Dalam perjalanan kehidupan saya, hanya memungkinkan bagi saya untuk memilih antara berhenti atau melanjutkan. Bukan pesimistis, namun ada. Bukan melankoli, namun sedikit ada. Bukan arogansi, namun sedikit ada. Bukan tidak mengenal apresiasi, namun ada. Bukan yang tidak ingin makan pujian dan bunga bunga prestasi amal, karena saya seperti manusia yang lain. Prestige, manusia; seperangkat daging ber-possion.
Ilmu - ilmu alat, didalam perjalanannya, kemudian selalu menjadi alat untuk mencapai sebuah titik resonansi kepahaman pribadi pelajar. Dititik mana ia akan keluar, sebagai orang yang tercerahkan -menghilangkan kebodohan. atau di titik mana, ia bertemu kejenuhan. Sehingga, siapapun tidak harus sepaham dengan dengan definisi bahwa, manusia adalah hewan yang berbicara. Konstan, itu menjadi sebuah keniscayaan, sebuah definitif aplikatif; dititik jenuhnya sebagai hewan, ia menggunakan hak bicara.
Sebagai organisator yang baik. Menghargai elen elen penting, dalam kendaraan organisasi, menuju teraihnya visi dan misi adalah keniscayaan, kembali. Tolelir, hanya bagi mereka yang izin, tidak mengikuti rapat, misalnya, secara dan harus tertulis entah melalui surat -yang bukan lisan. Ini adalah kelaziman bagi setiap penumpang yang berada di dalamnya, sehingga terdapat usaha "kerja bersama", didalam kedekatan yang sangat dekat -satu kendaraan. Terpenting, adalah membinasakan eksklusifitas, diantara sesama penumpang. Sehingga, seharusnya siapapun, dapat menegur sapa, bertanya kabar, dan bercerita. Tidak kemudian saling berpikir, kamu, dia atau mereka itu "liyan", bukan kita.
Sehingga terjagalah keseluruhan penghormatan terhadap manusia; hewan yang berbicara. Di tiap titik perjalanan sebuah kendaraan organisasi.
Ya, tentu, organisastor, adalah sebuah kejiwaan. Bukan dinobatkan, dalam sebuah acara pembabtisan, kemudian dia memperoleh hak paten. Namun, kontinuitas, genbate, dan totalitas adalah langsung menjadi pertaruhan terpenting dari seperangkat hewan yang belum sempat berfikir (?). Cum, Cum... Karenanya, yang dibangun kyai santren, itu agaknya berlebihan. Menempatkan posisi hirarki strata sosial -seperti kasta, dalam hierarki jabatan dan kelayakan untuk didengarkan. Naif, adalah kata yang kemudian keluar dari goa, oleh seorang pengembara yang bukan pertapa. Kemudian disalib, diujung lidahnya dan semburat darah, diminum menjadi suguhan di tiap serasehan pembahasan mengenai peran penting manusia dan tuhan. Bukan manusia dan jabatan. Tetapi, ini tentang peran.
Dalam perjalanan kehidupan saya, hanya memungkinkan bagi saya untuk memilih antara berhenti atau melanjutkan. Bukan pesimistis, namun ada. Bukan melankoli, namun sedikit ada. Bukan arogansi, namun sedikit ada. Bukan tidak mengenal apresiasi, namun ada. Bukan yang tidak ingin makan pujian dan bunga bunga prestasi amal, karena saya seperti manusia yang lain. Prestige, manusia; seperangkat daging ber-possion.
Sigmun Freud, adalah orang keras kepala. Begitu kata Ansheel ia bercerita melalui yang kubaca dari "lalilta". Namun apa? nasib seorang patriak yang keras kepala itu, selalu didengar setidaknya oleh kalangannya yang belum tentu juga "golongan keras kepala", di tiap rabu mereka adakan serasehan, dan sigmun menjadi "orang benar" nya, dan itu selalu. Keluarnya Ansheel dari majlis itu, karena possion dia yang berlebihan terhadap psikoanalisa tentang mimpinya, sempat membuat saya geram. Hemat saya, adalah betapa seorang ilmuwan, sekalipun ia tak terbantahkan, ia terkadang justru dikalahkan oleh emosional, dan possion sendiri sebagai patriakh. "orang tua" yang harus dituakan. Namun tidak, rasa kecewa saya menyurut, ketika perjalanan setelahnya, ansheel justru menemukan sesuatu yang lebih banyak dibalik pintu majlis malam kamis itu. Ia mengembangkan pengalaman nirsadar itu, menjadi sebuah ke intiman daripada sebuah agama akal budi. dan dimana, akal budi? akal budi, akhirnya ia bebaskan menjadi sebuah pikiran, pendapat pendapat yang ia jalarkan, terbang bebas, sebebas bebasnya di angkasa. Dan patriak? ia selalu akan merasa lebih benar, dengan bisa jadi bahwa ia berjasa -merasa, perlu untuk melepaskanya. Seharusnya begitu.
Ketika kendaraan satu satunya yang kuinginkan aku mengenali siapa saja yang berada didalamnya, bersamaku dalam menempuh sebuah perjalanan waktu, menuju ladang visi dan misi. Tanpa sadar aku telah menjadi orang asing secara tiba tiba.
Seorang ideolog ketika berbicara mengenai sebuah karya, sama halnya dengan seorang fuqoha : yang ia akan temukan adalah, apakah karya itu selaras dengan dalil atau tidak, mengandung unsur kafir atau murni beriman.
Khartoum, 18 Februari 2013
0 komentar:
Post a Comment