Berkali kali kubaca penggalan penggalan bait ini, ku amati. kubaca kembali. ku ugemi. Ku perhati, ku pahami. Maksud dan makna sang empunya hati yang menggerakan setiap luapannya didalam kata yang seperti ini :
Tmanku, Fachir,tau kah kamu,
kalau aku bukanlah sebuah senja yang indah...
yang senantiasa setia pada mega d pergantian malam,
akuu..-Alin-
Yang hanya setetes air dari langit d saat hujan,
kamu bahkan tak mampu melihatku dari jutaan tetes lainnya yang jauh lebih nyata,
bagiku,senja...
adalah butiran atom surga yang menyublim menjadi partikel2 luar biasa
yg hanya mampu dinikmati oleh mata,
Dia terlampau hebat untuk kamu jadikan perumpamaanku,
Senja terlalu indah,
Untuk ku
Oleh : Alindia Fithria Joeda.
Mahasiswi semester IV Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya
?????
Saya sangat memahami ketika seorang penyair meluapkan isi hatinya, tak jauh dari kejanggalan - kejanggalan yang ia temui dalam realita. Sebab kebanyakan penyair yang saya temui, adalah orang orang yang memiliki respect aktiv terhadap realitas dan fakta yang sedang membenturnya. Tak kecuali dari beberapa penggalan bait yang ditulis oleh Saudari Alindia Fithri joeda ini. Merupakan perwakilan dari kegundahan. Yang tentu batasan ungkapan kata itu tak seluas kemauan hati. Saya pun paham, jika kemudian hari bahwa kata kata itu tidak kesemuanya bisa menyampaikan maksud hati -bahkan kata hanyalah sebagian media visual yang menyampaikan pesan. tidak keseluruhan. Oleh sebabnya bahasa berkategoris, kita kenal bahasa isyarat, tubuh, suara, gerak dan bahkan bahasa teriak teriak gak jelas. hehe
Sedangkan eksistensi dari sebuah puisi sendiri adalah, salah satu media dan gaya dasar seseorang penulis untuk mengungkapkan pesan yang ingin ia sampaikan. Puisi adalah salah satu pilihan diantara banyak macam media yang bisa dipilih. Baik itu tertuju kepada umum, personnal atau bahkan respecty dari sebuah upaya pembuktian -jati diri.
Disini bisa kita lihat, kemana seorang Alindia F joeda mengarahkan pedangnya :
Tmanku, Fachir,tau kah kamu,
Tentu pernyataan itu jelas, tanpa variable yang memusingkan untuk saya (muhammad Tajul Mafachir) perlu memecahkan kepada siapa hendak penulis berpesan.
Kemudian,
kalau aku bukanlah sebuah senja yang indah...
yang senantiasa setia pada mega d pergantian malam
Puisi adalah rangkaian kata yang merangkum pesan dengan bahasa keindahan. Keindahan puisi itu tercapai, dari kelihaian olah kata penulis. menjadi pilihan adalah, apakah dia hendak menyudutkan pemahaman dengan bahasa abstrak, vulgar atau absurd. Rupa rupa nya Alindia Fithri Joeda memilih gaya bahasa abstrak, dia memasukan personifikasi sintetis dan ritmis kedalam dua penggal deret puisinya itu. Coba kau amati, dengan Diam sejenak dan Rasakan !
Pada , Kalau aku bukanlah sebuah senja yang indah... kata kata ini, adalah kata kata indah. Dalam pengamatan dalam kapasitas saya. Alindia Fithri Joeda, seakan sedang masuk kedalam lorong lorong terdalam. Sedang membumi. untuk kemudian seraya langit ikut mengamini keindahannya. Sebab Arogansi adalah -dengan sepakat, kita musti menjada diri dan spasi, bukan? Dengan bahasan itu, Penulis membahasakan penolakan arogansi terhadap dirinya sendiri. Luar biasa.
Aku, kalau dalam persanjakan melayu lama yang saya kenal. Istilah aku ini, lebih terproyeksi maknanya untuk menonjolkan diri. Meski sebagian lain ini adalah sarat arogansi. Namun, dengan kata aku pada
akuu..-Alin-
Yang hanya setetes air dari langit d saat hujan,
kamu bahkan tak mampu melihatku dari jutaan tetes lainnya yang jauh lebih nyata,
Rupanya Alindia F Joeda sedang mengecoh para pembaca, dan memberikan pemahaman baru bahwa Jutru kata kata yang berkonotasi arogansi bisa menjadikan media masuk ke lembah persemayaman diri dan sunyi. Jauh meninggalkan arogansi. rendah diri adalah sesuatu yang terpuji -ini kita sadari. Pemilah pilihan kata yang kemudian menjadi pilihan kata sebelumnya juga menandakan bahwa bentuk penghayatan terhadap rasa rendah dirinya. Menggambarkannya dengan setetes air dari langin di saat hujan. Bahkan meski kau berada disetiap tetesnya, kau tetap Alin bagiku. :P
Kau bahkan tak mampu melihatku dari jutaan tetes lainnya yang jauh lebih nyata,
Kalimat ini menurut saya, pribadi adalah kalimat dari keberanian seorang Alindia F joeda dalam memerankan perannya sebagai pembaca kahanan. Ia membaca tafsir kahanan. Ia membaca kemudian seolah menyimpulkan. Ini sungguh saya anggap berani. Karena posisi 'kamu' dalam teks tersebut adalah tertuju pada satu kehidupan yang memang Alindia F Joeda sendiri belum mengetahui apakah betul si Kamu sudah meneliti jutaan tetesan dengan nyata atau belum. So, menurut saya ini merupakan sangkaan untuk sama sama mengajak berteka teki dan menyeka diri dari arogansi.
bagiku,senja...
adalah butiran atom surga yang menyublim menjadi partikel2 luar biasa
yg hanya mampu dinikmati oleh mata,
Menggunakan, KU dalam penggalan pesan yang ia ingin sampaikan. Bahwa benar benar ini adalah murni subyektivitas -didalam penalaran dan pemahaman Alindia Fithri Joeda. Senja adalah butiran butiran atom surga yang menyublim menjadi partikel2 luar biasa. begitulah ia menebang banyak kata. Bahwa sebenarnya senja adalah pilihan dari beberapa pilihan partikel keindahan yang kemudian menjelma bersama keindahan keindahan, hingga menghasilkan keindahan superior. yang kelak meneduhkan setiap mata. Ini ada hubungan erat dengan, kata sebelumnya dengan pernyataan salbiyyah 'penolakan' dia untuk istilah senja. Padahal bagi saya pribadi, siapapun bisa menjadi senja jika ukurannya adalah keindahan. Dan siapapun berhak menilai sesuatu atas daya imajinasinya. Sebab penilaian itu adalah reduksi daya imajinasi kepada seseorang. Maka menerima atau menolaknya adalah murni keutuhan hak obyek.
So, Jadi berharap kau tetap senja.
well well well.
Dia terlampau hebat untuk kamu jadikan perumpamaanku,
Senja terlalu indah,
Untuk ku
dalam penggalan kata terakhir dari puisi nya itu, Alindia Fithri Joeda mengambil sudut pandah orang ketiga serba tau. (padahal Sotoy :P). Dengan menegaskan kebertahuannya melalui penegasan penegasan pada akhir larik puisinya. Lagi lagi disitu ada 'kamu', ini tentu dia juga sedang mengajak bicara seseorang. Namun yang saya baca adalah merupakan penolakan yang murni untuk meninggalkan arogansi. Yang padahal, untuk si 'kamu' atau 'kalian', 'kami' boleh menentukan penilaian bagaimana dan hendak ia arahkan kepada obyek.
Jadi siapa itukah kamu dalam larik puisi tersebut?
Fachir, dia tulis itu pada penggalan bait pertama puisinya.
Siapa Fachir?
Menurut kepercayaan saya (kejawen :D), fachir adalah penggalan nama dari kelengkapan nama saya (penulis). Muhammad Tajul Mafachir. Mahasiswa Jur Islamic Studies di Omdurman Islamic University Sudan. Mahasiswa aneh, yang sangking anehnya. Dia hengkang dari jurusan pilihannya, hanya untuk mengejar ilmu merangkai kata. Juga sedang mengejar senja nya. Sebab senja adalah seni rupa. Dan siapaun tak akan menolak keindahannya. Bahwa didalamnya adalah nada nada dan warna.
Khartoum, 9 Agustus 2012
Asal Asalan Nulisnya, Ditemani teka teki dan 3 kali (@3:43 Menit. 3:43 menit X 3 =???) ku ulang lagu Anggun S, Mantra.
0 komentar:
Post a Comment