SELAMAT DATANG

Manusia: Hewan yang Harus Bicara II

Posted on
  • Mar 30, 2013
  • by
  • Muhamad Tajul Mafachir
  • in
  • Label:

  • Manusia, dalam banyak hal telah tereksploitasi -prohibisi inhibisi. Dulu ketika saya masih di pesantren, saya pernah membaca buku tulisan teman saya dari ploso Kediri, berjudul "ketika tuhan dikritik"-antologi essay cerpen. Ada sebuah cerita menarik, ketika ia merekontruksi ulang kisah asal mula manusia akan diciptakan tuhannya, lengkap dengan protes para malaikat kepada tuhannya. Dengan poles lips diksi, ia merubahnya menjadi fiksi-non fiksi indah. Ketika membacanya, titik cardinal, elementer penting yang bisa saya dapatkan adalah sebuah esensi keseluruhan dari judul buku dalam satu judul cerpen itu. Malaikat protes dengan bertanya sinis kepada tuhannya, “tuhan, apakah kau akan menciptakan makhluk yang akan melakukan perusakan dan penumpah darahan?”.  Ini bukan bukan cerita rekaan, namun lebih dari yang dibawakan oleh kebenaran. Manusia tereksploitas secara esensial: Plot dalam benak tuhan, sebelum eksistensinya dipahami oleh malaikat.

    Dalam literature ketata-bahasaan manusia sendiri, “manusia” secara esensial juga menelan derita pahit oleh para ideolog bahasa, yang harus menempatkan esensi manusia sebagai eksistensi dirinya dengan ungkapan bahasa konvensional: baik interpersonal maupun intercultural. Adanya definisi bahwa, manusia adalah “hewan yang bicara”. Adalah bukti dari adanya eksploitasi manusia terhadap dirinya sendiri. Meski siapapun menyadari, untuk menyerukkan eksistensi sebuah jirm secara esensial harus ada bahasa yang disepakati (?).

    Saya ataupun panjenengan yang dari pesantren, mengenal luar kepala terma Al Insaanu huwa hayawaan Naatiq: sebagai definisi mutakhir dari manusia. Itu seolah selaras dengan kompleksitas manusia yang semakin hari seolah semakin tidak mengenal apa apa: nihilistic, statisilistik. Ternyata tidak, para ideolog juga melakukan serangkaian upaya rekontruksi ulang, agar sebuah bahasa konvensional tetap eksis dan menjadi tolak ukur: bahasa eksistensi untuk menyentuh esensi.

    Naskah A history of arab Proverb kiriman teman saya dari UB, menegaskan satu pernyataan bagi saya. Folklore itu adalah bahasa natural, ia membahasakan dirinya dengan banyak media: verbal maupun non –verbal.   Kemudian menjadi ragam warna yang menentukan warnanya sendiri dan melakukan sirkulasi natural yang manusia ciptakan sendiri tanpa pasal – pasal yang mengatur. Agama, budaya, seni, ketata bahasaan dan segala yang melekat di kehidupan kita, adalah bentukan dari sejarah dan ruang waktu itu sendiri. Artinya sebagai manusia, dia bebas membentuk karakter, budaya, corak seni, pandangan hidupnya sendiri :sebagai hamba yang merdeka di hadapan tuhannya(?). Menurut saya (yang masih mengimani folklore sebagai khazanah ilmiah oleh orang2 orientalis), Tidak ada pakem bagi bahasa konvensional seperti “hewan adalah manusia yang berbicara” untuk menjadi higiografis :harus padu, koheren, selalu benar dan tidak menerima penafsiran lain.

    Mari, jika berhendak sejenak menziarahi sejarah. Bejana trobosan yang banyak dilakukan oleh para missioner seperti walisongo ke Indonesia dengan melakukan akulturasi budaya. Salah satunya dengan lahir nya wayang sebagai pribadi yang halal. Gagasan Sunan Kalijaga ditampik Mazhab Giri. Waktu itu, sang Syaikh Malaya mengusulkan agar peresmian Masjid Demak dimeriahkan dengan pagelaran wayang. Kelompok putihan, dipimpin Sunan Giri, menolak karena wayang masih belum kalis dari status haram –sebab ia merupa makhluk hidup. Setelah melakukan serangkain perdebatan panjang, antar beberapa faksi: Sunan kalijaga, Sunan Giri dan Sunan Bonang Sebagai poros tengah (pernah ditulis dalam essay mas luk berjudul agama, dan media budaya). Menanggapi perdebatan antara para Wali itu, semestinya disikapi dengan arif. Kemelimpahan ragam media (medium) membuat kita –sebagai komunikator alias sender– seoptimis Sunan Kalijaga. Dakwah keagamaan kini memiliki saluran (channel)yang lebih variatif. Tetapi Sunan Giri membikin kita mafhum, format pesan (message) tidak boleh disusun secara gampangan. Ia mesti mempertimbangkan kualitas; ia harus tak serampangan. Dan, akhirnya, Sunan Ampel seperti menyeru kita untuk menakar pendengar –komunikate atau receiver. Jangan sampai mereka dibuat terasing (teralienasi) oleh medium.

    Oleh karenanya, saya anggap Sujiwotejo dalam hal ini adalah orang yang paham mengenai hal diatas. Dengan menceraikan dakwah (agama) dari berkesenian atau tidak seharusnya. Ada benarnya dalam upaya vermak agama yang tidak hanya kalis dari akulturasi sebagai alternative, namun juga khalis. Toh, Begitu halnya norma, etika dan moral malayu yang begitu kental dengan budiluhur –lumayan cukup untuk sikap resistensi cultural manusia. Meski banyak yang harus disadari dengan statement ini, jika diceraikan, agama akan berwajah monoton, kering dan banal (?)

    Saudara, saya bukan Zhuangzi yang berideolog karena antogonisme politik, menelurkan aksioma aksioma kehidupan yang meski lahir dari penderitaan saudara sendiri, sungguh bukan. Manusia bagi manusia lain, kata Manuel castel, adalah orang asing. Karenanya konsep penghormatan terhadap “liyan” itu sangat saya setujui. Manusia sebagai makhluk social, saya mengusulkan untuk juga sebagai makluk komunikasi. Meski tentu, komunikasi itu sebuah kelaziman social. Namun saya berfikir selanjutnya, bahwa komunikasi juga membutuhkan media sendiri dan tidak selamanya social dipahami secara komunikatif (?). karena saya hanya akan menyebut “saya sedang berkomunikasi dengan diri saya sendiri”, tidak dengan “saya bersosialisasi dengan tuhan atau diri saya sendiri”. Saya kira yang terakhir kurang saya cocoki. Dan bahasa sebagai media komunikasi? Dimulai dengan manusia yang harus bicara: kepada dirinya sendiri, siapa atau apapun.


    joel
    Khartoum, 30 march 2013
    sumber gambar:  http://radarlampung.co.id

    0 komentar:

    Post a Comment

     photo Joel2_zps6bff29b6.jpg