Manusia, dalam banyak hal telah tereksploitasi -prohibisi inhibisi.
Dulu ketika saya masih di pesantren, saya pernah membaca buku tulisan teman
saya dari ploso Kediri, berjudul "ketika tuhan dikritik"-antologi
essay cerpen. Ada sebuah cerita menarik, ketika ia merekontruksi ulang kisah
asal mula manusia akan diciptakan tuhannya, lengkap dengan protes para malaikat
kepada tuhannya. Dengan poles lips diksi, ia merubahnya menjadi fiksi-non fiksi
indah. Ketika membacanya, titik cardinal, elementer penting yang bisa saya
dapatkan adalah sebuah esensi keseluruhan dari judul buku dalam satu judul
cerpen itu. Malaikat protes dengan bertanya sinis kepada tuhannya, “tuhan,
apakah kau akan menciptakan makhluk yang akan melakukan perusakan dan penumpah
darahan?”. Ini bukan bukan cerita
rekaan, namun lebih dari yang dibawakan oleh kebenaran. Manusia tereksploitas
secara esensial: Plot dalam benak tuhan, sebelum eksistensinya dipahami oleh
malaikat.
Dalam literature ketata-bahasaan manusia sendiri, “manusia” secara esensial
juga menelan derita pahit oleh para ideolog bahasa, yang harus menempatkan
esensi manusia sebagai eksistensi dirinya dengan ungkapan bahasa konvensional:
baik interpersonal maupun intercultural. Adanya definisi bahwa, manusia adalah
“hewan yang bicara”. Adalah bukti dari adanya eksploitasi manusia terhadap
dirinya sendiri. Meski siapapun menyadari, untuk menyerukkan eksistensi sebuah jirm
secara esensial harus ada bahasa yang disepakati (?).
Saya ataupun panjenengan yang dari pesantren, mengenal luar kepala
terma Al Insaanu huwa hayawaan Naatiq: sebagai definisi mutakhir dari
manusia. Itu seolah selaras dengan kompleksitas manusia yang semakin
hari seolah semakin tidak mengenal apa apa: nihilistic, statisilistik. Ternyata
tidak, para ideolog juga melakukan serangkaian upaya rekontruksi ulang, agar
sebuah bahasa konvensional tetap eksis dan menjadi tolak ukur: bahasa
eksistensi untuk menyentuh esensi.
Naskah A history of arab Proverb kiriman teman saya dari UB,
menegaskan satu pernyataan bagi saya. Folklore itu adalah bahasa natural, ia
membahasakan dirinya dengan banyak media: verbal maupun non –verbal. Kemudian
menjadi ragam warna yang menentukan warnanya sendiri dan melakukan sirkulasi
natural yang manusia ciptakan sendiri tanpa pasal – pasal yang mengatur. Agama,
budaya, seni, ketata bahasaan dan segala yang melekat di kehidupan kita, adalah
bentukan dari sejarah dan ruang waktu itu sendiri. Artinya sebagai manusia, dia
bebas membentuk karakter, budaya, corak seni, pandangan hidupnya sendiri :sebagai
hamba yang merdeka di hadapan tuhannya(?). Menurut saya (yang masih mengimani
folklore sebagai khazanah ilmiah oleh orang2 orientalis), Tidak ada pakem bagi
bahasa konvensional seperti “hewan adalah manusia yang berbicara” untuk menjadi
higiografis :harus padu, koheren, selalu benar dan tidak menerima penafsiran
lain.
Mari, jika berhendak sejenak menziarahi sejarah. Bejana trobosan
yang banyak dilakukan oleh para missioner seperti walisongo ke Indonesia
dengan melakukan akulturasi budaya. Salah satunya dengan lahir nya wayang
sebagai pribadi yang halal. Gagasan Sunan Kalijaga ditampik Mazhab Giri. Waktu
itu, sang Syaikh Malaya mengusulkan agar peresmian Masjid Demak dimeriahkan
dengan pagelaran wayang. Kelompok putihan, dipimpin Sunan Giri, menolak karena
wayang masih belum kalis dari status haram –sebab ia merupa makhluk hidup.
Setelah melakukan serangkain perdebatan panjang, antar beberapa faksi: Sunan
kalijaga, Sunan Giri dan Sunan Bonang Sebagai poros tengah (pernah ditulis dalam essay mas luk berjudul agama, dan media budaya). Menanggapi perdebatan
antara para Wali itu, semestinya disikapi dengan arif. Kemelimpahan ragam media
(medium) membuat kita –sebagai komunikator alias sender– seoptimis Sunan
Kalijaga. Dakwah keagamaan kini memiliki saluran (channel)yang lebih variatif.
Tetapi Sunan Giri membikin kita mafhum, format pesan (message) tidak boleh
disusun secara gampangan. Ia mesti mempertimbangkan kualitas; ia harus tak serampangan.
Dan, akhirnya, Sunan Ampel seperti menyeru kita untuk menakar pendengar
–komunikate atau receiver. Jangan sampai mereka dibuat terasing (teralienasi)
oleh medium.
Oleh karenanya, saya anggap Sujiwotejo dalam hal ini adalah orang
yang paham mengenai hal diatas. Dengan menceraikan dakwah (agama) dari
berkesenian atau tidak seharusnya. Ada benarnya dalam upaya vermak agama yang
tidak hanya kalis dari akulturasi sebagai alternative, namun juga khalis.
Toh, Begitu halnya norma, etika dan moral malayu yang begitu kental dengan
budiluhur –lumayan cukup untuk sikap resistensi cultural manusia. Meski banyak
yang harus disadari dengan statement ini, jika diceraikan, agama akan berwajah
monoton, kering dan banal (?)
Saudara, saya bukan Zhuangzi yang berideolog karena antogonisme
politik, menelurkan aksioma aksioma kehidupan yang meski lahir dari penderitaan
saudara sendiri, sungguh bukan. Manusia bagi manusia lain, kata Manuel castel,
adalah orang asing. Karenanya konsep penghormatan terhadap “liyan” itu sangat
saya setujui. Manusia sebagai makhluk social, saya mengusulkan untuk juga
sebagai makluk komunikasi. Meski tentu, komunikasi itu sebuah kelaziman social.
Namun saya berfikir selanjutnya, bahwa komunikasi juga membutuhkan media
sendiri dan tidak selamanya social dipahami secara komunikatif (?). karena saya
hanya akan menyebut “saya sedang berkomunikasi dengan diri saya sendiri”, tidak
dengan “saya bersosialisasi dengan tuhan atau diri saya sendiri”. Saya kira
yang terakhir kurang saya cocoki. Dan bahasa sebagai media komunikasi? Dimulai
dengan manusia yang harus bicara: kepada dirinya sendiri, siapa atau apapun.
joel
Khartoum, 30 march 2013
sumber gambar: http://radarlampung.co.id |
0 komentar:
Post a Comment