Lama kian sudah aku menggulung sajakku
terhitung sejak aku berjejak sajak silam helak
mencibirkan rayuan dalam maduan yang biasa merayuku
hingga sesaat kudapati diriku berlumur malu,
untukku kembali menulis sajakku.
Terang,
Gelap,
pengap kemudian sembab
Mengalir anak, airmata di persimpangan pipi
membasahi aku yang sedari tadi melingkar kalungkan nasib ibu pertiwi
tersua aku, menuju risau sauku,
yang kemudian terseret dalam hatiku, gambar sosok sepertimu,
sayangku.
Seret menyeret, pentas senimanSeniman kabaret
yang sedari tadi, sibuk memasang mak up dan hidung karet
Ibu kota ibu panas diderau risau,
hilir mudik muda mudi diterjang galau.
Membuat hukum hardik bagi kawanan terdidik
untuk turun kejalanan menuntut kedewasaan
bangsa yang terseok hutang memborok.
IBU,
aku padamu.
sebab alasan itu, ku korbankan aku demi kecintaanku padamu
mengikat erat lingkar kepalaku, dengan kain tertulis akhir tanda seru
"Dasar Kerbau !"
:D
kawan, kebebasan absurd yang kalian inginkan hanya abstraksi perhelakan.
jangan pernah, dan terus melawan.
...........
.................
.........................
Tuhan, jiwaku bagaikan malam tanpa bintang
Bak irama tanpa noktah yang membayang menambah indah
Sedari lama aku dan terus ku menanti apa itu sajak
Yang mengajak aku menjibak jejak keringat di tepian ketiak
Yang saat kujilat, tersedot aku baumu yang hilir mudik menyedak,
Sebab aku merindukanmu.
……………….
Sejak,
Jejak,
Lapak memalak
Membusung luka kedalam lusuh ragam macam pikiran
Yang tadi petang kau utarakan.
Mengenai rasa atau rasa iba kau sanjungkan
Sayang, mesra untukku madu senjakan.
Sayang,
Perhelakan pemikiran sedang tak seakrab kita dulu,
Teringatingat pertikaian dan perdebatan kusir yang sering kita samasama jajakan
Mencongkak samasama enggan mengalah
Memberikan satuan artian ambigu
Kemudian kau lelah dan mulai merayuku dengan senyum manismu
Merayuku dengan rayuan kekanakKanakan yang mendidikku
……………….
Salah,
Aku,
Kalah
Dalam putaran kedua permainan grayangGrayangan itu
Menyadarkanku untuk kembali terbangun dan menyentuhmu
Rasanya lidahku masih saja belum mau pensiun denganmu
Melumatmu.
Hingga rasa anyir silir getir ganti berkolaborasi
Memaksa aku muntah di selaSela perjalanan kita saling menggerayang.
Dan setidaknya setelah itu
Aku tahu, bahwa perhelakan pikiranku sedang abnormal dibuatmu.
............
Menghempas hela kutangkap, ingin ada rasa yang terungkap
Ingin mencintaimu sangat;
Tetapi bukan dengan apa yang selalu kau anggap;
membuatku dan kamu mati di persimpangan jalan
0 komentar:
Post a Comment