SELAMAT DATANG

Negara Negri Dongeng "Only On Stage"

Posted on
  • Oct 11, 2011
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:



  • Jam pelayar melepas kejenuhan setelah berhari hari mengarungi laut dan bertengger sejenak melepas penat disini, Marseilles le port tepatnya. Seperti biasa, Parman, pria yang sudah tak tampak muda lagi ini selalu tampak perkasa disini, lagi lagi menghabiskan waktu malamnya dengan beberapa botol minuman keras( liqueur), kali ini vodka yang menjadi temannya, sesekali ia menyulut cerutu kesayangannya. Selain vodka yang menjadi penghangat malam malamnya, ia pun tak lupa menggandeng wanita muda, tampaknya ia wanita nakal. Ia selalu memilih jeans sebagai teman kencan, termasuk malam ini. Wanita cantik, putih, mulus, bohai, sexy, berbadan tinggi semampai dan ber lipstick tebal lengkap dengan u can see ini, masuk dalam rating wanita wanita sewaan yang tergolong mahal. Karena jeans termasuk beberapa list wanita import dari negeri tetangga. Yang pasti, tak semua pengunjung bisa berkesempatan duduk bersama menghabiskan malam bersamanya, merogoh kocek lumayan dalam, dengan tarif per jam, apalagi untuk malam ini. Malam special buat para pekerja, menyambut libur esok hari.
    Tak seperti malam hari libur yang lalu, Parman tampak muram. Berkali kali ia menyulut cerutu dan mematikannya sebelum cerutu habis, ada goretan kegelisahan di keningnya. Ada tanda tanda ketidak nyamanan dalam gelagatnya, yang akhirnya terbaca oleh jeans.


    “ ada masalah dengan keluarga bos?”, jeans angkat bicara, memancing, berharap sebagai penghancur kejenuhan tamunya. Mencairkan kata ‘semedi’ selama 35 menit berlalu.


    Bukan nasib jeans kali ini untuk berhasil membujuk tamunya angkat bicara. Parman tetap saja berdiam diri, mengarahkan matanya tepat ke arah etalase mini, perapian minuman penghangat. Entah apa yang menjadi bahan pikiranya, tampak aneh malam ini bagi jeans. Tak seperti biasanya, parman yang selalu terlihat enjoy dan ber dance ria dengan jeans.


    Bukan uang tips yang jeans sayangkan, profesionalisme yang jeans pertaruhkan, sebagai wanita penghibur, yang gagal menghibur tamunya.


    “dance boss?”, peluk jeans dengan kedua tangannya yang melingkar nakal di leher Parman, sambil mengedipkan satu mata, tanda ajakan nakal.


    “lagi tak ada mood”, bicara parman lirih ke telinga jeans, seraya mencium pipi cekung wanita sewaannya. Masih seperti biasa, parman masih ingat betul dengan parfum jeans.


    “ada problem dengan anak kamu bos, Satrio? Apa dia minta di belikan bugati yang terbaru?”, jeans memancing tamunya dalam satu obrolan. bagi Parman, ia merasa sudah menjadi ayah yang sukses, dengan menuruti semua apa yang menjadi permintaan anak laki laki semata wayangnya, Satrio. Yang sekarang ia menginjak I’ecole secondaire (strata SMA di Indonesia).


    Nah,


    “aku rindu negeri ku”, kata Parman dengan muka berbinar. Seakan air mengalir tenang dalam aura wajahnya. Jeans, yang menjadi langganan wanita penghiburnya, hampir mengetahui tentang Parman, kepribadian, Karir, bisnis hingga berita terkini tentang keluarga Parman, yang baru baru ini Parman sempat bercerita bahwa ia resmi cerai dengan istrinya Caroline akhir November ini. Namun, ada yang tak sempat Parman ceritakan kepada jeans akan asal usul Parman yang sebenarnya, di prancis ini, hampir semua kolega, tetangga, anak bahkan istrinya pun tak tahu darimana Parman berasal.


    “yach, aku rindu negeriku”, tersenyumlah parman dan memicingkan matanya ke arah jeans. Yang jeans lakukan hanya membalas picingan mata parman, tanda tak mengerti maksud ucapan pria tua, berbadan kekar dan tampak wibawa itu. Pria yang lebih suka ber pakaian ala coboy itu, selalu menjadi sorotan wanita wanita penghibur sebagai bahan rebutan, selain berkantong tebal, meski sudah tak berusia muda, tapi para wanita serveur (pelayan) tetap menganggap dengan yakin Parman perkasa saat di ranjang, itu yang di buru wanita di negeri lembab ini.


    Jeans tersenyum tipis, mengambil korek dan menyulutkan cerutu yang sedang mangkir di mulut parman. 


    “its okay, kenapa tidak kau datangi saja negerimu?”, kata jeans datar.


    Mendengar kata jeans, merah murka muka Parman. Menghisap dalam cerutu barunya dan mengpulkan tepat di muka jeans. Sontak membuat jeans bingung bercampur rasa bersalah, jika salah, apa salah jeans yang hanya bertanya, dan membuka percakapan ringan baginya?


    Jeans masih bingung dengan bahasa tubuh Parman, ada ekspresi kebencian, marah dan dendam. 


    “what’s wrong boss?”, jeans memberanikan diri bertanya, dengan muka masam tanda bersalah.


    “tak ada yang salah, mungkin aku yang salah, dengan melupakan tempat asalku jeans. Kamu tahu darimana aku berasal?”, tukas Parman menenangkan jeans.


    “No, aku banyak tahu tentang dirimu, tapi tidak untuk yang itu”, jawab jeans lirih, rasa penasaran pun sebenarnya ada di benak wanita sexy itu.


    “apa kau percaya, jika aku terlahir rahim seorang wanita ber batik dan berselendang? Dari pulau jawa, diantara kepulauan yang dimiliki Indonesia? Pernah dengar Indonesia?”, Parman menjawab dengan datar. Sontak jeans yang sedikit tenang, tercengang dengan pertanyaan Parman yang membuatnya sedikit kembali bertanya. 


    “yeach, aku tahu bali, bali di Indonesia, kan boss?”, jawab jeans sambil menyeruput lemon juice nya usaha menenggelamkan rasa penasaran berlebihnya.


    “bali is soo perfect boss, exotis island. Bukankah Jakarta berada di jawa boss?”, lanjut jeans.


    “besok lusa aku akan pulang kampong ke tanah kelahiranku, jeans”, kata Parman menutup percakapan tanpa arah antar keduanya. Dia merogoh sakunya dan mengambil handphone miliknya, memilah dan menelpon seseorang. Jeans sudah mengira, bahwa ia sedang menghubungi agen perjalanan untuk keberangkatannya ke Negara yang ia sebut Indonesia. dalam durasi pendek setelah percakapan Parman. Suasana antara Parman dan Jeans pun kembali beku, di tengah gemerlap keramaian music yang menyeruak, mendorong siapa saja yang mendengar untuk berjoget ria.


    ‘Liberté, Égalité, Fraternité,semboyan negeri dimana Parman sekarang berada. Jauh sebelumnya, 35 tahun silam, Parman yang dikenal sukses menjadi direktur bagian teknisi di pengeboran minyak perancis, bertemat tinggal di residence sederet dengan homestay para bigboss dan pejabat tinggi, memiliki kedudukan yang diperhitungkan dan perlente, siapa sangka dia (35 tahun silam) hanyalah kurir seorang kepala desa, si sebuah desa terpencil di jawatimur. Sayangnya, nasib di kampungnya dulu tak seindah dan semujur nasib sebelum ia nekat merantau di negeri Eifel. Dia harus membayar mahal dengan nama baiknya di kampong, akibat kesalahan yang tak pernah ia merasa melakukanya. Ia di tuduh menggelapkan dana panitia pembangunan mushola kampungnya, ia di tuduh mengutil. Sesampai pada kesimpulan yang sepele, bang Johar yang saat itu menjabat sebagai kepala desa, tak akan pernah rela jika memiliki bawahan yang bermain bersih, tanpa intrik, spekulasi dan permainan anjing. Dalam hati, dia rindu dengan kampong halamannya, area persawahan, peternakan miliknya dulu, juga pada seorang wanita yang pernah singgah dalam hatinya, marni.


    “seberapa besar sekarang anak marni ya?”, batin Parman. Ia sedang ber nostalgia ria dengan kenangan lamanya, ber media masa lalu sederhana dan seadanya diatas sofa di residence miliknya. Meneguk segelas air putih, dengan muka masam bercampur senyum.


    “apa kabar kampungku?”, kata Parman lirih. Tanpa terasa, segelas airpun lunas tertelan. Ia menengok ke kamar Satrio, mendapati anaknya sedang berlayar di alam mimpi. Diapun langsung membaringkan tubuhnya di perbaringan kamarnya. Parman, seorang single parent, namun akan mulai resmi bercerai dengan istrinya caroline setelah akhir November ini. Sebenarnya, Parman menyayangkan perceraian ini, ia masih sangat mencintai istri nya, Caroline. 


    Malam ini, Parman belum mampu menutup kelopak matanya. Ada yang terdorong baginya untuk membuka netbook miliknya. Ia penasaran, apa Indonesia yang sekarang masih sama halnya dengan cerita Indonesia 35 silam?. Sadar sosok Parman, adalah Sarjana S1 jurusan Social politik di kampus swasta. Bukan cerita baru, jika sarjana lulus kelak menjadi kurir di cerita nusantara. Tentunya, ia masih sangat suka ilmu lamanya sebagai sarjana politik dan social.


    Miris wajah Parman, membaca cerita negerinya yang penuh perampok. “masih saja negeriku penuh dengan anjing”, dengus Parman, merujuk cerita muda Parman sebagai aktifis mahasiswa, sosok Parman sebagai partisipan pelengser piciknya orde lama.


    “Buron kasus korupsi Bantuan Likuditas Bank Indonesia, Djoko Tjandra, membangun sebuah hotel mewah di Bali. Meski menjadi buruan polisi, tapi Djoko masih bebas menjalankan bisnisnya tanpa diketahui”, ia membaca sebuah surat elektronik. Murka padam mimik mukanya. Kemudian ia tersenyum, karena setelah sekian lama tahun, masih saja dia bisa membaca tulisan berbahasa Indonesia. 


    “Djoko Tjandra, buron kasus BLBI, membangun Hotel Mulia di kawasan Pantai Geger, Peminge, Kuta Selatan, Badung. Pembangunan hotel tersebut diperkirakan menghabiskan dana Rp 1,3 triliun”. Kembali ia mengasah ingatan kemampuannya berbahasa indoneisa. Bayangan tentang Indonesia silam kembali menerkam keinginannya untuk pulang ke kampungnya. Ia masih ingat betul dimana ia meletakkan kertas bertuan nya. Tak seorangpun mengetahui dimana keberadaanya, ataupun tahu apa isinya, tentang apa atau apa. 


    Ia teranjak mencari brangkas kecil miliknya, membuka dan tak perlu berlama memilah, karena di dalam brangkas itu, hanya ada kertas tua berlilit plastic tua berwarna hitam.ia temukan kertas kramatnya. 

    ia ingat sosok Parman yang dahulu, ber hoby memimpikan negeri baru. dia terbuai dengan cerita cerita lama , tentang sebuah negri yang di bangun dan di pimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana, raja yang dikelilingi oleh para pemuda yang ber intergritas, patriotisme, cerdik, ber akhlak mulia, dan berdedikasi pengorbanan untuk negara. Disana tak pernah ada kelaparan, kedholiman, keserakahan yang membuta dan spekulasi permainan yang brutal menuruti kebutuhan perut pemimpin. Parman ingat betul, ia pernah bermimpi menemukan negri semacam itu, atau mengubah yang ada. Parman yang dulu, sosok yang rajin ke surau, menimba ilmu agama dari satu majlis ke majlis yang lain, ia pria yang terobsesi, sayang ia lugu, bukan tulus. Sesampai ia diperdengarkan dengan cerita cerita negri makmur itu, tetapi bertahun tahun silam lalu adanya.


    Ia menangis tanpa sadar, ia menemukan masa lalu yang tertutupi gemerlap hasrat binatang. Bertahun tahun lamanya ia mengurungkan niatan untuk membuka apa isi brangkas tersebut. 35 tahun sudah sekiranya dia menahan, dan sampai saat inipun dia belum berani hanya untuk sekedar membuka plastic yang melilit kertas tua. Ia masih sangat hapal dengan isinya, dimana letak air mata pertama saat ia membacakannya. Saat ia begitu mencintai Indonesia, sebagai negeri tempat tumpah darahnya, tempat ibunya menghabiskan masa keluarnya air ketuban Parman. Ia menangis, mengingat kenangan lama, mimpi mimpi lamanya yang hangus dengan sia sia. Ia pernah bermimpi menjadi anak Indonesia yang berdedikasi dengan pengorbanan dan perubahan dari kebrobrokan multilevel yang terjadi saat itu. Ia menangis, mengingat jiwa patriotism nya dulu yang menggebu. Meski diantar banyak mimpinya dulu, ada mimpi yang terkabulkan. Ia pernah bermimpi memiliki Negara semaju prancis. Dan ia sekarang di prancis, Negara yang membuat Parman kagum, Negara yang hanya butuh waktu tak lebih dari 1 tahun untuk berubah maju. Cukup 1 bulan untuk menyuarkan semboyan ‘Liberté, Égalité, Fraternité pada setiap individu penghuninya.






    française de l'aéroport international, pukul 09.00.


    Parman dengan kebulatn tekat akan flying ke indonesia, menjemput kampung halamanya. 15 menit lagi Gate di buka. Ia berdiri di depan kaca besar yang menampilkan pemandangan pesawat yang sedang lepas landas, atau beberapa orang jongos yang memasukan barang ke bagasi.ia sendirian, sengaja tak mengajak Satrio, kewajiban masuk kelas yang menuntutnya. Namun, kertas kramat itu masih erat di genggaman sosok parman, pria yang sudah tak tampak muda itu. Sesekali ia ingin membukanya, namun mengurungkan. Ia melihat dan mendekatkan kertas kramat itu ke dadanya, ada kedamaian yang datang.


    « deeepppppp »,


    Terdentum suara tembakan pistol dengan peredam suara, tapat mengenai seorang parman yang sedang bermimpi di siang hari. Ia terjatuh dan melayang. Orang orang berkrumun melihat nasib tragis Parman. Sesampai pada salah seorang yang menemukan, sepucuk kertas berlilit plastik dan membukanya. Hanya sebuah tulisan yang tak ia pahami. Ia membaca dengan kata kata terbata.

    mana ada negeri sesubur negeriku?
    sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
    tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
    perabot-perabot orang kaya didunia
    dan burung-burung indah piaraan mereka
    berasal dari hutanku
    ikan-ikan pilihan yang mereka santap
    bermula dari lautku
    emas dan perak perhiasan mereka
    digali dari tambangku
    air bersih yang mereka minum
    bersumber dari keringatku
    mana ada negeri sekaya negeriku?
    majikan-majikan bangsaku
    memiliki buruh-buruh mancanegara
    brankas-brankas ternama di mana-mana
    menyimpan harta-hartaku
    negeriku menumbuhkan konglomerat
    dan mengikis habis kaum melarat
    rata-rata pemimpin negeriku
    dan handai taulannya
    terkaya di dunia
    mana ada negeri semakmur negeriku
    penganggur-penganggur diberi perumahan
    gaji dan pensiun setiap bulan
    rakyat-rakyat kecil menyumbang
    negara tanpa imbalan
    rampok-rampok dibri rekomendasi
    dengan kop sakti instansi
    maling-maling diberi konsesi
    tikus dan kucing
    dengan asyik berkolusi

     A.    Musthofa Bisri.

    Lengkap dengan tanda tangan diatas nama A. Musthofa bisri.
    Ada tulisan yang samar jika dibaca kurang lebih berbunyi, “jangan pernah kau bohongi aku dengan puisimu, cukup negeriku yang berbohong”.
    Gemuruh suara orang berkata, “J'espère que vous trouverez votre pays”.
    (Semoga kau temukan negerimu)

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg