Ku tulis sebuah sajak
Bagi para pembaca masa depan.
Sebuah kebersamaan yang terkapar.
Terdiam diri, membisu lisan.
Tapi, aku yakin kita sedang menari hati,
Menanyakan sebuah pertanyaan bernyali,
Dimanakah kini?
Pada sebuah gubuk tanpa nama
Berteduh di bawah atap tanpa penyangga
Kami bersama mengobral kepulan asap beracun,
Menghirup dan melepaskan berbatang rokok.
Ratusan putung ber tema berantakan,
Memperhias keadaan
Piring piring kotor yang ditinggal penggunanya,
Setelah memakainya,
mempercantik suasana.
Kresek basah, kering
Sandal yang berjejer berantakan
Kompor yang menyala, entah siapa penyulutnya
Kopi seduhan kemaren petang masih terasa nikmat di lidah
Kami menyanyi dengan hati
Menarikan tarian jiwa
Sebagai otoritas kaum pinggiran,
Bersama kotor, yang kami diamkan.
Ku amati, persatu mereka yang
Berlagak santai,
Lama, namun tak kutemukan makna.
Ada isyarat, namun aku tak bernyali untuk menafsirkan.
Adakah tanda tanpa makna?
Ada, si pengamat lupa qaidah bakunya.
Aku tak tahu.
Bercak darah pertikaian masih tercecer,
Merah tua, menempel pada paci, pisau di dapur.
Pertikaian kecil, masalah sepotong roti
Mereka usung sampai halaqoh duniawi.
Aku tak tahu.
Aku mendengarkan, membaca
Ingin sekali membacakan sendiri nyanyianku,
Mereka mendengarkan, sayang menolaknya.
Atau belum ada waktu yang tepat.
Tak ada isyarat mengiyakan, aku terbujur kaku dengan kesendirian
Di tengah gemerlap keramaian pertikaian,
Membutakan semua norma,
Pun etika.
Aku kembali menunggu kemungkinan
Isyarat meng ‘iya’ kan dan membuka sedikit waktu
Mendengarkan sedikit ocehanku,
Yang bergemuruh dalam jiwa
Ku tunggu dalam masa
Bukan lagi hitungan hari, bulan atau tahun,
Masa yang bermasa.
Mereka tetap terdiam, berlagak santai sambil menutup telinga,
Dengan mulut yang berkecapi,
Entah, sumpah serapah apa yang ia baca,
Atau kepada siapa ia bergerutu saling mencaci.
Hingga, seseorang menendang tengkuk ku,
Menyerimpung kakiku, ketika aku ingin berlari dari keramaian.
Dia bertanya dengan prasangka endus nya.
Aku pun diam, menjawab dengan prasangka,
Ku harap dia lebih dewasa menerimaku, dan keadaan.
Aku kembali terpasung pada ketidak pedulian
Acuhan acuhan.
Hingga aku tahu,
Sinar gitarku putus.
Suaraku hampar, sebab diam menerus.
Suaraku sumbar, hambar tanpa nada.
Tengkorakku membeku
Aku mau menulis,
Tintaku habis,
Pada sebuah kertas, yang tak secuil kolom bersih
Dari jamahan tinta kesendirian, termakan oleh tinta.
Bagaimana aku bisa menyanyi?
Sedang mereka terus mendesakku,
Berharap pada sebuah nyanyian pelebur kejumudan,
Pencair kebekuan.
‘bersuaralah!!!’
Hingga, ku temukan segendel tumpukan
Kertas kertas lamaku di perapian.
Suara ku hanya pas membacanya, setengah lampir.
Ocehan jiwaku, aku tak perduli padamu.
Aku bacakan saja sajaksajaku,
Yang kutulis sebagai nyanyian kemaren hari
Aku berharap ini tetap nyanyian,
Ku tangkap, ada siluet kemekaran yang berkembang pada raut,
Masing masing mendengarkan.
Bukan berarti apa apa bagiku, mereka yang lebih menahu.
Singkat, dengan sajak ini,
Aku membacakan kepadamu kawan!
Khartoum, Pagi 8 Dess 2011
0 komentar:
Post a Comment