Ia putar semua cerita kebersamaannya. Memory semua terurai. Dia tersenyum sebentar, menangis sebentar kemudian terdiam dan terdiam. ‘aku gila?’, bisik Warto pada secangkir kopi yang tinggal separuh.

    ‘aku harap si Minah masih menyukai kopi’. Ia tersenyum. Tampak ada bayangan dalam benaknya yang mengurai. Ia merasakan kesan perdebatan itu. Antara kopi pahit dan manis. Juga teh manis dan pahit. Mereka bertengkar layaknya mereka yang sedang merajut dan dilanda cinta. Mempermasalahkan hal murah dan tak berharga. Sebab cinta, semua menjadi begitu saja bagai mengalir. itulah kehidupan, dan cinta dalam kehidupan. Dalam kasmaran, ia terus menyebut kata itu. Sesekali ia mengendus ingin kembali ke kampong halaman, meninggalkan jauh dunia antah berantahnya. Kembali menemukan masa lalunya. 
    Warto, sadar. Ia berada pada sebuah takhayul tingkat dewa. Pada khayalan tingkan tuhan. ia hanya bisa mengenduz dalam. Duz, ‘aku bertaubat kepadamu, tuhan. aku sebagai hamba dan anda pencipta’. Ia bermunajat pada malam separuh pagi nya. ‘izinkan aku berbisik, tema munajat kaum binatang seperti ku’. Warto merasa pernah bersalah, dengan menyakiti si minah.

    ‘aku tak yakin, minah mau melihatku saat aku kembali ke kampong halamanku’. Dengan dalih seperti itu, ia menyiutkan keinginannya untuk bertengger ke kampungnya.

    Ia jauh terhanyut pada cerita dan bualan malamnya. Ingin sekali itu dia sadar dan membuka mata dengan realita. Syahdan, ia terus merasa bahwa masa lalunya masih begitu indah, untuk di kenang. Ia pun kembali menghanyutkan dirinya pada lembah hayalan masa lalu bersama Minah.

    ‘Minah, jika kau mendengar. Kopi inilah saksi buta kemesraan kita’. kala itu, Warto dan Minah duduk bersama, melibas malam dengan perjalanan malam. Bergentayangan. Bersama sama mereka membutakan makna dalam kata. Membisukan sejenak kemungkinan terburuk. Memupuk keberanian, berkendara dan menelusuri relung relung mimpi. Memasungkan senja dalam keremangan. Lucu, indah dan terkenang.

    Warto begitu hafal semua peristiwa itu. Sungguh sangat hafal. Dalam hitungan detik keberapa daun itu jatuh kala itu, Warto mengingatnya.

    Semuanya masih sangat terasa bagi warto, terasa baru saja terjadi kemaren petang. Dan sekarang malam. Begitu pekat Warto merasakan semua itu.

    Ini malam yang panjang bagi si Warto untuk mengupas habis masa silamnya. Termasuk sebuah kesalahan besarnya. Memutuskan hal yang tak pernah putus, menentukan sesuatu yang tak tentu. Membiaskan sesuatu yang jelas. Menjelaskan sesuatu yang jelas. Merusak sesuatu yang rusak. Warto, tak ingin banyak orang tahu mengenai masa lalunya. Ia terdiam dan tak bercerita. Hanya sedikit membuaka cerita, berjuta kesan ia ceritakan pada makna. Bukan kata. Ia, pada malam itu, tak ingin menyematkan kata pada makna. ‘makna terlalu kaya untuk kata’, ujarnya ketika ‘itu’, saat menguatkan si Minah, suatu ketika.

    Ia bosan dalam kenangan. Ia ber keinginan melayangkan kepada Minah sebuah tulisan. Ia menulis, dengan kosa kata yang ia punya. Ia merajutkan dan mempertalikan makna pada kata. Mengasah dan kembali menguliti semua kemampuan ulungnya. Skeptic, ulung dan mengikis. Ia mulai menulis dengan sebuah kata dasar. Ia menelungkupkan kedua kaki, menjamah mesra knok keybord nya. Merayapkan jemarinya dengan lembut. Sesekali ia meluruskan badan dan memandang kearah langit. Berharap ada kamu, Minah.

    Ia bergegas cepat menyelesaikan tulisannya. Sebab esok hari ia harus bersua.
    Tak berselang lama. Ia menuntaskan tulisan kotornya. Tanpa perlu membaca nya kembali. Ia menyimpannya dalam file soft nya. Berharap besar pada kata kata yang ia sematkan untuk makna. Berharap tak sedangkal pemahaman kata akan makna.

    ‘aku ingin tidur, dan melihatmu. Berharap’. Gumam Warto sambil menendang selimutnya.

    14 des 2011
     
    Warto terbangun, berhiaskan sebuah senyuman yang membias. Ada apa dengan warto?
    Dia memulai harinya dengan senyuman, Nampak jelas pada kedua pipi lesungnya. Sebuah senyuman simple syarat makna. 

    Tuhan menjawab lamunanku tadi malam
    aku menemuimu, meski dalam mimpi
    aku ingin memulai hariku dengan senyuman,
    Sesederhana kau menyimpulkan sebuah senyuman,
    Dalam sapaan.
    Meski hanya dalam mimpi.

    Ia berkata dalam benaknya. Dan membuka percakapan cerita mimpinya pada Minah. Memulai hari, dengan sapaan.


    Khartoum, 15 des 2011
    Thanks to Avril Lavigne, Bondan dkk sebagai pelengkap malam.
    Teruntuk Minah, hatur nuhun.

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg